Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

Liburan sekolah baru saja dimulai ketika aku menerima pesan dari seseorang yang nyaris kulupakan.

Aurel Evanthe Ayzen.

Teman lama. Bukan dekat, tapi cukup akrab untuk saling menyimpan nomor. Terakhir kami bertemu dua tahun lalu. Setelah itu, dia menghilang dari sekolah, katanya pindah ke luar kota. Tidak ada kabar sejak itu. Lalu tiba-tiba, hari ini, aku mendapat pesannya.

> "Ayo ke rumahku. Perkebunan keluarga. Udara bersih, tidak ada suara mobil. Kamu butuh tenang, kan?"

Seharusnya aku menolak. Tapi entah kenapa… aku tidak bisa. Seolah pesannya bukan ajakan, tapi panggilan.

 

Sore hari, aku tiba.

Gerbang itu tinggi dan tua, terbuat dari besi berkarat dengan simbol aneh di tengahnya. Mawar merah merambat liar sepanjang pagar batu. Tapi tidak seperti mawar biasa, kelopaknya lebih gelap, seperti basah oleh sesuatu yang bukan embun.

“Akhirnya datang juga,” kata suara lembut di belakang gerbang.

Aurel berdiri di sana. Rambutnya panjang dan keperakan, wajahnya pucat tapi bersih. Matanya… ungu gelap, terlalu tajam untuk mata manusia. Tapi senyumnya masih sama.

“Aku kira kamu bercanda,” kataku.

Dia tertawa pelan. “Aku tidak pernah bercanda soal rumah ini.”

KREEEEK…

Tanpa disentuh, gerbang itu terbuka perlahan. Bunyi gesekan besi menggema, menusuk telinga, seperti lolongan yang ditahan.

Langkahku berat saat masuk. Entah karena jalannya penuh kerikil, atau karena udara di balik gerbang ini jauh lebih dingin dari luar.

 

Perjalanan ke rumah utama hanya sepuluh menit, tapi rasanya seperti satu jam. Pohon-pohon tua mengelilingi jalan setapak, membentuk terowongan alami yang menelan cahaya. Setiap helai daun seperti menatapku. Angin tidak berhembus, tapi ranting-ranting bergerak.

Lalu...

BRUK!!

Sesuatu jatuh dari atas. Aku tersentak, tubuhku mundur refleks.

Seekor kucing hitam melompat dari pohon, mendarat tepat di depan kakiku. Matanya menatapku lama sekali. Bukan sekadar binatang. Tatapannya terlalu… sadar.

“Itu Luno,” kata Aurel, masih santai. “Dia penjaga halaman.”

“Penjaga?”

“Dia lebih tua dari rumah ini.”

Aku menelan ludah. Entah kenapa, aku percaya.

 

Rumahnya besar.

Bangunan tua dua lantai dengan gaya kolonial. Cat putihnya sudah mengelupas di beberapa tempat, tapi tidak kusam. Jendela-jendela tinggi dengan tirai gelap menutup rapat. Halamannya bersih, tapi tidak ada suara burung atau serangga. Hanya… diam.

Di tangga depan berdiri seseorang. Seorang pria tua berjas hitam.

“Ini Tuan Harlan,” kata Aurel. “Dia akan bawa koper kamu.”

Pria tua itu tidak berkata apa-apa. Matanya kosong, tapi tidak mati. Dia hanya mengangguk, mengambil tasku, lalu berjalan masuk. Suaranya bahkan tidak terdengar di lantai kayu itu.

“Dia tidak bicara?” tanyaku pelan.

Aurel menoleh, masih tersenyum. “Dia hanya bicara kalau diperlukan. Dan kamu tidak akan suka mendengar suaranya.”

 

Di dalam rumah... tidak lebih hangat.

Ruang tamunya luas, tapi terasa seperti museum. Tidak ada debu, tidak ada sarang laba-laba. Tapi semua benda tampak tua dan berhenti hidup. Sebuah lukisan besar tergantung di atas perapian—seorang pria dengan mata tertutup kain merah, dan darah menetes dari bawahnya.

“Ayahku,” kata Aurel. “Dia suka melukis dirinya sendiri.”

Aku tidak menjawab.

 

Ruang makannya aneh.

Meja panjang berisi banyak kursi. Tapi tidak ada makanan, tidak ada piring. Hanya satu benda di tengah meja:

Sebuah pistol tua.

Aku berhenti melangkah.

“Mainan keluarga,” kata Aurel ringan. “Nanti kamu akan tahu gunanya.”

KRAKK!!

Lantai di bawah kursi Ezra, kakak Aurel, retak saat dia menarik kursinya untuk duduk. Aku baru sadar dia sudah di ruangan sejak tadi. Wajahnya tampan, tapi tajam. Dia menatapku lama, lalu berkata, “Jangan percaya semua suara yang kamu dengar malam nanti. Tidak semua yang memanggilmu ingin kamu selamat.”

 

Malam datang cepat.

Kamar tempatku menginap berada di ujung lorong. Ada cermin besar di dinding, menghadap tempat tidur.

“Kau boleh tutupi kalau tidak nyaman,” kata Aurel. “Tapi cermin ini tidak suka diabaikan.”

Aku tertawa kecil, berharap itu bercanda. Tapi dia tidak tertawa balik.

 

Tengah malam.

Aku terbangun oleh suara.

KRIK... KRIK...

Seperti kuku yang menggores permukaan kaca.

Aku menoleh. Cermin itu... berembun. Padahal tidak ada uap, tidak ada suhu lembap.

Lalu aku dengar suara.

“Raka… kamu belum pulang…”

Jantungku berhenti sebentar.

DUAR!!

Petir menyambar pohon di luar. Cahaya kilat masuk ke kamar, dan aku melihatnya bayanganku di cermin tersenyum, padahal aku tidak.

Aku tidak tidur lagi malam itu.

Setelah suara dari cermin berhenti, aku tetap duduk di ranjang, menatap permukaan kaca yang mulai jernih. Wajahku kembali seperti semula. Tidak tersenyum. Tidak bergerak sendiri. Tapi suasana kamar ini sudah berubah. Rasanya seperti ada sesuatu yang keluar dari dalam kaca dan sekarang bersembunyi di sudut ruangan.

Jam dinding berdetak pelan. Setiap bunyinya seperti palu yang memukul sarafku satu demi satu.

Tok... tok... tok...

Itu bukan suara dari jam. Itu datang dari arah pintu kamar.

Siapa yang mengetuk pukul dua pagi?

Aku berjalan pelan ke arah pintu. Tidak ada suara lain. Ketukannya berhenti, tapi hawa dingin seperti menembus celah bawah pintu dan menyentuh kakiku.

Tanganku hampir menyentuh gagang ketika suara ketukan berubah.

TOK TOK TOK TOK!!

Ketukannya menjadi cepat, keras, seolah orang yang panik atau sedang marah.

"Aurel?" tanyaku, pelan sekali.

Tidak ada jawaban.

Aku mengintip melalui lubang kunci. Gelap. Tapi ada perasaan aneh, seperti sesuatu sedang berdiri diam di depan pintu. Seolah ia juga mengintip dari sisi sebaliknya.

Aku langsung mundur. Tidak membuka pintu.

Ketukan berhenti.

 

Pagi harinya, cahaya masuk dari jendela besar di lorong. Tapi sinar matahari di tempat ini terasa lemah. Hangatnya tidak pernah benar-benar menyentuh kulit.

Aku turun ke ruang makan. Aurel sudah duduk di sana, menyeduh teh. Pistol tua itu masih berada di tengah meja. Diam. Seolah tidak pernah dipindahkan.

"Kamu dengar suara tadi malam?" tanyaku sambil duduk perlahan.

Aurel menatapku. Ekspresinya tenang, tapi tidak kosong.

"Aku dengar," katanya akhirnya.

"Apa itu?" suaraku lebih pelan dari niatku.

"Setiap tamu akan mendengarnya pada malam pertama. Karena rumah ini belum mengenalmu. Ia mengetuk, mencoba tahu siapa kamu. Kalau kamu buka pintu, ia bisa masuk. Kalau tidak... ia akan menunggu kesempatan lain."

Aku menggenggam cangkir. Tehnya sudah dingin.

 

Setelah sarapan, Aurel mengajakku berkeliling rumah. Lorong-lorong panjang sepi, hanya berisi derit lantai kayu dan hembusan angin yang tidak jelas dari mana asalnya. Lukisan-lukisan tua menggantung di dinding. Ada satu lukisan yang membuat langkahku terhenti.

Seorang wanita dalam baju tidur berdiri di balkon, menatap ke bawah. Tapi bayangannya di lantai menunjukkan dirinya sedang memegang pisau.

"Itu lukisan favorit ibuku," kata Aurel, melihatku menatapnya.

"Bayangannya berbeda," gumamku.

"Ibu bilang, cermin dan bayangan selalu lebih jujur daripada orangnya."

 

Kami sampai di satu pintu besar yang terkunci dengan tiga gembok. Kayunya lebih gelap dari pintu lainnya. Di atasnya tergantung papan kecil bertuliskan: “Dilarang Masuk. Bahkan oleh yang sudah mati.”

Aku menelan ludah. "Apa isinya?"

Aurel diam cukup lama sebelum menjawab.

"Itu tempat penyimpanan masa lalu. Dan kalau kamu masuk, kamu harus tinggalkan masa sekarang."

"Kenapa masih disimpan?"

"Karena tidak semua yang harus dikubur bisa dikubur."

 

Kami kembali ke ruang depan menjelang sore. Langit di luar sudah menguning, tapi jam di dinding tetap menunjukkan pukul tiga. Tidak bergerak sejak tadi pagi.

"Apa jam di sini rusak?" tanyaku sambil menunjuk.

Aurel hanya menatapnya dan berkata pelan.

"Di rumah ini, waktu tidak bisa memaksakan kehendaknya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel