Bab 10 Pergi Dengannya
Bab 10 Pergi Dengannya
Seperti biasanya, sepulang dari sanggar, Agatha segera bergegas ke kamarnya untuk mandi dan membersihkan dirinya. Dia melepaskan jubahnya satu persatu dan segera masuk ke kamar mandi.
Tak butuh waktu lama bagi seorang Biarawati untuk mandi dan membersihkan diri. Karena kesederhanaanlah yang muncul dalam diri para Biarawan maupun Biarawati, bahkan berdandan pun juga tidak, mereka tidak harus bersolek dan berdandan secara berlebihan, layaknya wanita pada umumnya. Bahkan memakai lipstick pun tidak. Tapi entah kenapa dari kesederhanaan itulah muncul kecantikan yang alamiah dari mereka, termasuk kecantikan alamiah yang terpancar dari wajah Agatha.
Selesai mandi, Agatha segera memakai kembali jubah yang bersih dan wangi. Satu persatu dia kenakan lagi setelah itu dia melihat buku agendanya. Jadwal apa yang hari ini harus dia kerjakan, karena hari ini adalah jadwal kunjungan ke rumah umat, maka dia mencari tahu nama dan alamat rumah umat yang akan dia kunjungi.
Seperti seorang yang sedang berpikir, dia berusaha mengingat-ingat sesuatu.
'Oh iya, itu kan rumah Bapak yang penjual kacang itu' ucapnya dalam hati.
***
Seperti biasa menjelang sore para Suster itu berkumpul di ruang doa untuk berdoa bersama. Agatha mengambil posisi sikap doa yang nyaman buatnya, senyumnya begitu damai sekali setiap orang yang melihat senyum dari Agatha selalu merasa nyaman dan tenang sekali.
Mereka memulainya dengan bermeditasi terlebih dahulu dilanjutkan dengan pujian dan doa bersama dan seterusnya sampai selesai doa mereka.
Tak berapa lama berlalu, Agatha melanjutkan aktivitasnya dengan pekerjaan rutinnya sebagai pengajar di sanggar, dia membuka laptopnya di kamar dia kerjakan beberapa tugas termasuk persiapan mengajar untuk anak-anak esok hari.
Beberapa lamanya dia mengerjakan itu, hingga akhirnya Suster Regina mengetuk pintu kamarnya dan mengingatkan padanya akan kunjungan.
"Sudah siap belum, Suster?" tanya Suster Regina lalu masuk ke kamar Agatha yang tidak ditutup itu.
"Oh, iya Suster. Hampir saja aku lupa, sebentar saya akan berkemas dulu barulah nanti kita berangkat bareng."
Agatha segera menutup laptopnya dan menyudahi semua tugas-tugasnya dan bergegas mengikuti Suster Regina.
Mereka berjalan beriringan melangkah dengan pasti, tapi tunggu tiba-tiba Agatha teringat dengan Rafael yang tadi siang ingin ikut kegiatan kunjungan ini.
"Suster, tunggu."
"Kenapa?"
"Tadi siang Rafael ke sanggar, dia mau ikut juga katanya, kita tunggu Rafael sebentar ya? Mungkin dia masih di jalan."
Berpikir sejenak, dan akhirnya Suster Regina mengangguk mengiyakan pertanyaan Agatha.
***
Mereka menunggu di ruang tamu dan duduk disana, dengan harapan jika Rafael datang bisa segera mengetahuinya.
1 menit ... 2 menit ... 3 menit ... Sampai di 15 menit, belum juga muncul sosok Rafael yang ditunggu.
"Apa masih lama ini Suster?" tanya Suster Regina yang sedari tadi melihat terus ke jam tangan yang dipakainya.
"Entahlah. Mungkin dia masih di jalan."
"Kita nanti keburu telat, lagipula kedatangannya juga belum jelas mau datang jam berapa, bagaimana kalau kita tinggal saja Pak Rafael, mungkin next time beliau bisa ikut lagi."
Diam sejenak, bola mata Agatha berputar dan bergerak ke kiri dan ke kanan seperti memikirkan sesuatu.
"Tunggu 5 menit lagi ya Suster? Siapa tahu habis ini dia datang."
Dengan menarik napas panjang, akhirnya Suster Regina pun mengiyakan permintaan Agatha, "Ya sudah, 5 menit ya? Kalau seandainya 5 menit beliau belum juga datang, kita harus secepatnya berangkat."
Dengan anggukan cepat dan senyum manisnya, Agatha menjawab pertanyaan Suster Regina.
***
Akhirnya mereka pun berangkat tanpa Rafael, tapi tiba-tiba di depan gerbang terdengar suara Rafael memanggil dari dalam sebuah mobil berwarna hitam.
"Agatha, tunggu aku," teriak Rafael dari dalam mobil.
'Itu kan Rafael?' ucapnya dalam hati.
"Suster, tunggu sebentar itu Rafael datang," ucap Agatha pada Suster Regina dengan harapan dia mau menunggunya.
Suster Regina tak menjawab hanya menatap saja ke arah Agatha, tapi tatapannya itu sudah menjawab pertanyaan dari Agatha.
"Ayo naik, kita berangkat sama-sama aja," ajak Rafael pada mereka sambil melambaikan tangannya.
Mereka pun mengikuti ajakan Rafael, yang sedianya dari awal mereka berencana akan berjalan kaki ke tempat kunjungan.
"Maaf ya Suster, saya terlambat karena ada sesuatu hal," pintah Rafael.
Taksi online yang membawa mereka itu terus meluncur dengan kecepatan sedang, sedangkan Suster Regina yang ada di depan itu sebagai penunjuk jalan atau semacam navigasi untuk mereka. Sopir itu hanya mengikuti arahan dari Suster Regina saja.
Kira-kira sekitar 5 menit mereka sudah sampai di rumah Pak Yusuf, orang yang akan dikunjungi oleh mereka.
"Lho, sudah sampai ya?" tanya Rafael heran.
"Iya sudah, memang dekat kok rumahnya," jawab Agatha spontan.
Mereka berjalan masuk sambil menunggu Rafael yang masih sibuk membayar taksinya.
***
"Syallom, Pak Yusuf."
Tak lama dari dalam keluarlah laki-laki kira-kira berumuran 50 an. Dia keluar dengan kaos oblong yang sudah hampir hilang gambarnya dan hanya menyisakan warna itupun juga sudah agak kabur warnanya. Dia nampak bahagia begitu yang dilihatnya adalah Agatha, senyumnya langsung mengisi seluruh ruangan rumahnya yang tidak terlalu besar itu.
"Eh, Suster Agatha. Mari masuk Suster, silahkan duduk."
"Bagaimana kabarnya, Pak? Lama kami tidak pernah datang lagi kemari."
"Puji Tuhan, kabar kami semua sehat Suster. Suster Agatha dan Suster Regina bagaimana juga kabarnya?"
"Iya Puji Tuhan pak, kami semua juga sehat. Kalau boleh tahu Bapak sedang sibuk apa ini?" tanya Agatha sambil mengikuti Pak Yusuf ke dalam rumahnya.
Sedangkan Rafael hanya diam saja di depan, dia pun mau duduk juga enggan karena baginya kursi tamu dari kayu itu, yang disediakan oleh pak Yusuf itu tidak layak dia duduki karena terlalu jelek dan warnanya juga sudah tidak bagus lagi. Jadi mau tidak mau dia berdiri saja di situ dengan segala kesombongannya.
Suster Regina dan Agatha langsung masuk saja kedalam seperti sudah terbiasa. Begitu asyiknya mereka membantu Pak Yusuf dan istrinya membungkusi kacang dan kerupuk untuk dititipkan di warung-warung sampai lupa untuk memperkenalkan Rafael pada mereka, sedangkan anak Pak Yusuf yang bernama Pras lagi keluar mengambil makanan sisa penjualan yang mereka titipkan tadi pagi di warung.
"Maaf, Suster. Yang di depan itu siapa? Kenapa tidak masuk dan cuma berdiri saja," tanya Pak Yusuf kepada Agatha.
"Oh iya, saya sampai lupa memperkenalkan beliau, itu Pak Rafael namanya, dia donatur di Yayasan kami, dia juga yang akan membuatkan kami sanggar yang baru yang lebih luas dan lebih bagus.
"Oh ... Jadi beliau Pak Rafael," jawab Pak Yusuf, kagum.
Agatha hanya tersenyum, dan tetap membantu pekerjaan Pak Yusuf dan istrinya, itulah kehidupan sehari-hari mereka hanya berjualan kerupuk dan kacang yang setiap hari mereka titipkan di warung-warung, hasilnya juga lumayan buat makan dan biaya hidup sehari-hari serta untuk biaya sekolah kedua anaknya.
***
Agatha keluar sebentar menghampiri Rafael yang ada di depan.
"Kamu masuklah dulu, duduklah dulu, paling tidak hargailah mereka sebagai tuan rumah."
"Aku? Duduk disitu? Apa kursi mereka masih layak untuk ku duduki?" sahut Rafael dengan mencibir.
"Kamu jangan bicara seperti itu, banyak hal yang mereka punya namun tidak kita miliki, setidaknya hargai Pak Yusuf sebagai ciptaan Tuhan yang perlu kita sayangi juga."
Rafael terdiam mendengar ucapan Agatha yang begitu menyejukkan hatinya dan perlahan mulai membuka hati Rafael.
