Bab 2
Malam kedua datang tanpa suara. Tidak ada jangkrik. Tidak ada angin. Tidak ada apa pun. Hanya detak jantungku yang terasa semakin jelas di dalam kepala.
Aku duduk di atas ranjang, menatap cermin besar yang menempel di dinding. Aku sudah menutupinya dengan kain putih sejak sore tadi, tapi entah kenapa kain itu seperti tidak cukup. Bayangan samar tetap muncul, seperti menembus lapisan tipis yang memisahkan dunia ini dan… sesuatu yang lain.
Kucing hitam itu, Luno, tidak muncul sejak pagi. Biasanya dia duduk di bawah tangga atau memandangi pintu dapur yang tak pernah dibuka. Tapi hari ini, rumah terasa lebih sepi tanpanya. Seperti ada penjaga yang absen.
Aku mencoba tidur. Tapi baru memejamkan mata, terdengar bunyi.
Tik… tik… tik…
Bukan ketukan kali ini. Seperti kuku, mengetuk perlahan kaca dari balik sesuatu.
Aku membuka mata. Cermin itu masih tertutup.
Lalu kainnya… bergerak sedikit.
Seperti ada hembusan angin dari belakangnya. Tapi jendela dan pintu tertutup. Tidak ada celah.
Aku bangkit, mendekati cermin. Kainnya melambai pelan. Tanganku gemetar saat menyentuh kain itu, mencoba menahannya agar tidak bergerak.
Tik… tik… tik…
Suara itu tetap terdengar. Lebih jelas. Lebih dekat.
Aku menarik kain itu perlahan.
Dan aku melihatnya.
Bayanganku di dalam cermin menatapku balik, tapi tubuhnya tidak sepenuhnya sama. Matanya lebih hitam. Kulitnya lebih pucat. Dan senyumnya… bukan senyum milikku.
Aku mundur selangkah.
Bayangan itu tidak.
Aku menoleh ke belakang, memastikan tidak ada siapa-siapa di kamarku. Kosong.
Tapi ketika kutatap kembali ke arah cermin, bayangan itu mengangkat tangan… dan mengetuk permukaan dari dalam.
TOK.
TOK.
TOK.
Tiga kali. Lambat. Mengancam.
Aku hendak menutup kembali kainnya, tapi sesuatu di mataku menangkap detail baru.
Ada tulisan di ujung bawah cermin. Tertulis dengan jari yang seperti dilumuri embun, atau sesuatu yang lebih lengket.
"Kamu bukan tamu pertama."
Tulisannya memudar perlahan.
Pagi harinya aku turun ke dapur. Tapi ruang makan kosong. Bahkan Aurel tidak ada. Pistol itu sudah tidak ada di atas meja.
Aku memanggil. "Aurel?"
Tidak ada jawaban.
Aku berkeliling, mencari dia di ruang-ruang lain. Tapi setiap pintu yang kubuka hanya menunjukkan ruangan yang tidak seperti semalam. Ruang tamu berubah posisi. Lorong tampak lebih panjang. Lukisan berubah tempat. Bahkan ada satu lukisan baru—menampilkan diriku sendiri, berdiri di depan cermin.
Aku mundur dari ruangan itu. Nafasku cepat.
Lalu suara dari belakangku membuat jantungku berhenti sebentar.
"Jangan lari."
Aku menoleh cepat.
Ezra berdiri di ujung lorong. Matanya menatap kosong, dan suaranya terdengar terlalu datar.
"Kenapa kamu lihat cermin itu semalam?"
"Kenapa tidak?"
"Karena ia sedang bangun."
Aku tidak sempat bertanya lebih jauh. Ezra sudah berbalik dan berjalan pergi tanpa menjelaskan.
Hari itu aku tidak menemukan Aurel. Tidak ada siapa-siapa selain Ezra yang muncul hanya sesekali. Tuan Harlan juga tidak terlihat.
Hanya aku. Dan rumah ini. Yang perlahan mulai berubah.
Malam pun datang lagi.
Kali ini aku tidak menutup cerminnya.
Aku hanya duduk diam, menunggu. Tidak karena aku ingin. Tapi karena sesuatu di dalam diriku seperti mulai menerima. Seperti ada bagian dari rumah ini yang sedang menyatu denganku.
KREEEK…
Cermin berderak perlahan. Tanpa disentuh, retaknya muncul samar.
Dan suara dari balik sana kembali memanggil.
"Raka… buka matamu. Sudah waktunya kau ingat."
Aku terbangun di tempat yang bukan kamarku.
Lantai batu dingin. Bau tanah lembap. Cahaya remang datang dari satu-satunya lilin di pojok ruangan. Cermin besar berdiri di depanku, masih dengan retakan samar yang muncul sejak malam sebelumnya.
Aku bangkit perlahan. Tidak ada jendela. Tidak ada pintu.
Ruangan ini tidak memiliki jalan masuk maupun keluar, tapi aku ada di sini.
Aku tidak ingat kapan tertidur. Tidak ingat berjalan. Tidak ingat apa pun setelah suara itu memanggilku dari balik kaca.
Aku mendekati cermin. Kali ini, pantulannya tidak menunjukkan diriku sendiri, tapi… sesuatu yang lain.
Di dalam cermin:
Lorong rumah Ayzen. Malam. Kamera bergerak perlahan, seperti pandangan seseorang yang sedang berjalan. Suara langkah terdengar.
Tok. Tok. Tok.
Seorang anak laki-laki berdiri di depan salah satu pintu kamar. Wajahnya tidak terlihat jelas. Tapi tubuhnya kecil. Kurus. Rambutnya acak-acakan seperti... aku saat kecil?
Dia mengetuk tiga kali.
Tidak ada yang membuka. Dia mundur.
Dari balik pintu itu muncul kabut gelap. Kabut itu perlahan merayap, lalu menelan anak laki-laki itu sepenuhnya. Cermin bergetar.
DUAR!!
Sesuatu seperti sambaran petir membelah langit di pantulan cermin. Tapi tidak ada hujan. Hanya... kilatan terang, dan teriakan.
Pantulan itu menghilang. Seketika, wajahku sendiri kembali muncul di cermin, tapi mataku merah. Bukan karena menangis. Lebih seperti... dipenuhi darah.
Aku mundur satu langkah.
Ruangan ini mulai berubah warna. Dinding-dindingnya tampak berdenyut seperti daging hidup. Cahaya lilin berkedip cepat.
BRAKK!!
Tiba-tiba, satu dinding terbuka seperti retakan.
Bukan pintu. Tapi celah yang muncul dengan sendirinya. Gelap total di dalamnya.
Aku ragu. Tapi duduk diam lebih mengerikan daripada berjalan ke arah gelap itu. Jadi aku masuk.
Langkahku membawa ke lorong sempit. Dindingnya dari kayu lapuk, tapi setiap papan memuat ukiran kecil. Wajah-wajah manusia. Semua dengan mata tertutup.
Aku menapaki tangga sempit, lalu sampai di ruang loteng yang sangat tinggi. Di sana ada meja bulat. Di atasnya berdiri sebuah bingkai foto tua.
Aku mendekat.
Foto itu... menampilkan lima orang. Salah satunya adalah Aurel. Masih kecil. Tapi tidak ada yang lain yang kukenal. Di bagian bawah bingkai tertulis:
"Keluarga Ayzen. Tahun ke-116."
Tahun ke-116?
Aku merinding. Tidak mungkin.
Tanganku nyaris menyentuh bingkai itu saat seseorang berbicara di belakangku.
"Jangan dipegang. Waktu di tempat ini tidak suka disentuh."
Aku berbalik cepat.
Ezra berdiri di sana. Lagi.
"Kau ada di mana-mana, ya?" tanyaku pelan.
"Aku bagian dari rumah ini," jawabnya singkat.
"Kamar itu... kenapa aku bisa ada di sana?"
Ezra menatapku lama. “Karena kamu sudah dipilih. Tapi kamu masih bisa menolak.”
“Menolak apa?”
“Menjadi bagian dari ingatan yang terulang.”
Aku mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti."
Ezra mendekat, lalu berbisik.
“Cermin itu bukan hanya menunjukkan. Ia menyimpan. Semua yang melihatnya terlalu lama akan mulai menghilang dari dunia nyata... dan muncul di sini.”
Aku menatap cermin di ujung ruangan. Untuk sesaat, aku melihat diriku sendiri duduk di ranjang—di kamar lamaku—dalam keadaan tertidur. Tapi tubuhku... perlahan menghilang.
Bayanganku di dunia luar sedang memudar.
"Aku masih bisa kembali?" tanyaku.
Ezra menatap lilin kecil yang menyala di sudut ruangan.
“Kalau nyala itu padam, kamu tidak bisa kembali.”
Aku berlari ke arah celah tempatku masuk tadi. Tapi dinding di belakangku sudah menutup.
Tidak ada jalan keluar.
Satu-satunya yang tersisa adalah cermin.
Pantulanku menatapku.
Lalu... ia tersenyum.
Tok. Tok. Tok.
Dan kali ini, bukan aku yang mengetuk.
Pantulan itu mengangkat tangannya, lalu mengetuk ke arahku.
Tiga ketukan. Lambat. Dalam.
Kemudian, ia berbicara.
"Aku akan tinggal di tempatmu sebentar. Kamu istirahat saja di sini..."
