Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Sanggar dan Proposal

Bab 5 Sanggar dan Proposal

Hingga akhirnya, menjelang pagi, barulah dia bisa tertidur, tapi itupun juga tidak bisa lama, karena jam 7 dia harus sudah berangkat dan meeting dengan kliennya. Hari ini jadwal Rafael sangatlah padat, pagi dia ada meeting, siang selepas lunch dia harus meninjau beberapa supermarket yang dikelolanya. Lalu sore sampai malam dia ada janji dengan investor asing.

Begitu sibuknya, seorang Rafael, pengusaha muda yang memiliki banyak perusahaan di sana sini.

***

Begitu pula dengan Agatha, kesibukan sehari-harinya sebagai seorang Biarawati, lumayan juga menyita waktunya. Sebagai tenaga kemanusiaan untuk anak-anak yang terlantar dan anak jalanan, dia berjuang setiap harinya dengan mengajarkan mereka pendidikan secara gratis.

Pagi itu dia berjalan menyusuri sepanjang jalan menuju tempatnya mengajar, Agatha dan anak-anak itu biasa menyebut tempat itu dengan Sanggar. Agatha memberinya nama Sanggar itu dengan nama Tinta Emas. Hampir setiap pagi dia menyusuri jalan itu, orang-orang di sepanjang jalan itu, yang dilewati olehnya sudah hafal betul siapa Suster Agatha dan kemana dia melangkah.

"Pagi, Suster," sapa salah seorang penjual gudeg padanya.

"Pagi, Ibu," jawab Agatha dengan senyumnya.

"Suster, apa mau sarapan dulu? Biar saya buatkan."

"Terima kasih, tadi pagi sebelum berangkat saya sudah sarapan, Bu."

"Saya permisi dulu ya, Bu? Buru-buru," jawab Agatha lagi.

"Silahkan Suster," jawab Ibu penjual gudeg tadi.

Tak hanya Ibu penjual gudeg tadi yang menyapanya dengan ramah, di tempat lain seorang tukang becak pun juga menyapanya dengan ramah. Hampir semua orang terutama kelas menengah ke bawah tahu dan kenal siapa Suster Agatha. Kebaikan dan keramahan yang dimilikinya telah membuat dia menjadi terkenal diantara orang-orang itu.

Suster yang cantik, ramah dan juga baik, itulah yang melekat dalam diri Agatha, yang dikenal banyak orang lewat senyum dan keramahannya.

***

Tiba di Sanggar, ternyata anak-anak sudah menunggunya dengan penuh semangat. Tapi untungnya, sahabatnya sesama Biarawati, namanya adalah Suster Regina. Beliau sudah datang lebih pagi daripada Agatha.

Sanggar hanya dibedakan menjadi dua kelas, kelas besar dan kelas kecil. Untuk kelas besar Suster Regina lah yang mengajarnya sedangkan untuk kelas kecil, Suster Agatha yang mengajarnya.

Berbeda dengan sekolah formal, di Sekolah Formal kelas dibagi menjadi 6 kelas, yaitu mulai kelas 1 hingga kelas 6, namun di Sanggar Tinta Emas ini berbeda, hanya ada 2 kelas saja, kelas besar dan kelas kecil.

Agatha mengajari anak-anak itu bagaimana cara membaca, menulis serta pelajaran-pelajaran yang lainnya. Beberapa jam dia mengajar disana, akhirnya dia pun merasa lelah juga.

"Anak-anak, kita istirahat sebentar ya?" pekik Agatha pada anak-anak itu.

"Baik, Suster," jawab mereka dengan teriakan yang keras dan bersamaan.

Sementara itu di waktu yang bersamaan pula, Suster Regina juga mengistirahatkan anak didiknya juga.

Suster Regina menghampiri Agatha di kelasnya.

"Selamat pagi, Suster," sapa Suster Regina padanya.

"Pagi, Suster," jawab Agatha sambil menoleh ke arahnya.

Suster Regina, menghampiri Agatha dan berjalan masuk ke kelas.

"Hari ini banyak yang nggak masuk ya Suster?" Tanya Suster Regina.

"Iya betul, biasanya mereka sampai di luar dan kelas penuh sesak," jawab Agatha.

"Ada apa ya anak-anak kok banyak yang nggak masuk?"

"Entahlah," sahut Agatha.

Disela-sela obrolan mereka, tiba-tiba datanglah anak muridnya menghampiri mereka berdua.

"Suster, ini ada titipan dari Ibuku untuk Suster," ucap anak itu sambil menyodorkan kantong kresek hitam padanya.

"Apa ini Syahrul?" jawab Agatha sambil melihat isi kantong hitam itu.

"Makanan buat Suster," jawab Syahrul.

"Sampaikan salam Suster pada Ibu kamu ya? Terima kasih banyak."

"Iya, Suster," Syahrul menjawabnya dengan menganggukkan kepalanya.

Di Sanggar itu, tidak memandang status sosial ataupun keyakinan, siapa pun yang ingin bersekolah disana akan ditampung oleh Yayasan.

Setelah Syahrul pergi dan meninggalkan Suster Agatha, maka kantong kresek hitam itu dibukanya dengan segera oleh Agatha dengan disaksikan oleh Suster Regina.

"Apa isinya?" yanya Suster Regina.

"Entahlah," jawab Agatha sambil membukanya.

Lalu Agatha membuat isi kantong itu, dan ternyata di dalamnya berisi sebungkus nasi dengan lauk tempe dan tahu bacem serta sedikit sambal.

"Sepertinya enak masakan ini, Suster. Ayo kita makan bareng," ajak Agatha pada Suster Regina.

"Iya benar, sepertinya enak. Kita tidak bisa melihat dari wujudnya tapi kasih sayang yang sudah mereka berikan pada kita," sahut Suster Regina.

"Iya itu benar."

Lalu mereka memakannya bersama sebungkus nasi tadi. Bayangkan seorang Agatha, anak orang kaya, berkelimang harta dan kemewahan, harus makan nasi bungkus dengan lauk tempe, tahu dan sambal.

Di sela-sela makannya, Suster Regina pun teringat dengan ucapan Suster Retha mengenai Donatur itu.

"Gimana, sudah ketemu belum sama Donatur yang dibilang oleh Suster Retha?"

Agatha cuma diam, begitu mendengar kata Donatur dia langsung teringat dengan Rafael, hanya saja dia tidak bercerita bahwa Donatur yang dimaksud itu sebenarnya adalah Rafael, mantan kekasihnya dulu waktu SMA.

"Suster ...," tanya Suster Regina lagi.

"Hah, iya. Maaf!" jawab Regina gelagapan.

"Itu ya, Donatur ya? Iya sudah, kapan hari kita sudah ketemu, lalu Beliau menyuruhku membuat proposal," jawabnya lagi.

"Apa sudah dibuat Suster? Apa perlu saya bantu?"

"Sudah sebagian, rencananya nanti malam saya akan buat lagi kelanjutannya. Lalu besok pagi rencananya akan saya kirim," jawabnya.

"Oh, begitu ya? Kalau begitu sudah tidak membutuhkan bantuan saya ya Suster?" tanya Suster Regina.

"Bukan tidak butuh tapi masih belum Suster," jawab Regina sambil terengah-engah karena pedasnya sambal yang dia makan tadi.

"Kenapa Suster? Kepedasan ya?"

"Iya, huh ... hah ... huh ... hah." Agatha seperti kehabisan napas karena sangking pedasnya sambal yang dimakannya tadi.

Hari itu mereka mengajar sampai siang, dan setelah selesai mengajar, Agatha pulang ke Biaranya dan melanjutkan rutinitasnya lagi.

***

"Ana apa ada email buat saya dari Biara Santa Theresia?" tanya Rafael pelan pada Sekretarisnya.

"Tidak ada, Pak," jawab Ana spontan. Tapi dalam hatinya sedikit heran dan bertanya-tanya, tumben hari ini Bosnya sedikit kalem dari biasanya, padahal biasanya kalau bertanya nadanya selalu ngegas terus, tidak ada halus-halusnya.

"Oke, kalau ada segera kabari aku ya? Aku menunggu email dari mereka."

"Baik pak."

Lalu Rafael pergi meninggalkan Ana dan masuk ke dalam ruangannya. Rafael melanjutkan lagi pekerjaannya sampai tiba waktunya dia bertemu dengan investor asing yang akan menanamkan modal di perusahaannya.

***

Sementara itu, menjelang malam, setelah semua rutinitasnya selesai. Agatha pun melanjutkan lagi pengerjaan Proposal Sanggar Tinta Emas yang akan dia berikan pada Rafael.

Sepanjang malam dia berpikir dan menyusun kata-kata yang bagus dan tepat untuk diberikan pada Yayasan yang dikelola oleh Rafael.

Bagaimana pun juga proposal ini sifatnya adalah resmi, jadi setiap kata dan kalimat yang digunakan harus betul-betul teliti dan sangat hati-hati.

Agatha terus menyusun proposal itu, dan sampai akhirnya kira-kira pukul 12 malam selesailah sudah Agatha menyusun Proposal itu. Tinggal dia edit sebentar dan besok pagi sudah siap di kirim ke Rafael.

Cukup lelah baginya tapi rasa lelah itu terbayar jika melihat senyum anak-anak di sanggar. Begitu manis dan lugunya mereka, jika bukan Agatha yang membantunya lalu siapa lagi yang peduli pada kehidupan mereka.

Malam itu setelah semuanya selesai, Agatha pun segera beranjak tidur dan melepaskan lelahnya.

***

Hingga pagi pun menjelang, pagi-pagi setelah dia selesai berdoa pagi bersama suster-suster yang lainnya, Agatha pun segera mengirim email Proposal itu pada Rafael, sesuai alamat yang tertera pada kartu nama yang diberikan oleh Rafael.

'Akhirnya selesai sudah pekerjaanku, semoga bisa diterima oleh mereka', ucap Agatha dalam hatinya

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel