Bab 7 Yogya Kembali
Bab 7 Yogya Kembali
Pagi ini, dari Malang, Bandara Abdulrahman Saleh menjadi saksi Rafael berangkat menuju Yogyakarta yang telah dinantikannya selama ini, kesempatan untuk bisa bertemu dengan seorang yang dia kagumi, walaupun tidak bisa diraihnya.
Lumayan lama perjalanan untuk bisa sampai ke Yogya, tapi tak mengapa bagi seorang Rafael yang memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuannya, itulah prinsip hidupnya, selalu gigih untuk mendapatkan sesuatu sebelum sesuatu itu tercapai dia tidak akan mundur.
Berjam-jam lamanya dia di pesawat, akhirnya tiba juga di tempat ini, Adisucipto, Bandara Adisucipto siang ini telah menerimanya dengan baik. Beda dari sebelumnya, kali ini Rafael membawa barang lebih banyak, dia membawa 1 koper besar berisi pakaian, laptop dan peralatan lainnya serta file pekerjaannya, yang rencananya akan dia kerjakan di sini untuk beberapa hari.
Hmm ... Sepertinya dia sudah siap untuk berhari-hari di sini.
Rafael melangkah maju dengan percaya diri dan senyuman congkak yang seolah mengumbar di setiap sudut ruangan di Bandara ini.
Sampai akhirnya dia berhenti pada satu tempat dimana dia bisa menemukan taksi untuk membawanya pergi ke tempat yang diinginkannya.
Dia berdiri diatas sepasang sepatu bermerek terkenal dengan bahan yang pasti tidak kaleng-kaleng tentunya dan terasa nyaman bagi si pemakainya matanya menjelajah ke kanan dan kiri tempat dia berdiri. Hanya dengan 1 tepukan tangan saja, taksi yang dipanggilnya itu pun langsung datang menghampirinya.
"Selamat siang, Pak!" sopir taksi itu menyapanya dengan menganggukan kepalanya.
Rafael tidak menjawab, dia hanya membalasnya dengan 1 kali anggukan saja seolah sudah mewakili jawabannya. Ya, itulah dia, kurang bisa ramah pada orang yang tidak dikenalnya.
***
Beberapa menit berlalu, dan pada akhirnya sampai juga di tempat yang diharapkannya.
Dia turun dari taksi dan berjalan melangkah menuju satu ruangan. Ruang tamu Biara Santa Theresia.
Rafael mengetuk pintu ruang itu dan ternyata ada 1 Suster yang berjaga di situ.
Tok ... Tok ... Tok ....
Merasa ada yang mengetuk pintu ruangan, maka Suster itu pun mendongak ke atas, dan dilihatnya seorang Rafael sudah berdiri tegap di depannya.
"Selamat siang," sapa Rafael padanya.
"Selamat siang, Pak. Apa ada yang bisa kami bantu?"
"Saya ingin bertemu dengan Suster Agatha."
"Maaf Suster Agatha belum pulang dari sanggar. Tapi ada Suster Kepala, ada Suster Retha disini, mungkin mau saya panggilkan beliau?"
"Oh, begitu ya? Baiklah, saya akan tunggu beliau disini."
"Sebentar ya, Pak. Saya akan panggilkan beliau, Bapak silahkan duduk dulu."
Sementara Suster tadi memanggilkan Suster Retha, Rafael duduk di kursi tamu yang sudah disiapkan.
5 menit kemudian, datanglah Suster Retha menemui Rafael.
Begitu melihat Suster Retha di depannya, Rafael segera berdiri dari tempatnya dan mengulurkan tangannya memberi salam.
"Selamat siang, Suster."
"Oh, Pak Rafael ya? Selamat siang Pak, mari silahkan duduk," Suster Retha mempersilahkan Rafael untuk duduk kembali.
"Bagaimana, Pak? Semoga kabar gembira yang akan kami terima."
"Benar Suster, kabar gembira yang saya bawa. Saya kemari membawa kabar bahwa yayasan kami menyetujui Proposal yang diajukan oleh Suster Agatha, dan maksud kedatangan saya kemari untuk meninjau tempat dan segala sesuatunya Suster."
"Oh, begitu ya? Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dari Pak Rafael, dan ini kebetulan Suster Agatha sedang di sanggar, kalau tidak keberatan biar kami mengantar Bapak kesana untuk melihat lokasi sekaligus menemui Suster Agatha, tapi itu jika Bapak tidak lelah dan tidak keberatan."
"Oh, nggak! Saya nggak capek kok, saya malah senang bisa kesana menemui Suster Agatha."
"Kalau begitu sebentar, Pak. Saya siapkan mobil dan sopir dari sini, biar kami antar Bapak ke tempat Sanggar tempat Suster Agatha mengajar."
"Baik, Suster."
Akhirnya Suster Retha menyuruh Sopir Biara itu untuk mengantarkan Rafael siang itu. Begitu mobil siap Rafael segera masuk dan dengan cepat dia duduk di belakang Sopir sambil melambaikan tangannya pada Suster Retha.
Dengan piawai, Sopir itu mengantarkan Rafael menemui Agatha.
***
10 menit kemudian sampailah Rafael di Sanggar Tinta Emas, sebetulnya jaraknya tidak terlalu jauh, hanya saja karena naik mobil jadi mesti berputar arah dan lalu lintasnya juga sedikit melambat karena volume kendaraan yang cukup banyak. Biasanya kalau pagi Agatha hanya berjalan kaki menuju ke Sanggar.
"Kita sudah sampai, Pak!" sopir itu menoleh ke belakang memberi tahu pada Rafael.
"Sudah ya? Ok, terima kasih," sahut Rafael lalu segera turun dari mobil.
Rafael melihat ke sekelilingnya, bangunan yang cukup tak terawat dengan halaman yang lumayan luas, bangunan sederhana dengan warna cat yang sederhana pula, 'tapi kenapa sepi, lalu dimana aku harus menemui Agatha?' gumamnya dalam hati.
Rafael lalu melangkah masuk menuju ke suatu ruangan yang dia sendiri juga tidak tahu ruangan apa itu, tapi dia berjalan saja ke ruangan itu.
Di ruangan itu ternyata dia melihat sosok Agatha sedang duduk sendiri dan mengerjakan sesuatu yang dia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang dikerjakannya.
Tiba-tiba tanpa mengetuk pintu, Rafael sudah berdiri di depan pintu dan memberi salam pada Agatha. Dengan harapan bahwa Agatha akan terkejut melihat dia dan segera memeluknya, tapi itu dulu 6 tahun yang lalu, yang sekarang mungkin tidak akan seperti itu.
"Selamat siang, Suster!" sapa Rafael pada Agatha siang itu dengan wajah datar.
Merasa ada yang memanggilnya, Agatha segera menoleh kearah suara itu.
"Hai ... Rafael, kapan datang? Kenapa tidak kasih kabar dulu?" Agatha menyapanya dengan sukacita, tapi kali ini lain tanpa pelukan, Agatha yang sekarang adalah seorang Biarawati.
"Baru siang ini aku datang, dan langsung ke Biara ternyata sama Suster Retha aku diantar kesini."
"Kamu sama Pak Broto ya kesininya?" tanya Agatha pada Rafael seolah tahu Rafael siapa itu Pak Broto.
Rafael bingung dengan pertanyaan Agatha, bola matanya berputar seolah mewakili perasaan hatinya untuk mengungkapkan kebingungannya. Agatha baru sadar kalau Rafael tidak tahu siapa Pak Broto.
"Maksudku, Pak Broto Sopir yang mengantar kamu tadi, dia sopir di Biara kami, aku lupa kalau kamu belum kenal dia, maaf ya?"
"Nggak masalah kok, tapi dengan begini aku jadi kenal dia."
Agatha mempersilahkan Rafael untuk duduk di ruang kelas itu, mereka berbincang-bincang sebentar sebelum akhirnya dia memutuskan untuk memeriksa keadaan di tempat itu.
Agatha mengajak Rafael berkeliling di tempat itu, kebetulan siang ini temannya Suster Regina sudah pulang dari tadi jadi dia tidak sempat memperkenalkan Rafael pada Suster Regina.
Rafael memperhatikan sekeliling tempat itu walaupun kadang kala sesekali ia mencuri pandang ke arah wajah cantik Agatha yang tersembunyi dibalik kerudungnya.
'Sungguh cantik.' ucapnya dalam hati.
"Bagaimana? Apa ada yang mau dilihat lagi?"
"Sepertinya sudah cukup."
"Kalau begitu kita bisa pulang."
"Ok, sekalian aku juga mau ambil barangku, biar aku nanti tidur di hotel saja."
"Apa kalau kamu berkenan, kamu bisa tidur di tempat kami, aku akan siapkan tempat untuk kamu beristirahat."
"Oh, nggak perlu. Aku tidur di hotel saja."
Agatha tersenyum melihat sikap dan jawaban dari Rafael, karena dia tahu Rafael memiliki gengsi yang tinggi. Lalu tak lama berselang Agatha mengajaknya kembali ke Biara.
"Lho, dari tadi kok sepertinya kita jalan terus padahal banyak taksi yang lewat disini."
"Lho, kan memang kita jalan kaki ke Biaranya."
"Apa? jalan kaki ... panas-panas seperti ini kita jalan kaki?" Rafael sempat terkejut dan setengah berteriak mendengar jawaban dari Agatha.
