Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Masuk Dalam Perangkap

Veronica terbangun dengan mata berat dan masih sembab. Kepalanya terasa pening ketika digerakkan. Ia memejamkan mata rapat-rapat lalu menekan bagian kening dan mendesis pelan. Sungguh berat dan tidak nyaman. Veronica mulai bergeser, dia merasakan ada sesuatu yang melingkar di bagian pinggangnya. Lalu ketika ia membuka selimut yang menutupi Sebagian tubuhnya, Veronica melihat satu tangan di sana.

Dua mata Veronica seketika membulat sempurna. Dia mencengkeram ujung selimut lalu menutup mulutnya yang terbuka menggunakan telapak tangan.

Astaga, bagaimana bisa?

Veronica menelan ludah kemudian perlahan lehernya memutar untuk memastikan seseorang yang tidur di belakangnya. Wajah Veronica sudah merengut dan meringis. Dia menggigit bibir ketika wajahnya sudah menghadap ke belakang. Lalu, ketika ia merasa yakin, barulah kedua matanya terbuka secara perlahan. Ya, orang yang semalam memeluknya sekarang tengah tidur dengan satu tangan merangkul ke bagian pinggang Veronica.

“Ya, Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak sedang mabuk semalam, kan?” Veronica membatin.

Veronica tidak mau berpikir macam-macam. Jelas sekali dalam ingatannya kalau semalam ia dalam keadaan sadar. Namun, Veronica juga ingat kalau ia membiarkan pria itu membelainya ketika sedang menangis. Harusnya Veronica menolak sejak awal, tapi semalam hatinya benar-benar sedang hancur. Veronica butuh sebuah pelukan dan teman untuk mengurangi kekecewaannya.

Dengan Gerakan perlahan, Veronica kembali memutar posisi ke semula. Dengan wajah masih panik, Veronica mencoba menyingkirkan tangan kekar itu dari pinggangnya. Sambil menahan desisan yang mungkin ke luar, Veronica mengangkat secara perlahan. Lalu, saat tangan itu berhasil ia singkirkan, Veronica beralih menyibak selimut dan mengangkat kedua kakinya bergantian hingga bisa turun dari ranjang.

“Aku harus segera pergi dari sini.”

Veronica berjalan dengan langkah mengendap-endap. Dia tidak mau kalau sampai orang di atas ranjang itu terbangun. Sebelum meninggalkan kamar tersebut, Veronica menyapu pandangan untuk mencari barang-barang miliknya. Setelah mengamati beberapa menit, Veronika menemukan tas selempangnya di atas sofa, sementara kopernya berada di dekat meja sofa. Dua benda itu tidak terlalu berjauhan, membuat Veronica lebih mudah untuk mengambilnya.

Sekarang Veronica sudah berhasil ke luar dari kamar tersebut, lalu ketika sampai di depan pintu, ternyata pintu tersebut harus dibuka dengan sandi. Sial! Ini apartemen elit, keamanannya sangat terjaga. Lalu, kenapa kemarin bisa sampai tidak terkunci. Mungkinkah karena tidak tertutup sempurna?

“Aih, sial! Bagaimana ini?” Veronica berdecak dan menggigit ujung kukunya. “Aku tidak mungkin bisa ke luar kalau begini.”

Veronica mulai panik dan mondar-mandir tidak jelas. Ketika Veronica melakukan itu, dia tidak sadar kalau sudah ada orang yang berdiri di ambang pintu kamar. Pria itu bersandar pada bibir pintu dengan kedua tangan terlipat.

Ekhem!

Seketika Veronica terjungkat dan terkesiap mematung. Dia tercekat sampai menelan ludah dengan susah payah.

“Apa kamu mau kabur?”

Kening Veronica berkerut mendengar pertanyaan itu. “A-apa maksud kamu? Kenapa aku harus kabur? Aku hanya ingin pergi dari sini. Ini bukan tempatku.”

Pria itu melenggak dengan santai dan berhenti ketika sudah berjarak sekitar setengah meter dari Veronica. Sekarang, Veronica sudah gemetar dan takut karena pria di hadapannya ini jauh lebih besar darinya. Meski tinggi Veronica sekitar 165 cm, tapi tentu masih kalah jauh dari pria ini yang kemungkinan mencapai 190cm.

Sekarang Veronica benar-benar menciut. Dia ingin berteriak, tapi bagaimana jika orang ini melakukan sesuatu yang jahat?

“Kamu sangat tidak sopan. Apa orang tuamu tidak mengajarimu sopan santun?”

Veronica mendongak. “Apa maksud Tuan? Aku hanya ingin pergi dari sini? Di mana letak tidak sopannya?”

Pria itu tertawa dan terdengar dengusan kemudian. Pria itu tiba-tian menoyor kening Veronica hingga terdorong ke belakang.

“Kamu tiba-tiba masuk ke apartemenku, menangis sampai basah di mana-mana, lalu kamu mau pergi tanpa berpamitan dengan pemiliknya? Sungguh tidak punya adab.”

Veronica menelan ludah. Ia sadar betul dengan kesalahannya sekarang. jika dipikir-pikir, mungkin Veronica bisa saja kacau di luar sana usai menangis semalam. Andai bukan berada di sini, Veronica tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang.

“Aku minta maaf. Aku sedang kacau.” Hanya itu yang mampu Veronica ucapkan. “Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa.”

“Josh!

“Hm?” Veronica mendongak lalu turun menatap satu tangan yang terulur itu.

“Namaku Josh.” Dia menaikkan satu alisnya berharap uluran tangannya dibalas oleh Veronica.

Veronica awalnya ragu dan terdiam beberapa detik. Dia menatap tangan yang berotot itu dan tiba-tiba teringat dengan rangkulan di pinggangnya.

“A-aku Veronica,” jawabnya dengan cepat. Dia menjabat tangan itu dan melepaskan dengan cepat pula.

“Kamu yakin akan pergi?”

“Ya. Aku harus pergi. Masih ada sesuatu yang harus aku selesaikan.”

“Apa tentang kekasihmu?”

Veronica menggeleng. “Dia suamiku.”

Josh hanya membulatkan bibirnya. Lalu, tanpa berkata apa pun lagi, dia melenggang menuju pintu dan membukanya. “Baiklah, kalau kamu mau pergi.”

Veronica maju dan berhenti di ambang pintu. Dia menaikkan tudung hodinya yang ia pakai ketika baru ke luar dari kamar Josh. Veronica tidak mau kalau sampai suaminya tahu dia berada di kota ini.

“Sekali lagi aku minta maaf karena masuk tanpa permisi.”

“Tidak masalah.” Josh angkat bahu. “Terima kasih sudah jadi teman tidurku.”

Glek!

Veronica menelan ludah saat itu juga dan tertegun beberapa detik. Ia kemudian berdehem seolah mengalihkan pembicaraan. “Permisi,” ucapnya kemudian.

Veronica berjalan dengan langkah cepat. Dalam hati, ia berkata supaya lehernya tidak sampai memutar untuk menoleh ke belakang, melihat pria yang ternyata masih berdiri di ambang pintu menatap langkahnya.

“Kamu sudah masuk ke perangkapku. Mana mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”

Josh masuk ke dalam lagi dengan bibir menyeringai penuh arti. Dia sekarang tersenyum seolah sudah menemukan mainan baru.

“Sekarang aku harus apa?” tanya Veronica ketika sudah berada di halte. Dia celingukan seperti orang hilang.

Dia ingat kalau semalam suaminya akan menelpon ketika pagi hari. Namun, sampai menjelang siang pun tidak ada panggilan satu pun yang masuk. Hanya ada beberapa pesan dari mama yang menanyakan kabarnya.

Ketika Veronica duduk, ponselnya bergetar. Sudah bisa dipastikan itu adalah Delon. Harusnya Veronica senang, tapi tidak setelah apa yang terjadi.

“Halo.”

“Selamat pagi, Sayang. Maaf aku baru bisa menelpon, pekerjaanku sangat banyak hari ini.”

Veronica tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. aku tahu kamu selalu sibuk.”

“Hei, jangan marah. Setelah proyek di sini selesai, aku akan segera pulang.”

Untuk apa pulang? Bukankah di sini sudah ada yang mengurusnya. Ada wanita cantik yang mendampingi dan juga teman tidur. Untuk apa pulang?

Veronica ingin kembali menangis, tapi ia langsung mendongak dan menarik napas dalam-dalam.

“Sudah dulu ya, aku sedang di jalan sekarang.”

Kening Delon berkerut. Dia merasa aneh karena Veronica tidak seheboh biasanya ketika melakukan panggilan telepon. Kemudian, ketika Delon ingin bertanya, panggilan sudah terputus begitu saja.

“Ada apa dengannya? Kenapa mendadak cuek?” kening Delon sudah saling bertaut.

“Ada apa?” suara Wanita terdengar dari arah belakang.

Delon berbalik lalu tersenyum. “Tidak apa-apa. hanya orang yang pagi ini membuat pekerjaanku bertambah.”

“Jangan menipuku. Aku tahu, itu pasti istrimu kan?”

Delon tidak bisa mengelak sekarang. Wanita cantik bernama Jill itu memang sudah mengetahui segalanya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel