Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Aku mengetuk cermin itu. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi pantulanku hanya berdiri di sana, diam, seperti orang asing. Senyumnya masih menggantung tipis, seolah menikmati waktunya di tempatku yang seharusnya nyata.

“Keluar dari sana,” bisikku. Tapi suaraku tidak menggema.

Di ruangan ini, suara seperti diserap oleh dinding. Tidak ada gema. Tidak ada getaran. Hanya diam.

Aku berjalan menjauh dari cermin, menelusuri dinding. Tidak ada pintu. Tidak ada celah. Tidak ada apa pun.

Lalu aku melihatnya. Sebuah jendela di sisi kanan ruangan.

Jendela itu tidak ada sebelumnya.

 

Aku mendekat dengan hati-hati. Bingkainya tua dan kusam. Tapi kaca jendelanya bersih. Terlalu bersih. Seperti baru dibersihkan seseorang.

Aku berharap melihat dunia luar. Pohon, taman, langit. Tapi yang kulihat justru sesuatu yang membuat leherku dingin.

Di balik jendela itu, aku melihat kamarku sendiri.

Kamarku yang nyata. Tempat tidur yang sama. Cermin di dinding. Tapi... aku tidak sedang berdiri. Aku sedang berbaring di atas kasur. Mataku terpejam. Tubuhku tenang. Terlalu tenang.

Seolah... aku tertidur selamanya.

 

Aku memandangi sosok itu. Tubuhku sendiri. Tapi rasanya asing. Seolah hanya kulit yang disisakan, dan ada sesuatu lain yang tinggal di dalamnya.

Lalu aku melihatnya.

Sebuah bayangan hitam berdiri di sisi tempat tidur. Tingginya menjulang, tanpa bentuk jelas. Seperti asap hitam yang terbungkus kabut. Tapi matanya merah. Menyala.

Bayangan itu mendekat ke tubuhku. Ia membungkuk. Dan seperti berbisik ke telinga sosokku yang tertidur.

Tubuhku di tempat tidur bergerak sedikit. Jemarinya menggenggam seprai.

Itu bukan aku.

 

Aku mundur dari jendela. Nafasku memburu. Tapi tidak ada udara. Tidak ada angin. Rasanya seperti mencoba bernapas di bawah air.

Tiba-tiba, suara memanggil.

“Raka.”

Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa.

“Raka. Dengarkan aku.”

Suara itu datang dari arah cermin. Tapi kali ini bukan pantulanku yang berbicara. Suaranya… suara Aurel.

“Aurel?” suaraku serak.

“Kamu harus bangun sebelum dia mengambil semuanya. Dia belum sepenuhnya masuk ke dalam tubuhmu. Masih ada celah. Tapi tidak lama lagi.”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Cari pintu yang tidak terlihat. Dan jangan percaya apa pun yang kamu lihat setelahnya. Termasuk aku.”

 

Cermin mulai bergetar. Permukaannya seperti air yang dicampur tinta. Retakannya menyebar perlahan. Dan aku mendengar suara dari sisi lain.

Tok… tok… tok…

Tapi kali ini, bukan dari cermin. Dari belakangku.

Aku berbalik.

Jendela itu terbuka sedikit. Padahal tadi terkunci. Angin dingin masuk, membawa suara-suara aneh. Seperti bisikan banyak mulut yang saling bertabrakan.

Aku ingin lari. Tapi ke mana?

Ruangan ini masih tak punya pintu.

Lalu lantainya berubah. Kayu yang kusentuh mulai membentuk pola. Seperti lingkaran. Seperti... segitiga berlapis, dengan simbol yang tidak kukenal.

Sebuah suara terdengar dari dalam lantai.

“Kalau kau ingin kembali, masuklah ke dalam simbol. Tapi kamu harus tinggalkan satu hal.”

“Satu hal apa?”

“Tinggalkan rasa takutmu. Atau dia akan mengikutimu sampai bangun.”

 

Aku berdiri di tengah simbol. Cahayanya perlahan menyala. Cermin pecah tepat saat aku memejamkan mata.

DUARR!!

Satu kilatan cahaya memantul dari segala arah. Tubuhku seperti ditarik ke atas, tapi juga terjatuh sekaligus.

Satu detik sebelum semuanya gelap, aku mendengar suara Aurel lagi.

“Kalau kamu tidak berhasil kembali... setidaknya, jangan biarkan dia menggunakan tubuhmu.”

Aku membuka mata.

Napasku tersendat. Tubuhku berat. Cahaya putih menyilaukan mataku, lalu perlahan menghilang, digantikan bayangan langit-langit yang kukenal... atau setidaknya terasa akrab.

Kamarku?

Aku bangkit setengah duduk. Ruangan ini terlihat seperti kamarku di rumah Ayzen, tapi ada sesuatu yang tidak benar.

Cerminnya retak. Jendelanya terbuka, padahal semalam kututup. Dan jam dinding… tidak berdetak. Jarumnya terhenti tepat pukul tiga, waktu yang sama saat semua ini mulai terjadi.

Aku turun dari ranjang dan menapaki lantai kayu yang terasa lebih dingin dari biasanya. Langkahku menggema, meski seharusnya tidak. Aku membuka pintu kamar.

Lorong yang kutemui di luar... tidak seperti sebelumnya.

 

Lorongnya menurun.

Bukan mendatar seperti kemarin. Lantai miring perlahan, dan cahaya lampu gantung memanjang aneh, seperti ditarik gravitasi lain. Dinding kanan dipenuhi cermin kecil, dan setiap pantulan menunjukkan lorong yang berbeda dari tempat aku berada. Kadang berisi darah. Kadang kosong. Kadang ada aku yang berjalan... tapi tidak bersamaku.

Aku mulai menuruni lorong itu. Langkah demi langkah seperti berjalan di dalam mimpi yang terlalu nyata.

Sampai akhirnya aku melihatnya.

Sebuah tangga.

Tapi tangga itu tidak naik. Tidak turun. Ia hanya menggantung di udara. Tak terhubung ke mana-mana. Ujung bawahnya tidak menyentuh lantai, dan ujung atasnya tidak menempel ke langit-langit. Tapi anak-anak tangganya kokoh, seperti mengundangku untuk mencoba menaikinya.

Di bawahnya tertulis dengan kapur:

"Satu langkah naik, dua langkah jatuh. Jika kau tetap di bawah, dia akan mengambil alih."

 

Aku menatap tangga itu lama. Rasanya tidak masuk akal. Tapi di rumah ini, logika sudah lama tak berlaku.

Aku menarik napas, lalu menaiki anak tangga pertama.

KRUK.

Tangga itu bergerak sedikit, tapi tidak ambruk. Aku melanjutkan.

Anak tangga kedua.

Ketiga.

Keempat...

Lalu semuanya berubah.

 

BRUKKK!!

Tangga berguncang hebat. Pandanganku gelap sejenak. Ketika aku membuka mata, aku tidak lagi berada di udara.

Aku berada di tengah ruang makan.

Tapi sekarang meja makannya penuh makanan. Mewah. Asapnya masih naik dari sup dan roti yang baru dipanggang. Pistol tua masih berada di tengah meja, tapi kini dikelilingi oleh enam kursi yang semuanya terisi.

Aku melihat Aurel. Duduk di sisi kanan. Rambutnya lebih panjang. Wajahnya lebih pucat. Ia menatapku, tapi tidak tersenyum.

Di sampingnya ada Ezra, dan empat orang lain yang belum pernah kulihat. Wajah-wajah mereka kosong. Pucat. Seperti lilin yang mulai meleleh.

“Duduklah,” kata Ezra.

Aku tidak bergerak.

“Duduk, Raka. Kalau tidak, kamu akan tetap jatuh selamanya,” kata Aurel tanpa emosi.

Aku menarik kursi dan duduk perlahan. Kursi itu dingin. Kayunya seperti batu.

Salah satu orang di meja itu mulai tertawa kecil. Matanya berputar perlahan, seperti tidak memiliki fokus.

“Lagi-lagi anak baru,” gumamnya.

Ezra menggeser sebuah piring ke arahku. Di atasnya, bukan makanan. Tapi sebuah kunci kecil berwarna hitam. Gagangnya berbentuk mata tertutup.

“Apa ini?”

“Jalan keluar,” jawab Aurel.

“Ke mana?”

“Ke tempat kamu seharusnya tidak pernah masuk.”

 

Tiba-tiba, suara dari balik dinding terdengar. Gedoran keras.

DUK! DUK! DUK!

Seluruh ruangan berguncang. Makanan tumpah. Angin dingin masuk lewat celah lantai. Lampu menggantung berayun cepat.

“Kita harus pergi,” kata salah satu dari mereka.

“Belum. Biar dia yang pilih,” sahut Ezra sambil menatapku tajam.

Aku menggenggam kunci itu. Rasanya dingin, seperti es. Tapi ada sesuatu yang aneh. Saat kucengkeram, kunci itu terasa... berdenyut.

Aurel bersuara pelan. “Kamu harus menuju ruang terakhir. Tapi jangan lihat ke belakang. Apa pun yang terjadi.”

“Kenapa?”

“Karena dia akan mengikuti dari bayanganmu. Dan kalau kamu menoleh, kamu akan jadi bagian rumah ini. Selamanya.”

 

Suara di balik dinding makin keras. Sekarang seperti kuku yang mencakar. KREEK… KREEK…

Lantai mulai retak. Kursi di seberangku roboh. Tapi keenam orang di meja hanya duduk. Tidak panik. Tidak bicara lagi.

Mereka sudah biasa.

Mereka sudah pernah melalui ini semua.

Aku bangkit, membawa kunci. Pintu di ujung ruangan terbuka sendiri, gelap pekat di baliknya.

Aku menatap Aurel untuk terakhir kali.

Ia hanya berkata, “Jangan percaya cahaya pertama yang kamu lihat.”

Aku masuk ke dalam.

Dan menutup pintu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel