Bab 6. Gerak gerik aneh Ebin
Dinda mengangguk dan segera mengikuti keinginan Ebin.
Tiba tiba ponsel Ebin berdering.
"Astaga ... Siapa yang telpon sih?" Ebin kesal ada saja yang menggangu percumbuannya.
"Angkat aja dulu ..." Dinda mengelus lembut lengan Ebin.
"Halo!" Tanya Ebin sedikit kesal.
"Halo, Bin, earphone aku ketinggalan di ruanganku!" Terdengar suara Stuart di ujung telpon.
"Terus?" Ebin menaikan satu alisnya.
Dinda memandangi wajah yang sangat tampan dengan alis tebal yang jadi bergelombang itu. Di elusnya lembut alis yang tebal ini.
Ebin tersenyum senang mendapat sentuhan dari Dinda.
"Aku mau minta tolong nanti antarkan ke rumahku, aku udah setengah perjalanan pulang nih"
"Aduh, besok aja Stu, gak akan hilang tuh earphone." Dumel Ebin.
"Ck ... Masalahnya aku gak bisa tanpa itu Bin, tolonglah ... Bisa gak nih?" Tanya Stuart sedikit memohon.
"Aaahh gak bisa, aku juga udah mau pulang nih"
"Haaahh ya udah. Aku balik aja deh. Nih aku udah putar balik. Kamu mau pulang, ya pulang aja Bin"
Stuart mengendarai mobilnya kembali ke kantor.
Terdengar dari telpon Ebin, deru mobil Stuart yang melaju.
Sambunga telpon itu pun di putus sepihak oleh Stuart.
"Astaga Dinda. Stuart balik ke sini, dia mau ambil earphonenya" Keluh Ebin.
"Harus banget?" Rengek Dinda.
"Entahlah dia itu, emang aneh. Demi earphonenya aja rela balik arah, padahal udah setengah perjalanan" Cicit Ebin.
"Maaf Din. Kita gak bisa lanjut nih. Eeemmm maaf" Ebin sangat merasa bersalah.
"Aaaa'aaahh ..." Dinda merengek sambil mengerucutkan bibirnya.
"Maaf. Tapi jangan sampai Stuart tahu" Ebin duduk di samping Dinda.
"Ck ... Aku masih mau di cicipi" Dinda memeluk tubuh Ebin yang membuat detak jantung Ebin kembali berdetak kencang kala merasakan kulit lembut mulus Dinda.
"Dinda Sayang, gimana kalau gantinya aku antar kamu pulang?" Tawar Ebin.
"Kamu mau mampir rumahku gak? Rumah kontrakkan maksudnya" Dinda mengesek gesekkan dadanya ke dada Ebin.
"Eemmm kita liat keadaan dulu. Ini sudah terlalu sore, tapi coba aja" Ebin dengan mesra menyelipkan anak rambut Dinda di belakang daun telinganya.
"Aku sangat menginginkanmu" Bisik Dinda.
"Oowwww ... Sstttt. Gimana kalau lusa? Lusa kita keluar kota bareng. Banyak waktu untuk berduaan" Usul Ebin.
"Eehh? Iya ya? Jadi Bos bisa ajari lagi rasa rasa nikmat lainnya" Seru Dinda kegirangan.
"Eeemm" Ebin mengangguk pasti.
"Kalau kamu masih mau"
"Maulah ... Sudah lama aku mau tahu rasa rasanya itu. Meski aku coba sendiri pake tanganku tapi sumpah, enakan di mainin tangan yang lain" Dinda menggendeng tangan Ebin.
"Iyalah, aku juga senang bisa bercumbu dengan wanita secantik kamu Din. Aku beruntung banget" Ebin mengecup kening Dinda lembut.
"Aaahh rasanya aku udah punya suami. Bolehkah kita selalu begini?" Tanya Dinda.
"Eeemm? Tapi kamu bakal di kirim ke kantor Cabang. Ck ... Susah juga. Aku udah janji lagi sama Angga!" Ebin berpikir keras.
"Kan kamu Bosnya, kamu yang memutuskan semuanya" Hasut Dinda.
"Aku liat kondisi di sana aja dulu. Kalau emang dia butuh banget. Ya segera aku cari orang yang pas untuk Angga di sana" Usul Ebin.
"Jadi Bos pergi sendiri?"
"Enggaklah. Tiket yang di pesan Stuart tadi dua, jadi ya tetap aja kita berdua yang pergi, 'kan aneh juga kalau tiba tiba aku gak bawa kamu, Stuart pasti curiga nanti. Eehh Stuart?" Ebin menepuk kenignya.
"Apa?"
"Dinda pake bajumu cepat, kita masuk mobil dulu!" Ebin buru buru mengenakan bajunya.
"Oke oke"
"Stuart bawa mobil itu laju, dalam waktu singkat bisa aja di sampai di kantor ini, ayo kita pulang." Ebin dan Dinda meninggalkan ruangan yang sempat memanas itu.
Tiba tiba terdengar deru mobil di luar kantor. Ebin dan Dinda langsung panik, "Dinda, kamu duluan ke mobil, ini kunci mobilnya. Masuk mobil dan diam. Nanti aku nyusul" Janji Ebin.
"Oke iya" Dinda mengerti dan segera menuruti.
Tak lama kemudian pintu utama kantor terbuka. Munculah sosok Stuart dengan santainya.
"Baru nyampe?" Ebin berpura pura keluar dari ruangan Stuart dengan membawa earphone yang di maksud Stuart.
"Eh belum balik?"
"Belum ... Aku tungguin kamu, lagian kalau aku pulang duluan, ini pintu siapa yang kunci?" alasan Ebin.
"Eehh iya ya ... Lupa hehehehe ... Mana earphoneku?" Stuart seperti anak kecil meminta barangnya.
"Nih!" Ebin melempar earphone itu.
"Wokehh ... Makasih ya" Stuart memasukkan earphone itu ke dalam tasnya.
"Eh kamu belum pulang?" Stuart meneliti wajah Ebin.
"Ya ayo kita pulang" Ebin bangkit beranjak dari tempatnya dan segera mengunci pintu.
"Gak ada pegawai lagi 'kan di dalam?" Tanya Stuart.
"Iya gak ada. Cuma aku aja tadi tuh" Bohong Ebin.
Bibir Stuart hanya membulat menunjukkan huruf O.
Keduanya menuju mobil masing masing. Tanpa curiga pada atasannya Stuart memasuki mobilnya dan langsung menyalakan mesin.
Deru mobil langsung terdengar dan mulai meninggalkan parkiran.
"Udah pergi dia" ucap Ebin pada Dinda yang berada sampingnya.
"Pyiiuuhhhh" Dinda menghembuskan napas lega.
"Untung aja" Ebin menatap Dinda di sampingnya.
"Kita pulang?" Tanya Ebin lagi
"Iya Ayo deh ... Hihi baru kali ini di antar Bos" Kekehnya.
"Udah donk panggil Bos, 'kan kita saling suka" Ebin mencolek dagu Dinda.
"Kalau aku panggil Sayang mau?" tawar Dinda.
"Boleh ... Kalau lagi berdua aja panggil aja Sayang" Ebin mengelus elus pipi Dinda.
"Aaa aku dapat Sayang dalam waktu sejam aja" Dinda memeluk erat tubuh Ebin.
"Ada ada aja kamu ... Dasar nakal" Ebin begitu gemas pada Dinda yang tetap bermanja manja padanya, dengan senang hati Ebin meladeninya.
Ebin menepati janjinya, ia mengantar pulang Dinda. Dengan manjanya Dinda bergelayut di lengan Ebin tanpa rasa risih.
Dinda sudah melupakan status Ebin yang sudah beristri. Begitu pula sebaliknya, Ebin lupa diri kalau dirinya sudah sah berstatus suami seorang wanita baik hati.
***
Eva dengan kebingungan menunggu Ebin pulang. Sudah lewat dari jam biasanya Ebin tiba di rumah.
Akhirnya karena tak ada pilihan, Eva mencoba menghubungi Stuart yang pasti tahu di mana Ebin berada.
"Halo, maaf ganggu Stuart" Eva dengan ragu menyapa bawahan suaminya itu.
"Iya, gak kok. Aku emang lagi lowong. Malah bisa di bilang sangkut" Cicit Stuart.
"Sangkut?" Eva mengerutkan keningnya.
"Iya, ternyata kalau pulang lambat gini kena macet"
"Oohh kamu kena macet?" Eva mengerti ucapan Pria yang sangat jarang serius.
"Iya, kenapa ya?" Stuart mencoba serius.
"Ah aku cuma mau tanya Ebin pulang sama sama kamukah?" Eva langsung menyatakan pertanyaannya.
"Iya, tadi pulang sama sama. Bahkan sedikit jauh di belakang aku. Dia kunci pintu kantor dulu. Ada kemungkinan dia sangkut macet juga kalau belum balik" Jelas Stuart.
"Mungkin aja" Eva mengangguk mengerti kenapa suaminya belum jua tiba di rumah.
"Ya udah itu aja ya Stuart. Maaf ganggu"
"No problem"
Sambunga telpon pun terputus, Eva bisa bernapas lega mengetahui suaminya hanya terjebak macetnya jalan.
Tapi entah mengapa Eva merasa berdebar debar seperti ini. Keringat dingin menjalar dari sela rambutnya mulai menyatu dengan keringat yang lain dan berkumpul jadi satu aliran yang melewati pipi mulus Dinda.
"Tumben pulangnya lambat. Ada ada aja" Cicitnya risau dan di tambah perasaan yang aneh.
Sebisa mungkin Eva menenangkan dirinya, berpikir positif, Ebin sedang berusaha pulang dan keluar dari jebakan macet.
"Aku rindu kamu" Ungkapnya seorang diri.
Eva tetap menunggu sambil menatap pintu rumah yang tak di kuncinya. Berharap seorang yang ia cintai datang memasuki rumah dengan lelah di wajahnya dan siap di layani Eva.
Eva mulai menggerak gerakkan kakinya, memaju mundukan tubuhnya, rasa debar itu kian berkurang dengan pikiran positifnya.
Sedangkan yang kini orang yang sedang di debarkan Eva baru saja berlalu dari depan rumah seorang wanita.
Dengan senyum puas mengembang pula. Beberapa menit yang lalu Ebin dan Dinda tiba di kontrakan Dinda. Ebin memanjakan Dinda sama seperti ia memanjakan Eva.
Ebin juga sangat suka rasa yang menderanya kala menyentuh setiap inci wajah Dinda. Ada aliran panas di darahnya saat menyentuh halusnya kulit Dinda.
Ebin juga tak lupa mengecup dan mencium wanita yang kini juga masuk dalam relung hatinya dengan begitu cepat.
Dengan nakalnya Dinda menyibak kemeja yang ia kenakan dan kembali memperlihatkan buah dadanya.
"Mulai malam ini, dua duanya akan selalu merindukan kamu Sayang" Dinda mengelus rambut rapi Ebin.
"Ya, jangan ganggu keduanya, karena dua duanya cuma punya aku. Ngerti?" Ebin mulai menjamah dan melumat sekaligus kedua benda kenyal Dinda.
Dinda pasrah bersandar di kursinya. Hanya tinggal menyodorkan dadanya agar di lumat Ebin.
"Aaahh nakalnya" Dinda meremas rambut Ebin.
"Eeeemmmm" Ebin hanya bergumam dari balik aksinya.
Dari sebelah beralih ke sebelahnya lagi, sudah sangat candu untuk Ebin menikmati kedua benda kenyal ini.
"Aku suka banget ini ... Besar dan kenyal" Ebin menatap sayu kedua gundukan yang mengencang dan terdapat jejak memerah akibat gigitannya.
"Aku juga paling suka bagian ini di tubuhku. Aku yakin, bagian ini akan puaskan pasanganku nanti" Dinda meremas keduanya bersamaan tangan Ebin.
"Sstt ... Pasangan yang mana? Cuma aku yang boleh nikmati ini" Ebin kembali mengulangi aktivitas yang sama tapi lebih kasar dan agresif.
Dinda menggeliat menahan kenikmatan yang di berikan lidah Ebin.
"Ssttt ... Aku memang milikmu" racaunya.
Setelah keduanya benar benar puas saling menyentuh, barulah Dinda keluar dari dalam mobil Ebin dan Ebin melambaikan tangannya meninggalkan kontrakan Dinda.
Dengan perasaan tak menentu Dinda memasuki rumah kontrakannya. Senang, berdebar, kenikmatan yang tak akan mudah ia lupakan. Aaah masih banyak lagi yang di rasakan gadis itu.
***
Ebin tiba di rumah, di tatapnya rumah yang selalu jadi tempatnya pulang.
Di hembuskannya napas agar menetralkan diri.
Debaran bahagianya karena aksinya dan Dinda tadi masih terbesit. Belum lagi denyut denyut hasratnya yang masih belum tuntas.
Ebin memasuki rumah, di lihatnya Eva yang masih menunggunya sambil menonton televisi.
"Sayang?" Eva menyambut Ebin antusias.
"Ya ampun udah jam 7 malam baru sampe rumah ... Pasti capek ya Sayang?" Eva mendekati Ebin.
"Iya nih Sayang, keringatan banget aku, aku mandi dulu kali ya? Bau masam aku" Alasan Ebin padahal ingin menutupi wangi parfum lain di tubunya dan aroma wanita lain di sana masih tersisa.
"Oohh ya ya mandi dulu aja, biar seger sekalian" Eva sama sekali tak menaruh rasa curiga.
Ebin segera berlalu ke kamar mandi. Segera di bersihkannya tubuh yang tadi sempat menyentuh tubuh perempuan lain selain istrinya, baju dan celananya juga segera di cucinya dan di letakkan di dalam pengering mesin cuci.
"Eh Sayang, kok tumben cucian segala. Biarin aja aku yang cuci." Dinda tiba tiba muncul di depan mesin cuci sambil membawa keranjang.
"Aku cuci bajuku Sayang. Ya setidaknya aku kurangi cucianmu" alasan Ebin.
"Aku ke kamar dulu ya, mau cari baju nih, dingin" Ebin segera ngacir dari hadapan Eva.
"Kalau udah pake baju, turun ke bawah ya, makan" Imbuh Eva.
"Siap" Terdengar jawaban singkat Ebin yang sudah memasuki kamar.
"Tumben banget" Cicit Eva. Di telitinya baju Ebin. Tak ada jejak, tak ada bekas, tak ada hal yang aneh.
Eva tetap berpikir positif. Mungkin baju itu terlalu bau jadi Ebin tak ingin Eva mencucinya dan menambah pekerjaan Eva.
###
