Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Gelap.

Tidak ada suara. Tidak ada pijakan yang pasti. Hanya langkah kaki yang terasa seperti tenggelam dalam udara yang berat dan kosong. Tanganku masih menggenggam kunci kecil dari meja makan. Denyutnya kini melemah, seolah menunggu. Seolah tahu bahwa pintu yang seharusnya terbuka belum terlihat.

Lorong ini tidak lurus. Tidak melingkar. Tidak memiliki arah yang bisa dipahami. Dindingnya berubah setiap beberapa langkah. Kadang berupa kayu tua dengan paku-paku kecil yang menonjol. Kadang batu bata merah gelap, basah dan berlumut. Kadang seperti kulit manusia yang berdenyut pelan.

Langkahku berat. Tapi aku terus berjalan.

Di sisi kiri, mulai muncul pintu-pintu.

Satu. Dua. Tiga. Semua tampak berbeda. Tapi tidak ada satu pun yang membuatku yakin.

Lalu suara-suara mulai terdengar.

"Raka... kamu lupa pulang ya?"

Itu suara ibuku. Lembut, seperti yang biasa memanggil saat aku kecil dan bermain terlalu lama.

"Raka, jangan tinggalkan aku di sini sendirian."

Suara Aurel. Tapi nada bicaranya terdengar terlalu tenang. Terlalu... manis. Tidak seperti dirinya yang sesungguhnya.

"Ayo buka. Aku tahu kamu di sana."

Suara itu membuatku berhenti. Itu suaraku sendiri. Tapi datang dari balik pintu yang gelap dan berembun. Seolah pantulan yang menunggu untuk menggantikan.

Aku menunduk. Kunci di tanganku mulai bergetar lagi.

Tapi bukan karena pintu-pintu itu.

 

Aku menutup telinga. Tidak ingin mendengar panggilan palsu. Terus berjalan melewati pintu-pintu yang muncul dan menghilang seperti mimpi buruk yang berganti bentuk.

Lalu aku menemukannya.

Sebuah pintu besar.

Berbeda dari yang lain. Catnya tidak pudar. Tidak ada suara dari baliknya. Tidak ada embun. Tidak ada bisikan. Hanya... hening.

Dan di tengah daun pintunya, terukir simbol yang sama dengan gagang kunci yang kubawa. Mata tertutup dengan tetesan di ujungnya.

Aku mengangkat kunci perlahan.

Saat menyentuh lubang kunci, pintu itu bergetar pelan. Udara di sekitarnya berubah. Dingin. Tapi bukan dingin yang menusuk. Lebih seperti dingin dari sesuatu yang lama terkubur.

Kunci masuk sempurna.

Aku memutarnya.

KLEK.

 

Pintu terbuka perlahan, tanpa suara.

Yang kulihat di baliknya bukan ruang biasa.

Ruangan itu kosong. Dinding putih. Lantai bersih. Tapi di tengahnya berdiri sesuatu.

Cermin.

Tidak seperti yang lain. Tidak retak. Tidak gelap. Tidak ada kabut atau pantulan aneh. Cermin ini bening. Seolah menyajikan kenyataan.

Dan aku melihat diriku di sana.

Tapi berbeda.

Tubuhku berdiri. Di sisi tempat tidurku yang kosong. Aku melihat diriku mengangkat tangan, menyentuh cermin yang lain. Bukan dari sini. Tapi dari tempat nyata.

Tiba-tiba tubuh itu menoleh, menatap lurus ke arahku.

Lalu tersenyum.

 

"Akhirnya sampai juga," katanya.

Suaranya sama persis denganku.

"Siapa kamu?" tanyaku.

"Aku kamu. Yang sudah lebih dulu tahu tempat ini bukan hanya rumah. Tapi perut. Dan kita... hanyalah makanan."

Aku mundur satu langkah. Tapi ruangan tidak punya sudut. Tidak ada arah untuk mundur lebih jauh.

"Aku sudah keluar," lanjutnya. "Sekarang giliranku menikmati dunia yang kamu tinggalkan."

"Tapi aku belum mati."

"Bukan soal hidup atau mati. Ini tentang siapa yang lebih dulu melepas rasa takut."

 

Cermin itu bergetar.

Pantulan berubah. Sekarang menunjukkan Aurel. Dia berdiri di luar kamarku. Menatap tubuhku yang masih berbaring di tempat tidur.

"Aurel..." gumamku.

Ia menoleh. Seolah mendengar.

"Aku masih di sini," kataku.

Lalu ruangan berguncang.

Lantai terbelah perlahan. Cahaya putih menyembur dari bawah tanah, menyilaukan mata.

Bayanganku tertawa.

"Kamu bisa kembali. Tapi harus tukar sesuatu."

"Apa?"

"Rasa percaya dirimu."

"Apa maksudmu?"

"Kalau kamu ingin bangun, kamu harus keluar tanpa tahu siapa dirimu sebenarnya. Kamu akan lupa. Tentang semua ini. Tentang rumah. Tentang Aurel. Tentang dirimu."

Aku diam.

"Apa itu cukup adil?" tanyanya.

 

Tanganku gemetar.

Aku menatap cermin.

Pantulan tubuhku berdiri di dunia nyata.

Aku menatap ke bawah. Lantai mulai retak di bawah kakiku.

Aku harus memilih.

Kembali. Tapi kehilangan semua yang kukenal.

Atau tinggal di sini. Dan menjadi bagian dari rumah ini.

Untuk selamanya.

Lantai di bawahku terus retak. Cahaya putih menyala dari dalam celah-celahnya, seperti napas terakhir sebuah dunia yang sedang runtuh. Cermin di hadapanku memantulkan sosokku sendiri, berdiri tenang di sisi tempat tidur yang kutinggalkan.

“Aku bisa kembali?” tanyaku sekali lagi.

Pantulan itu mengangguk. Tapi matanya... kosong. Tidak ada emosi, hanya keyakinan dingin yang tak bisa dibantah.

“Ya. Tapi kamu akan lupa semuanya. Nama, masa lalu, bahkan rasa takutmu sendiri. Kamu akan bangun, tapi tidak tahu siapa kamu.”

“Dan kalau aku menolak?”

“Kamu akan tetap di sini. Menjadi bagian dari rumah ini. Seperti yang lain.”

Aku melihat sekeliling. Ruangan putih itu mulai berubah. Dindingnya mencair perlahan, menunjukkan wajah-wajah. Ratusan. Ribuan. Semua terjebak di dalam, seperti tertempel pada permukaan lunak. Beberapa menangis. Beberapa menjerit tanpa suara. Beberapa hanya menatap kosong.

Mereka bukan hanya bayangan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang tidak memilih.

 

Aku mundur satu langkah. Tapi cermin menyala terang, seolah mendorongku untuk mendekat.

Di dalamnya, Aurel berjalan ke arah tubuhku yang masih tertidur. Ia menggenggam tangan yang terdiam kaku di atas seprai.

“Ayo bangun...” bisiknya, meski aku tidak yakin dia tahu aku sedang menatapnya dari sisi ini.

“Raka, kalau kamu masih di sana, lawan. Aku tahu ini belum berakhir.”

Air mata jatuh dari matanya. Tapi tubuhku tidak bergerak.

“Dia belum sepenuhnya mengambilmu,” gumam Aurel. “Masih ada celah.”

 

Bayanganku di cermin menunduk pelan, lalu berkata dengan suara yang nyaris lembut.

"Kamu bisa kembali. Tapi harga yang harus dibayar bukan sekadar lupa."

"Apa maksudmu?"

"Setiap ingatan yang kau lepaskan, akan diambil oleh rumah ini. Rumah ini hidup dari yang kau tinggalkan."

"Aku harus mengorbankan ingatanku?"

"Bukan hanya ingatan. Tapi rasa. Orang-orang. Janji-janji. Semuanya akan jadi milik rumah. Dan kamu akan bangun sebagai lembar kosong."

 

Aku menatap tangan kiriku. Mulai menghilang perlahan. Jari-jari berubah transparan.

Cermin bergetar.

“Aurel…” bisikku. “Kalau aku kembali… dan aku tidak ingat kamu…”

Dia tidak akan tahu.

Dia akan menungguku dengan harapan, tapi aku tidak akan pernah menjadi Raka yang sama.

Aku melihat wajahnya untuk terakhir kali. Cahaya dari bawah sudah menyelimuti hampir seluruh ruangan. Cermin bersinar kuat.

“Aku—”

Aku melangkah ke dalam cermin.

 

BLARRR!!!

Cahaya memuncak. Tubuhku ditarik. Semua terasa seperti pecah dalam ribuan partikel kecil. Rasanya seperti tidur. Tapi juga seperti mati.

Lalu gelap.

Lalu dingin.

Lalu…

 

Aku membuka mata.

Langit-langit putih. Bau alkohol dan tisu desinfektan.

Sinar matahari masuk dari jendela sebelah kanan.

Aku berbaring di tempat tidur.

Aurel duduk di sampingku, tertidur sambil menggenggam tanganku.

Aku mencoba bicara.

“Hhh...”

Suara itu pelan. Serak.

Aurel terbangun seketika. Matanya membelalak. “Raka?!”

Aku menatapnya.

“Siapa... kamu?”

Aurel membeku. Air matanya menetes lagi. Tapi kali ini tanpa kata.

Di baliknya, di cermin kecil yang tergantung di dinding...

Aku melihat pantulan diriku sendiri.

Diam. Tersenyum tipis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel