Bab 4. Tragedi WC
Makan malam siap, Eva dengan semangat memanggil Ebin untuk mencicipi masakan yang sengaja di masaknya spesial.
"Sayang ... Makan yuk. Aku masak menu favorit kamu" Eva mengajak Ebin sambil sedikit genit dengan mengecup pipi suaminya.
"Aahh iya, sebentar ya. Ini Angga dari cabang masih cari solusi sama aku. Bentar yaaa" janji Ebin.
Eva mengerucutkan bibirnya. "Ya udah, aku tungguin deh" Eva duduk berhadapan dengan Ebin. Di biarkannya Ebin bekerja dengan leluasa.
"Kamu lapar?" Tanya Ebin yang melirik Eva.
"Belum"
"Makan aja duluan sayang kalau kamu lapar. Jangan di tahan donk"
"Aku mau tunggu kamu" Rengeknya.
"Haaahh sebentar yaa ... Aku lagi nego waktu sama Angga nih. Masa di minta aku segera ke tempatnya. 'kan jauh sayang. Aku rada malas juga" Keluh Ebin.
"Heemm gitu. Pelan pelan ya, sayang juga pikir waktu yang sesuai dan tepat dengan kondisi sayang. Terus nanti selama kepergian Sayang, siapa yang urus yang di sini coba?" Eva mencoba membantu Ebin berpikir.
"Kalau di sini sih enak aja, ada Stu. Dia patut di percaya. Malasnya ini perjalanan ke sana hufff"
"Heemm gak apa apa. Sekali ini aja 'kan?"
"Iya sih" Cicit Ebin.
"Ah kita makan aja deh capek aku pikirin ini. Nanti aja lagi" Ebin merangkul Eva.
"Oke Bos besar" Eva mencubit pelan hidung Ebin gemas.
"Kamu bisa aja"
"Iya donk, suami aku 'kan Bosnya, jadi apa salahnya aku panggil dengan sebutan Bos Besar" Goda Eva sekaligus menghilangkan beban pikiran Ebin.
Cup.
Satu kecupan untuk kemanisan istrinya ini.
"Kamu bisa aja sayang"
***
Ebin sedikit membuka matanya, ia bertanya tanya, ia sedang berada di mana. Tempat ini sepertinya sebuah kantor? Atau mungkin ini kantor miliknya, tapi kenapa tidak jelas.
Apa yang ia lakukan di sini? Perasaan dia sedang tidur tadi?
Tiba tiba datanglah sosok Dinda di depan Ebin. Dinda dengan seksinya menggodainya.
Lekuk tubuh yang indah kini sedang berselancari di tubuh Ebin. Tangan gemulai Dinda menyentuh nyentuh stick Ebin.
"Dinda?" Ebin bertanya tanya.
Bolehkah ini terjadi?
Ebin langsung terbangun dari tidurnya. Di usapnya kasar wajahnya.
"Astaga, mimpi." Gumamnya.
Ebin ingin melanjutkan tidurnya, ini masih sangat dini hari untuk bangun. Di peluknya tubuh Eva yang terlelap nyenyak di sampingnya.
Berharap mimpi itu tak datang lagi menggodainya. Atau iman Ebin akan benar benar rusak.
Tidak sesuai harapannya, ia malah terus terpikirkan Dinda. Mengingat apa yang telah mereka lakukan hari ini tadi di toilet. Meski mereka tak melakukan apapun tapi mata Ebin melihat jelas dua gundukkan yang menggoda.
Ebin menelusuri baju tipis yang di kenalan Eva. Mencari benda yang sama seperti yang sedang di khayalkannya.
"Eeemm" Ebin menemukannya. Di sentuh, di pegang dan setelahnya di remas remas.
Ebin tiba tiba kehilangan keingin untuk menyentuhnya lagi. Yang ia sentuh dan yang ia khayalkan tak sama atau tidak sesuai dengan ekspetasinya.
"Seandainya lebih besar" Cicitnya.
Ebin memejamkan matanya, tapi tetap saja bayangan Dinda di depannya sedang menggodainya. Bahkan kini tubuh itu polos.
Ebin tak ingin menyia nyiakan lagi mimpi itu. Di ladeninya Dinda mimpi ini, berharap mendapat sensasi yang ia cari.
Pada kebiasaannya Eva bangun pukul 5 dini hari. Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak sekolah dulu. Di liriknya Ebin yang sedang pulas pulasnya.
Seulas senyum untuk sang suami. Sebelum beranjak dari tempat tidur, Eva mengecup bibir Ebin lembut.
Jadilah di dalam mimpi Ebin sesuatu yang sangat menyenangkan. Kecupan dari Eva itu menambah sensasi nyatanya percintaannya dengan Dinda.
Sepeninggalan Eva dari kamar, Ebin mulai meleguh. Rasanya tubuh ini menegang, perutnya mulai kembang kempis.
Dan aaahhh ... Basahlah.
Ebin sadar dari mimpinya ketika merasa calana yang ia kenakan sedikit basah. Ebin segera bangkit dari tempat tidur. Di liriknya pangkal pahanya.
"Oohhh" Ebin langsung lemas.
"Coba aja nyata. Pasti lebih nikmat"
Ebin segera membersihkan tubuhnya, tak lupa baju dan celananya di cucinya sendiri untuk menghilangkan jejak mimpi indah seksinya.
***
Ebin sedang mengatur waktu bersama Stuart di ruangannya.
"Jadi kemungkinan paling 3 hari Stu, gimana bisakah kamu?" Tanya Ebin.
"Bisa aja. Kamu berangkat sama Dinda ya?" Tanya Stuart.
"Dinda aah iya, dia harusnya jadi bagian admin tambahan untuk Angga di sana, aku mungkin akan membawanya sekalian"
"Tapi, bukannya dia sekarang sedang uji coba di sini? Gak apa apa langsung di bawa?"
"Nah itu dia. Sekretaris aku juga masih cuti lahirannya ini. Gimana Stu?" Ebin bertukar pikiran dengan Stuart.
"Bawa aja. Nanti Sekretaris di sini aku yang handle. Kamu sama Dinda lusa berangkat aja ke Cabang" Usul Stuart.
"Bisa? Haahh aku malas banget sebenarnya, tapi kayak kata Eva. Ini cuma sekali aja. Aku emang gak pernah sih kunjungi cabang itu selain pas pembukaannya kemarin" Ebin mengangguk mengiyakan.
"Oke, deal ya, lusa. Aku akan siap siap kalau gitu untuk tugas yang menumpuk lusa" Cicit Stuart.
"Eh kasih tahu juga tuh Dinda. Dia akan berangkat. Jadi mulai besok dia bisa siap siap apa aja bawaannya. Namanya juga cewek pasti banyak bawaannya" Stuart memberi saran sebelum benar benar meninggalkan ruangan Ebin.
"Iya juga" Ebin meraih telpon kantor dan menghubungi Dinda.
"Tolong ke ruangan ya ... Ada hal penting"
5 menit kemudian terdengar ketukkan di pintu, Ebin menyuruhnya masuk.
Tentu saja itu adalah Dinda. Sesuai dengan titah Ebin yang memintanya datang menghadapnya.
"Ya Tuan? Panggil saya?"
Ebin menatap dari atas sampai bawah tubuh Dinda. Di teguknya saliva dengan susah.
"Din. Eem lusa kita ke Cabang, kita berdua. Jadi besok kamu bisa siap siap" Ujar Ebin kaku.
"Oh lusa? Oke oke. Terus tugas di sini?" suara yang candu merdu menghiasi indra pendengaran Ebin.
"Kamu, kamu selesaikan aja untuk hari ini, besok kamu bisa istirahat dulu sambil siap siap, nanti Stuart yang ambil alih" Ebin merasakan hal yang berbeda jika berbicara dengan Dinda.
"Oohh gitu Bos, oke deh. Padahal hari ini aja udah banyak banget tugasnya, eemm saya kerjakan aja setengahnya ya, jadi besok Pak Stuart gak kebanyakkan kerjanya"
"Aah boleh" Ebin pasrah saja dengan inisiatif Dinda.
"Oke deh, ya udah saya permisi dulu" Pamit Dinda.
"Eh bukannya, kamu jadi lembur kalau gitu?" Pertanyaan itu memberhentikan Dinda.
"Iya, tapi gak apa apa kok. Saya sudah lama gak kerja. Jadi kangen kerja gini. Hehehe ... Aman aja Bos" Dinda menunjukan jempolnya.
Ebin tersenyum puas. "Ya udah kalau kamu maunya gitu, silahkan. Kalau ada yang gak di mengerti tanya aja ya sama orang sekitaran kamu, atau kalau gak ada yang tahu tanya saya ya"
"Siap bosku" Suara candu dan manja itu begitu hebat seolah mengelus elus daun telinga Ebin.
Ebin seorang diri di ruangan setelah beberapa waktu berlalu sejak kedatangan Dinda.
Ia merasa gundah. Belum lagi sesuatu yang belum terpuaskan di dirinya.
***
Jam para staf dan pegawai berpulangan dari kantor, Dinda masih sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk.
"Oy pulang" seru Stuart.
"Iya Pak, dikit lagi nih, tanggung satu dokumen" Cicit Dinda.
Stuart mengangkat bahunya tak peduli, ia langsung berlenggang keluar dari kantor dengan ringan kaki.
"Eh ini gimana?" Dinda kebingungan saat ingin memprint dokumen buatannya.
"Aduh, kak Nila udah pulang lagi" Dinda menggaruk garuk kepalanya.
"Kenapa?" Kebetulan saat itu Ebin melintas di depan ruangan Dinda.
"Aahh?" Dinda senang dengan kedatangan Ebin.
Sedangkan Ebin terpaku mendengar desahan itu.
"Bos, ini saya mau print tapi kak Nila udah pulang. Aku mau minta bantuan dia" Cicit Dinda manja di depan Ebin.
"Oohh sini, saya aja yang print. Tapi printernya di ruangan saya"
"Aah iya gak apa apa Bos" Dinda mengangguk setuju.
"Ayo deh"
***
Keduanya kini berada di ruangan Ebin. Ebin dengan baiknya melakukan pekerjaan Dinda.
"Bos baik banget hehehe" kekeh Dinda yang asik menunggu di sofa.
"Iya, kamu udah kerja keras buat dokumen salinan ini, masa gak di bantuin gitu? Gak istirahat dikit gitu" Kepedulian Ebin.
"Maacih" Dinda begitu manja.
Itulah yang Ebin sukai, Dinda manja dan sangat periang, sangat manis.
"Kamu pulang sama siapa?" Tanya Ebin memberanikan diri.
"Aahh paling sana ojek"
"Siapa ojek? Oh Ojek, astaga" Ebin kira ojek itu nama seseorang, rupanya hanya panggilan untuk jasa antar jemput.
"Iya" Sahut singkat Dinda.
"Emang gak minta pacar kali yang jemput? cowoknya gitu" Basa basi Ebin.
Dinda menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut, ia sejujurnya menyukai perbincangan hangat mereka, tapi ia kembali ingat Ebin sudah memiliki istri maka rasanya kurang leluasa Dinda mengekspresikan dirinya dengan Ebin.
"Aku gak punya pacar. Entahlah? Kenapa cowok cowok itu gak mau pacaran sama aku. Atau setidaknya dekati aku. 'kan aku pengen juga" Cerita Dinda.
"Pengen?" Ebin sontak menoleh kebingungan ke arah Dinda.
"Pengen apa?"
"Pengen rasain punya lakilah" Cicit Dinda.
"Eh?" Dinda mengatup mulutnya malu.
"Kenapa?" Ebin mendekatinya dengan membawa lembaran lembaran hasil printnya.
"Gak aah Bos, gak apa apa. Malu aku" Cicit Dinda terkekeh sendiri.
"Cerita aja, gak apa apa. Nih sambil kita sortir berkas" tawar Ebin.
"Saya malu Bos." Cicit Dinda lagi.
"Malu apa? Mending kamu cerita sama aku, kalau kamu udah di kantor cabang nanti gak ada teman lho"
"Iya juga sih" Dinda mengangguk mengiyakan.
"Sebenarnya ... Aku tuh ... Eh kok aku? Saya!"
"Aku juga gak apa apa. Aku kamu gitu aja"
"Boleh nih?" Antusias Dinda.
"Iya boleh"
"Aduh, Bos emang paling baik" puji Dinda.
Padahal Ebin hanya ingin mendengar suara candu milik Dinda saja dan berasalan ingin mendengarkan ceritanya.
"Jadi aku tuh sebenarnya, pengen banget punya pacar, atau kalau bisa pun suami langsung. Aku pengen tahu rasanya di manja cowok, di sayang cowok, di godain cowok gitu. Karena ..."
Ebin jadi mendengarkan sungguh sungguh kisah Dinda karena ini sepertinya sangat menarik.
"Karena apa Din?"
"Karena aku gak pernah merasa sentuhan cowok." Ebin termenung menatap Dinda.
"Aku tuh iri banget, liat teman teman atau tetanggaku dengan suaminya gitu. Terus manja manjaan atau posting di sosmed lagi pelukkan atau cium pipi gitu. Aku pengen jugalah. Aku juga mau tahu rasanya" Pipi Dinda merona.
Ebin menatap tak percaya seorang Dinda yang secantik ini, malah mendambakan sentuhan pria.
"Aku kira kamu punya pacar yang bisa jaga dan temani kamu" Sahut Ebin setelah Dinda mengakan isi hatinya.
"Gak ada Bos, kalau ada ya mau" Cicit Dinda.
Tiba tiba kondisi ruangan itu sunyi. Tak ada dari keduanya yang berbicara.
"Ah ini udah sore Bos, Bos belum balik?" Dinda membuka perbincangan lagi.
"Eemmm iya balik kok" Jawab Ebin ragu.
"Ya udah kalau gitu saya permisi ya Bos" Dinda bangkit dan melangkah pergi dari ruangan ini. Tapi kakinya malah tersandung kaki meja di depannya dan membuat tubuhnya lunglai akan jatuh ke lantai.
Tapi Ebin cepat meraih tubuh itu dan memeluknya.
"Heh! Hati hati" Ebin menatap mata Dinda.
Begitu pula sebaliknya.
"Ma ... Maaf Bos. Tapi aku ada pertanyaan untuk Tuan" Dinda masih terhipnotis memandang wajah tampan Ebin.
"Apa?" Ebin tertanya serius.
"Apa yang Tuan lakukan dengan istri sebelum tidur? Gimana rasanya?" Dinda tanpa sadar menanyakan pertanyaan yang begitu sensitif.
"Rasa?" Ebin tercekat saat ingin menjawab.
Ebin mulai mengalihkan pandanga kebagian tubuh lainnya milik Dinda yang sedang dalan pelukkannya.
"Rasanya, nikmat" Gumam Ebin.
Dinda sadar akan tatapan keinginan Ebin pada kedua gunung kembarnya yang menyentuh lengan kekar yang tengah memeluknya.
Dinda dengan sengaja meremas miliknya sendiri di depan Ebin. Ebin makin mempertajam tatapannya pada gundukkan itu.
"Itu indah" Puji Ebin melihat tangan yang meremas remas dan kekenyalannya yang bergerak gerak di balik blush yang di kenakan Dinda.
"Uuhhhggg" Ebin meleguh senang melihatnya.
"Apa Bos suka yang seperti ini? Apa Bos sering menyentuh milik Istri Bos?" Dinda makin memancing hasrat Ebin.
"Aku suka" entah mendapat bisikkan dari mana, Ebin mulai menjamah salah satu gundukkan itu.
"Aaahh" Dinda membulatkan matanya.
Ia pikir tak semudah itu menggoda Bosnya ini. Hanya sedikit memamerkan dan ternyata Bosnya menyukainya.
"Bos, plis ... Kasih tahu aku, apalagi yang kalian lakukan sebagai suami istri" Bisik sensual Dinda di telinga Ebin.
"Apa kamu mau tahu?" Ebin tentu terpancing gairahnya tangannya mulai menjalar ke bagian sebelahnya.
"Eemmm lakukan aja" Tantang Dinda.
###
