Bab 9 Mengajak Pergi
Bab 9 Mengajak Pergi
"Hallo Ana."
Dari sebuah kamar hotel bintang 5 dengan fasilitas kamar suite, hotel dengan ukuran kamar 52 meter itu, lumayan besar jika hanya berpenghuni 1 orang saja. Sebuah kamar dengan ukuran besar dan mewah sengaja dipilih oleh Rafael. Berapa juta perhari sewa kamar itu, dia tidak peduli. Seorang Bos muda, masih lajang dan juga punya kekayaan yang berlimpah telah membuatnya menjadi sombong.
Ternyata Rafael pagi itu yang menghubungi Ana, apa lagi kalau tidak masalah pekerjaan. Tapi sepertinya hari ini lain apa yang diminta oleh Rafael.
Ana masih ada di rumahnya dan belum berangkat ke kantor karena memang masih terlalu pagi untuk sampai di kantornya.
"Iya, Pak. Selamat pagi," sahut Ana di telepon walaupun agak sedikit dongkol dalam hatinya karena Bosnya itu menelpon dia diluar jam kantor dan masih sangat pagi sekali.
"Ana, coba kamu carikan kontraktor di daerah Yogyakarta, kamu bisa tanya pada kontraktor yang biasa kita pakai jasanya di kantor."
"Iya, Pak. Nanti coba saya hubungi Bapak kembali, karena ini saya juga masih ada rumah, belum berangkat." Suara Ana di balik telepon.
"Ok," dengan tanpa bersalah, Rafael menutup telepon genggamnya. Dia nampak baik-baik saja, padahal sudah mengganggu waktunya Ana di luar jam kantornya.
***
Rafael kembali mengerjakan pekerjaan kantornya, dia membuka laptopnya dan mengerjakan file-file penting yang telah disimpannya, selain itu dia juga memeriksanya melalui smartphone miliknya.
Sementara itu seperti biasanya Agatha mengajar di Sanggar dengan temannya Suster Regina. Hari ini anak-anak yang datang cukup banyak sampai ada di luar kelas walaupun tidak banyak namun ada beberapa yang ada di luar.
Walaupun lelah namun dia sangat menyukainya, dengan senang hati dan penuh sukacita dia menjalankan rutinitas itu setiap hari.
Di tempat yang berbeda di kamar hotel tempat Rafael menginap, dia sibuk membaca pesan singkat dari WhatsApp miliknya.
Sebuah nama dan nomor telepon seorang kontraktor pria yang dikirim oleh Ana untuk Rafael.
Dengan cekatan jari jemari Rafael telah menyimpan nomor itu dan sesegera mungkin dia mulai menghubunginya.
Beberapa menit mereka bercakap-cakap di udara, dan akhirnya disepakati suatu keputusan, kontrak kerjasama antara Rafael dan Kontraktor tersebut. Karena ini kegiatan amal maka Rafael pun menawarnya dengan sangat murah, apalagi dia seorang pengusaha sudah barang tentu dia tahu trik mencari keuntungan sebesar-besarnya dan pengeluaran seminim mungkin.
Besok adalah jadwal Rafael dan kontraktor untuk bertemu membicarakan masalah ini dan meninjau lokasinya langsung.
Semua sudah beres hari ini, dan pekerjaan kantor pun juga sudah dia kerjakan, dia melirik angka yang ada di pergelangan tangannya, pukul 1 siang, dia ingin menemui Agatha tapi bingung apa Agatha masih ada di sanggar atau tidak, dan mau membicarakan apalagi jika ingin bertemu dengannya, mau menelponnya juga takut mengganggu. Mau di hotel saja juga malas tidak ada yang dikerjakan. Akhirnya dengan segala kenekatannya dia pun berangkat ke sanggar dengan menggunakan taksi online yang sudah dipesannya barusan.
"Bapak Rafael?"
"Iya Saya."
"Silahkan masuk, Pak."
Sopir taksi itu membukakan pintu untuk Rafael, dan Rafael pun duduk dibelakang sopir dan dengan segera taksi itu melaju.
***
20 menit terlewati, taksi itu masuk pada sebuah pelataran luas dengan bangunan sederhana di dalamnya.
"Stop sini saja, Pak."
Rafael mengeluarkan uang lembaran puluhan ribu lalu memberikannya pada Sopir taksi itu.
"Ini, ambil aja kembaliannya."
"Terima kasih, Pak"
'Semoga tidak terlambat, semoga dia masih disini.' gumamnya dalam hati.
'Tapi pintunya masih terbuka, berarti dia masih ada di dalam,' ucap Rafael dalam hati.
Dengan percaya diri dia melangkah masuk menemui Agatha, siang itu dia berdandan cukup casul hanya kaos oblong warna merah dan celana jeans berbahan soft serta sepatu sandal cowok, walaupun semuanya terkesan biasa namun yang di pakainya semua dari merk yang terkenal hingga terkesan nampak mewah di pakainya.
***
"Selamat siang, Suster."
Agatha menoleh ke samping, melihat siapa yang memanggilnya."
"Hai, selamat siang," Agatha menjawab sapaan rafael dengan sumringah.
"Apa aku mengganggu?" ucapnya sambil menunjuk dirinya.
"Nggak, sama sekali nggak, ayo mari masuk!"
Dengan ramah Agatha mengajak Rafael masuk dan mempersilahkannya duduk di depannya.
"Bagaimana? Aku bisa bantu apa?" tanya Agatha dengan tersenyum.
"Aku ... Besok mau kesini lagi boleh tidak?" Kenapa siang ini tiba-tiba Rafael menjadi gugup berbicara dengan Agatha, seperti kehabisan kata-kata saja.
"Dengan senang hati, kami akan membantu."
"Aku besok kesini sama Kontraktor yang mengerjakan proyek ini. Kira-kira kamu mau model yang seperti apa?"
"Bagaimana apanya maksudnya?"
"Kamu mau bangunan yang seperti apa dan ruang apa saja yang mereka butuhkan?"
"Yang pasti ruang kelas ini aku butuh yang lebih luas dari yang sekarang, dan dengan bangunan yang lebih bagus dan lebih kuat karena ruang ini jika hujannya deras banget pasti akan bocor disana sini."
"Aku ngerti, besok kita bisa meeting bareng sama Kontraktornya."
Agatha mengangguk setuju dengan ajakan Rafael.
"Kalau masalah lainnya, aku serahkan semuanya pada kamu, karena kamu yang lebih mengerti," Ucapnya lagi.
DIAM SEJENAK.
"Aku boleh tanya nggak?" Rafael melirik Agatha.
"Tanya? Tanya apa? Silahkan, kalau aku bisa jawab akan aku jawab."
"Boleh nggak seorang Suster itu jalan-jalan."
"Hahaha ... ya tentu boleh lha," Agatha tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Rafael.
"Kok ketawa, aku nanya serius ini."
"Ya bukan gitu, kami para Biara selain kegiatan kemanusiaan yang paling utama, kami juga hidup normal seperti lainnya, kami juga ada kesempatan untuk pulang mengunjungi keluarga dan juga jalan-jalan tapi semua juga dalam batas kewajaran, bukan terus kita pergi jalan-jalan ke club malam atau sejenisnya. Semua kami jalankan juga wajar-wajar saja. Asalkan kita juga membawa ijin dari Suster Kepala dengan alasan yang tepat pula."
"Aku nanti malam ingin ngajak kamu pergi keluar menemani aku."
"What? Kita berdua pergi keluar malam-malam? Apa kamu nggak salah orang."
Rafael tertawa menyeringai, "Aku salah ya? Aku minta maaf."
"Ya nggak ada salah sih, cuma kalau orang diluar tahu seorang biarawati pergi kencan dengan laki-laki muda, mau jawab apa aku nanti?"
"Kamu nggak perlu jawab Aga, biar aja mereka mau ngomong apa. Aku cuma mau pergi sama kamu aja."
"Kalau kamu hanya ingin keluar sama aku, nanti malam aku juga keluar, mau ikut?"
"Kemana?"
"Kunjungan ke rumah umat."
"Dimana?"
"Nanti juga kamu tahu, yang pasti dekat daerah sini."
"Aku jemput ya?"
"Boleh."
"Cuma kamu aja kan?"
"Ya nggaklah, aku sama Suster Regina."
"Oh ... Aku kira cuma kamu sendiri."
Pupus sudah harapan Rafael untuk bisa pergi berdua dengan Agatha. Walaupun Agatha sulit untuk diraihnya namun dia tetap kukuh untuk mendapatkan cinta Agatha.
Siang itu setelah berbincang bersama, Agatha mengajak pulang Rafael karena kegiatan dia cukup padat hari ini.
Rafael memesan lagi taksi online dan mengantarkan Agatha pulang ke Biara, kali ini Rafael benar-benar tidak mau pulang berjalan kaki. Rasanya dia sudah kapok berjalan jauh di bawah panas terik matahari yang sangat menyengat baginya. Cukup melelahkan sekali.
Tiba di Biara, hanya Agatha saja yang turun dari mobil sedangkan Rafael tetap berada di dalam mobil.
"Sampai ketemu nanti malam ya?"
"Iya, hati-hati di jalan."
Rafael pergi meninggalkan Agatha dengan melambaikan tangannya dan tersenyum, senyuman yang jarang dia keluarkan baik itu untuk siapa pun.
