Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Bersamamu

Bab 8 Bersamamu

"Iya jalan kaki, memang kenapa kalau jalan kaki?"

"Aku nggak pernah jalan kaki sejauh ini, Capek banget."

Keringat mengucur deras di kening lalu turun ke pelipisnya, begitu juga dengan leher Rafael yang putih bersih itu sampai tak terlihat kalau keringat mengucur deras.

"Nanti lama-lama kamu juga akan terbiasa dengan jalan kaki."

"Ini, ngomong-ngomong apa masih jauh? Aku sudah kelelahan rasanya."

"Kamu mau minum?" tanya Agatha seketika sambil menghentikan langkahnya.

"Iya, aku haus, memang kamu bawa minum?" Rafael bertanya dengan wajah heran karena sedari tadi dia tidak melihat Agatha membawa minum hanya buku-buku saja yang dia bawa setahunya.

"Iya beli dong, nggak apa-apa kali ini aku yang akan belikan buat kamu."

"Beneran ya?"

Agatha mengangguk cepat dengan senyuman.

Tak berapa lama Agatha menghentikan langkahnya pada sebuah rombong kayu, bertuliskan 'jual es dawet' dan disebelahnya bertuliskan harga es dawet itu, 2000 rupiah. Sungguh harga yang sangat terjangkau bagi kalangan menengah kebawah namun tidak bagi seorang Rafael yang kaya raya, seorang pengusaha muda yang sukses dan juga berwajah tampan.

"Kamu yakin kita minum ini? Kalau sakit perut gimana? Ini kan di pinggir jalan, banyak debu dan kotoran."

"Iya yakin, nggak apa-apa kok, aku sering minum disini."

Rafael hanya diam saja, matanya mengernyit seperti orang jijik melihat sesuatu. Dia terus memperhatikan penjual es itu melayani pesanan Agatha.

"Pinten Kang?"

"Sampun, Suster. Mboten usah, kagem Suster."

"Lha, saya jadi ngerepotin ini namanya."

"Mboten menopo Suster."

(Arti bahasa Indonesia,

Berapa Mas?

Sudah, Suster. Nggak usah, buat Suster.

Lha, saya jadi merepotkan ini namanya

Nggak apa-apa, Suster)

Rafael yang sedari tadi memperhatikan percakapan Agatha dan penjual itu jadi bingung.

"Kenapa?"

"Masnya itu nggak mau aku bayar, katanya dikasih gratis."

"Kok gitu? atau jangan-jangan dia suka sama kamu."

"Ya nggaklah, mungkin dia segan karena yang beli Suster jadi di kasih aja, atau kalau nggak dia kasihan sama aku, karena aku kan nggak punya uang. Hahaha ...."

Agatha sampai tertawa menjelaskan itu pada Rafael, lalu dia mengulurkan sekantong plastik es dawet itu pada Rafael.

"Ini, minum. Katanya tadi haus, oh iya lupa, ini sedotannya," Agatha mengulurkan sedotan plastik pada Rafael.

"Ini apa? Kamu yakin nggak sakit setelah minum ini?"

"Yakin lah, aku kan sering minum ini dan nyatanya sampai hari ini aku masih hidup kan?"

Karena Rafael tak kuat lagi menahan rasa haus, tenggorokannya terasa kering dan nafasnya juga tersengal-sengal. Mau tidak mau dia pun meminum es dawet pemberian dari Agatha itu.

"Gimana? Enak kan?" Sembari dia tetap menyedot minuman itu dari lubang yang kecil.

Rafael hanya melihat saja ke arah Agatha, tanpa jawaban. Sepertinya dia benar-benar menikmati segarnya es dawet pemberian Agatha, apalagi dia meminumnya dia siang bolong seperti ini.

"Kok nggak di jawab? Enak apa nggak."

"Enak," jawabnya sambil mengangguk.

"Aku sering minum ini, kami para Biara di sini sudah langganan sama es dawetnya kang Maman."

"Kamu nggak takut sakit?"

"Kenapa mesti takut, kami para Biara memang sudah terbiasa hidup sederhana dan memang harus seperti itu, makanan apapun jika disediakan bagi kami, maka kami harus menghormatinya entah itu mahal atau murah, enak ataupun tidak, karena itu merupakan berkat dari Tuhan."

"Sifat baik kamu benar-benar tidak berubah, bahkan sekarang jauh lebih baik."

***

Tak terasa setelah berjalan kaki cukup jauh, tiba juga mereka di Biara. Rafael langsung duduk di ruang tamu, dengan wajah yang kelelahan dan keringat yang terus keluar dari kulit putihnya itu.

Rafael mengambil tisu yang ada di meja, berkali kali dia mengusap wajah dan kedua tangannya dengan tisu. Agatha melirik ke sebuah koper besar yang dibawa oleh Rafael, dalam hatinya dia juga heran kenapa Rafael membawa barang segitu banyaknya?.

"Kamu istirahat aja dulu sebentar disini, di situ ada air mineral, kamu bisa ambil sendiri, aku mau ke kamar sebentar," Agatha pamit pada Rafael lalu pergi meninggalkannya.

Ternyata dia pergi untuk membersihkan dirinya, siang itu Agatha mandi setelah berjalan tadi dari sanggar ke Biara, karena banyak juga keringat yang keluar jadi jubahnya sampai basah dan berbau.

***

Sementara itu Rafael hanya duduk termangu di ruang tengah dan sesekali dia membuka telpon genggamnya, hanya untuk memantau pekerjaan kantornya yang dia tinggalkan.

Sudah bisa ditebak siapa lagi yang dia hubungi selain Ana sekretarisnya.

Mungkin bagi Ana hari ini adalah hari keberuntungan bagi dia karena Rafael tidak ada di tempat dan mungkin untuk beberapa hari akan seperti itu, walaupun Rafael bisa memantaunya dari ponsel pintar miliknya.

Di tengah-tengah kesibukan Rafael menghubungi Ana untuk urusan pekerjaan, tiba-tiba Suster Regina datang menyapanya.

"Selamat siang, apa bapak yang bernama Pak Rafael?"

"Iya, saya. Maaf Suster siapa ya?"

"Saya Regina, teman Suster Agatha."

"Oh, senang berkenalan dengan Suster," Rafael mengulurkan tangannya memberikan salam pada Suster Regina.

Lalu beberapa saat setelah itu, datanglah Agatha dengan badan yang bersih dan segar, dia datang menghampiri mereka.

"Baru saja mau aku kenalkan, ternyata Suster sudah kenal," ucap Agatha tersenyum.

"Iya, kami baru saja kenal."

"Karena Suster Agatha sudah ada disini, saya mau pamit dulu, saya mau langsung ke hotel saja dan besok saya akan lanjutkan lagi, saya akan kesini pagi-pagi."

"Apa tidak menginap saja disini? Barangkali berkenan."

"Oh, tidak perlu. Tadi sekertaris saya sudah memesankan hotel untuk saya menginap beberapa hari," jawab Rafael memperjelas.

Lalu tak berapa lama taksi online yang telah dipesan oleh Ana pun datang menjemput Rafael.

"Saya permisi dulu, taksi yang mengantar saya sudah datang," buru-buru Rafael mengambil kopernya lalu berjalan pergi meninggalkan mereka. Rafael hanya menganggukkan kepala lalu keluar dari ruangan.

Agatha dan Suster Regina mengantarnya sampai di luar ruangan. Mereka saling bertatap dan tersenyum.

"Sungguh orang yang kaya ya?"

"Rafael adalah temanku waktu SMA dulu."

"Benarkah?"

Agatha mengangguk seolah menjawab pertanyaan Suster Regina.

"Tapi kenapa Suster tidak pernah cerita? Lalu Suster Retha apa tahu hal ini?"

"Beliau tidak tahu hal ini, aku sengaja tidak bilang, dan aku juga mohon Suster jangan bilang siapa-siapa ya? Aku harap ini rahasia kita berdua ya?"

"Tapi kenapa?"

"Nanti juga akan tahu sendiri Suster."

"Oke."

***

Sambil berjalan menuju ke ruang doa, Agatha memberi tahunya bahwa tadi siang Rafael telah memeriksa keadaan di sanggar dan rencana kerjanya untuk merombak seluruh bangunan di sanggar dan membangunnya kembali dengan bangunan yang lebih kokoh dan bagus serta nampak elegan.

Suster Regina hanya mendengarkan saja penjelasan dari Agatha. Dan tak terasa tibalah mereka di ruang doa, dimana setiap sore semua Biarawati berkumpul untuk berdoa bersama di sebuah ruangan yang telah disediakan khusus dan ditata memang untuk berdoa.

Kebetulan sore itu Agatha mendapat giliran untuk memimpin doa, dia lalu bersiap dan terlebih dulu diawali dengan meditasi. Suasana menjadi hening seketika takkala meditasi pun dimulai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel