Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Sudah dua hari sejak Raka membuka matanya.

Dan sejak dua hari itu, Aurel tak berhenti mencoba bicara. Membuka kenangan. Membawa barang-barang kecil. Membacakan cerita-cerita pendek yang dulu mereka tertawakan. Bahkan memutar lagu yang pernah mereka dengarkan di perjalanan menuju rumah Ayzen.

Tapi tatapan Raka tetap sama. Tenang. Sopan. Tapi kosong. Tidak mengenali.

“Maaf... aku benar-benar gak tahu siapa kamu,” katanya pelan, setiap kali Aurel mencoba mengajak bicara lebih dalam.

Bukan karena dia tidak mau. Tapi karena benar-benar tidak tahu.

Aurel tidak menyerah. Tapi hatinya perlahan terkikis.

 

Pagi itu, saat matahari baru menyentuh kaca jendela, Raka duduk sendiri di kamar yang sama. Ia menatap cermin kecil di dinding.

Pantulan dirinya terlihat utuh. Tapi... tidak terasa utuh.

Dia mengangkat tangannya, melambai ke arah pantulan. Lalu tersenyum sendiri, heran dengan sikap konyol itu.

Tapi sesuatu aneh terjadi.

Pantulan di cermin tidak mengikuti sepenuhnya.

Raka menoleh ke kanan.

Pantulan menoleh ke kiri.

Dan ketika ia tertawa kecil karena merasa sedang berhalusinasi...

Pantulannya tidak tertawa.

 

Raka mendekati cermin. Ia menatap lekat.

"Siapa kamu?"

Pantulan itu menatapnya lurus. Lalu...

Berubah.

Bayangan-bayangan muncul perlahan di permukaan kaca. Adegan-adegan berkelebat seperti cuplikan mimpi. Sebuah lorong gelap. Tangga tergantung. Sebuah meja makan dengan pistol di tengahnya. Dan... Aurel, tersenyum malu-malu di bawah pohon di taman belakang rumah Ayzen.

Kepalanya mulai sakit. Ingatannya seperti ditarik.

"Apa ini..."

Cermin itu berbisik.

"Rumah tidak melupakan. Hanya kamu yang memilih pergi."

 

Pintu kamar terbuka perlahan. Aurel masuk membawa nampan sarapan. Wajahnya lelah. Tapi saat melihat Raka berdiri di depan cermin, dia mendekat cepat.

"Kamu lihat sesuatu?" tanyanya pelan.

Raka tidak menjawab. Matanya masih tertahan pada pantulan itu.

"Lalu... siapa aku di matamu?" tanya Aurel ragu.

Raka menoleh.

"...Aku gak tahu. Tapi rasanya... aku pernah janji ke seseorang. Buat gak ninggalin dia."

Aurel menahan napas. Tangannya bergetar saat meletakkan nampan di meja.

"Aku orang itu."

 

Raka duduk di tepi ranjang. Matanya masih kosong. Tapi sekarang ada kerutan kecil di dahinya, seolah pikirannya bekerja keras.

"Aurel..." katanya perlahan. "Kalau semua ini pernah terjadi, kenapa cuma aku yang lupa?"

Aurel menjawab pelan. "Karena kamu yang memilih keluar. Rumah Ayzen bukan hanya tempat... dia menawar jiwa."

Raka memejamkan mata. Satu gambaran muncul cepat: dirinya sendiri berdiri di depan pintu putih, memegang kunci hitam, lalu masuk ke dalam cermin.

"Seseorang harus tinggal di dalam agar yang lain bisa keluar..." gumamnya.

Aurel menoleh cepat. "Kamu ingat?"

"Sedikit."

 

Malamnya, Raka tidur lebih cepat dari biasanya. Tapi Aurel tetap duduk di dekatnya. Ia membaca buku dalam cahaya lampu meja.

Lalu tiba-tiba cermin kecil di dinding retak halus.

Satu garis. Lalu dua. Tiga.

Aurel menoleh. Perlahan berdiri dan mendekat.

Saat ia hampir menyentuh permukaan kaca itu, terdengar suara pelan. Bukan suara Raka. Bukan suaranya. Tapi suara yang sama seperti yang pernah terdengar di rumah Ayzen.

"Satu keluar. Satu tetap tinggal."

Aurel menahan napas. Wajahnya menegang.

"Aku tahu kamu belum selesai..."

"Bukan kamu yang kami inginkan."

"Kembalikan dia."

 

Aurel mundur.

Ia mengambil kursi dan menghancurkan cermin itu tanpa ragu.

BRUK!!

Cermin pecah berhamburan.

Tapi serpihannya tidak jatuh.

Mereka membeku di udara. Mengambang. Dan dari setiap pecahan itu, pantulan Raka muncul, masing-masing berbeda.

Ada Raka yang menangis. Ada yang tertawa. Ada yang berdarah. Ada yang... tidak bermata.

Aurel menutup mulutnya. Tubuhnya gemetar.

"Cukup," katanya pelan.

Tapi suara itu kembali.

"Kalau dia lupa... maka dia milik kami selamanya."

Pagi datang dengan kabut yang tidak biasa.

Aurel berdiri di depan gerbang besar rumah Ayzen. Gerbang itu berkarat dan terkunci, padahal dulu terbuka lebar menyambut mereka. Rumah besar di kejauhan tampak lebih tua dari terakhir kali ia lihat. Dindingnya dilapisi lumut dan retakan. Jendela-jendela tertutup kain putih kotor, bergoyang pelan ditiup angin padang.

Ia menarik napas panjang.

“Aku kembali,” gumamnya.

Dari dalam sakunya, ia mengeluarkan serpihan cermin kecil yang semalam mengambang di udara lalu membeku sendiri. Ia tidak tahu bagaimana serpihan itu sampai di sakunya, tapi ia tahu satu hal—jawaban ada di sini.

 

Tidak ada siapa-siapa yang menjawab pintunya. Tidak ada Ezra. Tidak ada suara. Hanya suara langkah Aurel dan serangga malam yang belum sempat tidur.

Pintu rumah itu terbuka dengan dorongan ringan. Tidak terkunci.

Di dalamnya, aroma tanah basah dan kayu terbakar langsung menyerang hidung. Lorong yang dulunya panjang dan tenang kini terasa lebih sempit, seolah dinding-dindingnya bergerak mendekat pelan.

“Raka pernah ke tempat ini,” bisik Aurel untuk dirinya sendiri. “Dan kalau bagian dari dirinya tertinggal, aku bisa menemukannya.”

Ia melewati ruang tamu, ruang makan, hingga tangga kecil di bawah loteng. Setiap ruangan tetap sama, namun ada satu perbedaan.

Tidak ada cermin.

Sama sekali tidak.

 

Aurel mendaki ke loteng. Tangga kayu tua berderit seperti bernyanyi pelan. Saat sampai di ujung, ia membuka pintu perlahan dan masuk ke dalam ruangan kosong yang dulu menyimpan banyak rahasia.

Kini hanya ada satu benda di tengah ruangan. Sebuah meja bundar. Di atasnya berdiri cermin besar berbingkai kayu tua, tak retak, tak berdebu. Seolah menantikan seseorang.

Aurel mendekat.

Di permukaannya, ia melihat dirinya sendiri berdiri... dan di belakangnya—Raka.

Bukan Raka yang sekarang. Tapi Raka yang dulu. Tersenyum, sedikit bingung, masih punya rasa ingin tahu.

“Raka... kamu di sana?”

Pantulan itu tersenyum.

“Aurel... kamu kembali.”

“Ini kamu? Bukan bayangan?”

“Setengahnya aku. Setengahnya yang tinggal.”

 

Air mata Aurel menetes. Ia menyentuh permukaan cermin. Hangat.

“Kamu bisa kembali.”

“Aku sudah kembali. Tapi hanya satu bagian. Sisa dari diriku tinggal di sini. Rumah ini... tidak pernah melepaskan dengan utuh.”

“Lalu bagaimana cara menyatukanmu?”

Raka dalam cermin terdiam sejenak.

“Kamu harus menunjukkan siapa aku. Kamu yang tahu siapa aku sesungguhnya. Bukan aku yang lupa.”

Aurel menggenggam serpihan cermin dari sakunya. Ia menempelkannya ke permukaan kaca besar itu.

Cahaya menyebar.

 

Gambaran mulai bermunculan. Seperti album foto bergerak.

Raka duduk di tepi sungai, tersenyum canggung saat Aurel menggoda soal capung di rambutnya.

Raka berlari mengejar Aurel di taman belakang rumah Ayzen, tertawa dengan suara keras.

Raka di depan pintu kamar, berkata, “Kamu lucu kalau marah.”

Raka yang menatap Aurel lama sebelum tidur dan hanya berkata, “Kalau aku lupa kamu... ingetin aku ya.”

Aurel menyentuh semua gambar itu satu per satu, seperti menyentuh bagian dari hatinya sendiri.

“Ini kamu. Yang sebenarnya. Yang bukan bayangan.”

 

Cermin bergetar.

Bayangan Raka di dalam menutup mata. Saat ia membuka lagi, matanya terlihat berbeda. Tidak kosong. Tidak datar. Tapi hidup.

“Terima kasih,” katanya.

Lalu seluruh cermin mulai retak. Bukan pecah. Tapi terbuka.

Dari dalamnya, angin deras menyapu seisi loteng. Cahaya menyilaukan memancar dari celah retakan, dan suara Raka terdengar di tengah pusaran itu.

“Kalau aku tidak bisa kembali sepenuhnya... setidaknya, biar semua cerminnya hilang.”

“Raka... tunggu!”

“Kalau rumah ini terus mengingat, maka biar aku jadi bagian terakhir yang diingat.”

 

BRUUAKKK!!

Cermin pecah.

Angin berhenti.

Semua serpihan jatuh ke lantai.

Dan... sunyi.

Aurel berdiri sendiri di tengah ruangan kosong. Tidak ada meja. Tidak ada cermin. Tidak ada bayangan.

Tapi di tangannya, serpihan terakhir cermin berubah bentuk. Kini menjadi liontin kecil berbentuk mata tertutup. Di dalamnya, ukiran samar menunjukkan dua nama:

RAKA – AUREL

 

Ketika Aurel keluar dari rumah Ayzen, matahari sudah tinggi.

Rumah itu... mulai pudar. Seperti kabut. Seperti mimpi.

Dan saat ia menoleh sekali lagi, rumah besar itu tidak lagi ada.

Hanya tanah kosong dengan satu pohon tua di tengahnya.

Aurel tersenyum kecil.

“Kamu tidak dilupakan. Kamu dipilih untuk diingat dengan cara yang paling damai.”

Ia menggenggam liontin itu erat, lalu berjalan pulang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel