Bab 13 Bayangan Hitam
Bab 13 Bayangan Hitam
Kilatan petir makin meninggikan suaranya, memecah keheningan yang seharusnya menyelimuti langit pada malam hari. Disusul oleh derasnya hujan yang berjatuhan tanpa memberi kesempatan. Pada saat itu, ribuan umat manusia gemetaran, menarik selimut guna menutupi sekujur tubuhnya. Seolah-olah ingin menghindar dari amukan semesta.
Riana mempercepat menyusun piring-piring pada rak, lalu segera membilas tangannya ketika degup jantungnya mulai tidak terkendali, akibat suara petir yang menggelegar ditambah gelapnya malam membuat dirinya berasumsi bahwa ada seseorang di belakang, mengawasi, dan hendak menyerang Riana.
Kemudian Riana bergegas menuju ruang tengah dan membiarkan beberapa piring tak tersusun rapi. Riana duduk di kursi panjang berbahan rotan sembari melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam. Sekarang sudah agak tenang, meskipun degup jantung Riana masih naik turun tidak teratur. Hujan hari ini benar-benar membuatnya ketakutan setengah mati. Bukan takut perkara hantu atau monster, melainkan hewan-hewan liar seperti ular dan buaya yang bisa saja masuk ke rumahnya saat air tengah membanjiri pekarangan rumah ini. Apalagi, saat ini suami Riana, Sarman belum juga pulang.
Sudah dua hari ini, Sarman belum kembali ke rumah. Riana sempat terkejut dan bingun, ketika Ibunya mengatakan kalau suaminya sudah meninggalkan Pekanbaru sejak kemarin malam. Seharian penuh, Riana menangisi hilangnya Sarman tanpa bisa berbuat sesuatu. Pada malam ini juga, Riana masih terbayang-bayang sosok Sarman yang selalu dirindukannya.
Riana menyandarkan kepalanya pada punggung kursi sembari mengingat-ingat ke mana perginya Sarman. Namun, di dalam rumah yang begitu gelap seperti ini sering kali membuat Riana kembali memikirkan monseter-monser mengerikan yang singgah di sudut rumahnya. Riana menghembuskan napas panjang dan berkata, "Tenang. Tenang saja, tidak ada apa-apa."
Petir kembali bersuara, seolah-olah menantang Riana yang tengah mengendalikan ketakutannya. Beberapa menit berlalu, Riana beranjak dari kursi yang ia duduki dan memilih untuk segera tidur karena besok ia harus tetap berpuasa. Sebelum Riana masuk ke kamarnya, ia sempat berhenti di depan kamar Tika. Awalanya, ia ingin mengetuk pintu kamar itu dan menyuruh Tika untuk menemani Riana tidur. Akan tetapi, Riana merasa tidak enak kalau tiba-tiba membangunkan Tika hanya untuk mengusir rasa takutnya. Terlebih lagi malam sudah larut dan Tika pasti sudah tertidur.
Riana meneruskan langkahnya menuju ke kamarnya sendiri. Akan tetapi, ketik Riana hendak membuka pintu kamar, ia menengok ke jendela depan yang masih terbuka sehingga angin bisa menerobos masuk dan gorden yang seharusnya menutupi jendela, belum tertutup sepenuhnya.
"Yah… gordennya masih terbuka," keluh Riana. Kemudian ia berjalan menuju ke ruang tamu sambil membawa lampu minyak yang ia dapatkan dari meja dapur.
Saat itu Riana tidak langsung menutup gorden, ia justru melihat keadaan luar rumah dari balik jendela yang penuh dengan tetesan hujan. Terlihat, teras depannya dipenuhi oleh air hujan yang juga membawa tanah sehingga air tersebut menjadi keruh. Kalau dipikir kembali, air hujan yang membanjiri teras rumah Riana tingginya bisa mencapai hingga mata kaki.
Pada saat ini pula, Riana berharap kalau Sarman segera kembali dan menemani malam-malam Riana yang dipenuhi oleh ketakutan. Akan tetapi, bukankah itu mustahil? Jika Sarman tiba-tiba kembali dan sudah berdiri di depan pintu pada saat ini juga. Sejenak, terlintas rasa khawatir dalam benak Riana.Bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpa suaminya? Riana mencengkram kain gorden yang hendak ia tarik. Riana agak kesal pada dirinya sendiri karena sampai saat ini ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Lamunan Riana seketika pecah, saat kedua matanya menangkap sesosok pria serba hitam dari luar rumah.Riana terus menamatkan sosok tersebut, yang posisinya berada di samping pohon mangga beberapa meter dari rumahnya. Sampai akhirnya, langit memancarkan cahaya kilatan dan seketika itu sosok pria tersebut terlihat jelas di mata Riana hingga beberapa detik. Riana langsung menutup rapat gordennya hingga tak menyisakan celah supaya pria tersebut tidak bisa melihat ke dalam rumah Riana. Tangan Riana mulai gemetaran dan kedua kakinya tidak sanggup untuk digerakkan sehingga Riana masih mematung di balik gorden sambil mengontrol ketakutannya.
Riana sempat berpikir kalau orang yang berada di luar itu adalah Sarman. Akan tetapi, Riana tahu persis kalau suaminya tidak akan diam mematung di luar dan membiarkan tubuhnya basah oleh hujan. Jika iya, ia pasti langsung mengetuk pintu rumah sambil memanggil-manggil Riana.
"Itu siapa?" batin Riana karena ia merasa asing dengan pria tersebut. Kemudian Riana berbalik melangkah menuju kamarnya dan membiarkan sosok tersebut, yang bisa saja itu hanyalah bayangan dari sugesti Riana.
Akan tetapi, ketika Riana hendak membuka pintu kamarnya, lagi-lagi pandangannya tertuju pada sebuah bayangan hitam yang berada di sisi ruang tengah. "Ahh….!!"Pekik Riana disusul oleh gemuruh petir. Refleks, Riana melempar lampu minyak ke sembarang arah yang sedari tadi ia bawa.
Kini, keadaan menjadi gelap gulita setelah lampu minyak padam karena Riana membuangnya cukup jauh dari tempat Riana berdiri. Riana meraba-raba tembok yang ada di sampingnya dan perlahan ia melanjutkan langkahnya hingga ke depan pintu kamar Tika.
"Tika, buka pintunya."Riana makin kencang menggedor-gedor pintu kamar tersebut.Hingga akhirnya Tika datang dan membukakan pintu kamarnya."Sepertinya ada sesuatu di rumah ini," lanjut Riana.
"Itu hanya khayalan Mbak," jawab Tika tak berekspresi. Riana bisa melihat kedua mata Tika yang sembab dan sedikit memerah di ujung matanya. Sepertinya, Tika masih menangisi keadaannya.
"Mbak tidur di kamar kamu boleh ‘kan?" tanya Riana ragu-ragu, karena inilah satu-satunya cara agar Riana tidak merasa ketakutan. Tika mengangguk pelan, pertanda kalau dia mengiyakan permintaan Riana. Lalu Tika mempersilakan Riana untuk masuk terlebih dahulu.
Ketika di dalam kamar, Riana memilih untuk duduk di tepi ranjang, karena rasa kantuknya tak kunjung datang apalagi setelah melihat bayangan-bayangan yang selama ini hanya di dalam kepalanya tiba-tiba berubah menjadi nyata.
Seperti biasa, Tika duduk di tepi jendela sambil melihat rintik-rintik hujan yang perlahan membasahi kaca jendela kamarnya. Karena hawa semakin dingin, Tika menrutupi sebagian tubuhnya dengan selimut dan yang terlihat hanyalah kepalanya. Sedangkan Riana, hanya memakai sweeter biru yang beberapa kancingnya masih terbuka.
"Dingin ya?" ujar Riana sekedar berbasa-basi. Namun, Tika tetap diam saja dan terus menatap ke luar jendela. "Tika, soal perkataan Abang kamu tempo hari yang lalu jangan diambil hati ya. Dia tidak bermaksud seperti itu."
"Iya, aku tahu." Riana tidak menduga kalau Tika akan membalas perkataan Riana. Hal ini, membuat Riana sedikit lega karena akhirnya dia mau berbicara juga.
"Kalau kamu merasa tidak enak badan, lebih baik besok tidak usah puasa," lanjut Riana dan Tika mengangguk pelan.
"Sebenarnya Abang pergi ke Pekanbaru, ‘kan?"
DEG
Jantung Riana seolah-olah telah ditusuk oleh pertanyaan Tika. Kenapa dia bisa tahu? Padahal Riana tidak pernah memberitahunya. Mau tidak mau, Riana harus menjawab jujur pertanyaan tersebut.
"Iya. Abang kamu mungkin sedang menginap di rumah Mama. Padahal, seharusnya dia sudah pulang sejak kemarin," jelas Riana.
Tika tersenyum kecut sembari melirik sekejap ke Riana."Tidak seperti biasanya."
"Iya, itu jarang sekali terjadi. Besok pasti dia sudah pulang," ucap Riana hanya sekedar untuk menenangkan hatinya, walau pun ia masih tidak pasti kapan suaminya akan kembali.
Malam itu juga, Riana dan Tika tidur dalam satu ranjang.Sebelum tertidur, Riana terus yakin pada dirinya sendiri kalau besok pagi Sarman pasti sudah berada di rumah."Sudah malam. Sebaiknya kita tidur sekarang," ujar Riana. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di samping Tika.
