3. Rindu Palsu Dan Pelukan Hangat
Ponsel Veronica bergetar ketika pria itu hendak kembali bicara. Ketika mendengar suara helaan napas dan wajah itu berpaling ke arah lain, Veronica menunduk dan merogoh ponselnya. Saat dua matanya sudah menatap layar ponsel yang berkedip-kedip itu, wajah Veronica mendadak panas. Tangannya gemetaran dan bibirnya berkedut.
Harus apa sekarang?
Veronica terdiam seribu Bahasa, lalu perlahan wajahnya mendongak ke arah seorang pria yang masih duduk santai dan memegang gagang koper miliknya. Tatapan itu terlihat aneh, dan tidak tahu kenapa Veronica harus menatapnya.
Perlahan wajahnya kembali menunduk menatap ponselnya yang terus bergetar. Dengan jari gemetar, Veronica akhirnya menekan icon berwarna hijau hingga panggilan tersambung.
“Halo, Sayang. Kenapa lama sekali mengangkat panggilanku? Kamu sedang sibuk?”
Suara dari seberang sana membuat Veronica merinding. Tubuhnya memanas mengingat kembali apa yang tadi ia lihat. Apakah dia menelpon setelah bercinta dengan Wanita itu? Suaranya terdengar berat. Veronica sangat paham dengan suara itu.
“Hei, kenapa kamu diam saja?” suara itu kembali masuk ke telinga, membuat Veronica bergidik. Ia menelan ludah dan sekarang merasakan bibirnya sulit sekali terbuka.
Dari posisi duduknya saat ini, pria itu memandang Veronica senyum mencibir. Pria itu duduk menyilang kaki lagi dan bersandar dengan kedua tangan ia angkat untuk mengganjal kepalanya.
“Ha-hai …” Veronica bersuara tapi begitu pelan dan hampir tidak terdengar.
“Kenapa lirih sekali? Apa kamu sakit?”
Veronica tidak sanggup lagi mendengar suara di balik ponselnya. Suara itu terdengar perhatian seperti biasa ketika melakukan sebuah panggilan rindu. Namun, dibalik semua itu, apakah itu perhatian yang nyata? Dadanya kembali terasa sesak dan buliran bening mendorong dan memaksa untuk ke luar.
“A-aku, aku baik-baik saja, kok.”
Dasar pembohong!
Veronica mendengar dua kalimat yang terucap dengan singkat itu. Bukan dari balik ponsel, melainkan suaranya berasal dari arah sofa. Veronica tidak terlalu peduli dan dia kembali pada panggilannya.
“Tapi suara kamu terdengar aneh.”
“Oh, aku hanya sedang merindukan kamu.” Sunggu sesak di dada begitu kalimat itu terucap. Sebuah rindu nyata yang Veronica pendam selama ini, lalu ketika mendengar suara itu semua tampak tidak berarti lagi. “Ya, aku sangat merindukan kamu,” lanjutnya lagi.
Pria di balik ponselnya tertawa. Sebuah tawa yang lagi-lagi sangat Veronica rindukan. Semakin tidak kuat untuk berucap, Veronica memejamkan kedua mata beberapa saat sambil menekan dadanya. Dia berbalik badan, menyadari ada orang lain yang sedang melihatnya.
“Harusnya aku tidak usah menangis,” batinnya.
Bukan lagi terguncang sekarang, Veronica juga sudah menjauhkan ponselnya ketika suara isak tangisnya tiba-tiba mencuat ke luar. Veronica lantas berdehem lalu kembali menempelkan ponsel pada daun telinganya.
“Hei, maaf, aku hanya sedih karena terlalu merindukan kamu.”
Tawa di sana sudah tidak terdengar dan sekarang Veronica hanya mendengar desahan seolah-olah pria di sana juga sedang merindukannya.
“Aku juga rindu kamu. Kamu sedang apa sekarang?”
“Tidak ada. Em, aku hanya sedang membaca buku seperti biasanya.”
Dan lagi, pria itu menaikkan ujung bibir dan mendecih seolah menertawakan kalimat Veronica yang penuh kebohongan.
“Ini sudah malam, apa kamu sudah makan?”
Hampir tidak ada pembahasan lain dan memang hanya itu-itu saja. Veronica tidak terlalu memikirkan sebelumnya sampai ia menyadari kalau obrolan ini ternyata memang sudah membosankan untuk pria yang sekarang di sana bersama wanita lain.
“Ya, aku sudah makan. Sebentar lagi aku akan tidur.”
“Oh, oke. Aku akan menelponmu besok pagi.”
Pecah sudah air mata yang ia tahan supaya tidak bersuara. Kedua pundak sudah bergerak naik turun sesenggukan sementara tangannya jatuh lemas dan ponselnya mendarat sempurna di atas lantai bersamaan dengan tubuhnya yang merosot perlahan.
Ingin tidak bersuara, tapi tidak bisa. Veronica menekuk kedua kakinya lalu menyembunyikan wajahnya yang kacau di antar ke dua lututnya.
Dasar Wanita bodoh!
Pria itu bangun, kemudian menghampiri Veronica. Dia berdiri beberapa detik dan mengamati tubuh yang meringkuk itu. Tidak lama setelah itu, dia membungkuk dan meraih tubuh yang sedang menangis itu. Veronica seketika terjungkat kaget, tapi ketika ingin menarik diri, pria besar itu sudah mengangkatnya dalam gendongan. Veronica mencoba berontak dan menyembunyikan wajah kacaunya, tapi pria itu semakin erat menggendongnya ala bridal style. Tatapan tajam mata elangnya, membuat Veronica membisu seperti terkena hipnotis.
Tubuh yang lemas itu perlahan jatuh di atas ranjang. Veronica tidak bereaksi apa pun, selain masih menatap pria asing itu. Wajahnya tampan, alisnya sangat tebal dan bibirnya begitu indah. Oh, ya Tuhan, apa yang kamu pikirkan Veronica!
Veronica spontan membuang muka dan duduk sambil memeluk tubuhnya sendiri. Sementara di depannya, pria itu masih berdiri tegap dan Veronica tidak berani mendongak. Dia tidak mau peduli dengan siapa orang ini. Hatinya sedang hancur sekarang, yang ada di otaknya hanya bagaimana keadaan sang suami yang sekarang sedang bersama pria lain.
“Apa dia selingkuh?”
Veronica mengusap wajahnya lalu mendongak. Mereka saling menatap beberapa detik kemudian Veronica menunduk lagi.
Kenapa aku bisa di sini? Siapa pria ini? Apa dia sedang mencoba menghiburku? Tapi kita tidak saling mengenal.
Tiba-tiba pria itu duduk di samping Veronica dan langsung merangkul pundak Veronica hingga kepalnya terjatuh tepat di lengan kuat itu. Veronica ingin menyingkir, tapi rangkulan itu begitu erat dan perlahan ia merasakan usapan lembut di lengannya.
Cukup lama Veronica merasakan usapan itu hingga tidak terasa air mata kembali terjatuh. Pelukan ini hangat seperti saat papa dan mama sedang memeluk Veronica ketika sedang ada masalah. Air mata pun kian deras dan Veronica menjatuhkan wajah basah pada dada pria itu. Dia menangis sejadi-jadinya seolah ia sedang mengadu betapa hancurnya hati ini sekarang. tiada yang lebih menyakitkan selain dikhianati orang yang paling dicintai.
Pria itu mengusap lembut bagian kepala Veronica dan ia mencium aroma wangi di rambut tebal itu. Hampir saja ia mencium sebelum tersadar dan seketika ia memalingkan wajah ke arah lain tapi kedua tangannya masih berada di tempat semula.
“Kenapa dia mengkhianatiku? Kenapa dia melukaiku?” Veronica bersuara dengan nada parau. Dia tidak sadar sudah meremas baju pria itu. “Aku sangat mencintainya, ta-tapi … tapi … hiks!”
Veronica menyembunyikan wajahnya di dada itu semakin dalam. Dia tidak peduli jika baju pria itu basah dan kotor karena ulahnya.
“Wanita sialan! Dia membuat sesuatu dalam diriku meningkat.” Wajah Pria itu berkerut sampai kedua matanya mengatup rapat menahan sesuatu. Ia hampir berdecak dan mendesis, tapi ia tahan dengan menelan ludah.
“Untuk apa aku peduli dengannya,” ucapnya dalam hati lagi. “Dia siapa? Aku siapa? Dasar Wanita aneh!”
Hikshiks!
“Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi?” suara itu sekarang terdengar melemas. Veronica mendongak dan kedua matanya terlihat sembab dan sayu hampir seperti tidak sadarkan diri.
Sial! Dia sangat cantik! Aku mana tahan kalau begini?
***
