Bab 18 Pertemuan di Dalam Bus
Bab 18 Pertemuan di Dalam Bus
"Selamat pagi, Suster Retha."
"Iya, selamat pagi Suster Aga. Silahkan duduk."
"Terima kasih."
Agatha menyeret kursi yang ada di depan Suster Retha lalu duduk menghadap di depannya. Agatha mengutarakan maksud kedatangannya pada Suster Retha.
"Ada apa, Suster Aga?" tanya Suster Retha.
"Maaf mengganggu waktunya, Suster. Sebetulnya maksud saya kemari, saya ingin meminta ijin cuti, saya ingin menemui orang tua saya di Malang," ungkap Agatha dengan sopan.
"Silahkan, tapi pekerjaan Suster disini bagaimana? Apa sudah ada yang menggantikan?"
"Suster Regina, yang akan menggantikan saya sementara ini."
"Baiklah, kalau memang sudah ada yang menggantikannya. Kapan rencananya Suster Aga akan cuti dan berapa lama?"
"Sudah 1 tahun saya tidak pulang, Suster. Jadi rencananya, saya akan ijin selama 10 hari, itu pun jika di ijinkan."
"Iya, silahkan. Asalkan pekerjaan Suster Aga disini tidak terbengkalai," jawab Suster Retha mempersilakan.
"Terima kasih," lalu Agatha melangkah keluar meninggalkan ruangan Suster Kepala.
Agatha melangkah masuk lagi ke kamarnya pagi itu, dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan keluarganya terutama Ayah dan Ibunya. Ada beberapa barang yang dia siapkan untuk keberangkatannya besok pagi, berbeda dengan Rafael jika dari Yogya ingin pulang ke Malang selalu naik pesawat sedangkan Agatha jika ingin pulang ke Malang dia selalu naik Bus atau kadang naik kereta api ekonomi.
Setelah dia selesai menyiapkan beberapa barang yang akan dibawanya esok, dia segera bergegas ke Sanggar seperti biasanya.
Ketika dia sedang berjalan arah menuju Sanggar, entah kenapa dia tiba-tiba teringat dengan Rafael, ingin rasanya dia memberi kabar pada Rafael tentang kepulangannya ini. Agatha tiba-tiba tersenyum sendiri jika mengingat Rafael.
'Ah, sudahlah. Buat apa aku memberi kabar padanya,' ucapnya dalam hati.
Tak terasa lamanya perjalanan, tiba-tiba dia sudah tiba di Sanggar, anak-anak sudah menyambutnya dengan sukacita.
Sepenjang hari ini dia menjalani aktivitas seperti biasanya, hari itu juga dia berpamitan pada anak-anak karena untuk 10 hari ke depan dia tidak bisa mengajar mereka karena cuti dan ingin mengunjungi keluarganya.
Mendengar berita itu, anak-anak merasa sedih karena harus berpisah dengan Suster kesayangannya, walaupun hanya 10 hari saja.
Sedangkan Agatha tetap berusaha menguatkan hati anak-anak bahwa dirinya dan Suster Regina adalah sama, tidak ada beda diantara mereka. Namun anak-anak itu tetap bisa merasakan kasih sayang Agatha berbeda dengan yang lainnya.
Tak terasa 1 hari telah berlalu, dan malam pun datang menyapa dan menghampirinya, seolah mengajaknya untuk bersama-sama menatap bintang dan bulan yang bersinar terang malam itu.
***
Pagi-pagi benar, Agatha sudah bersiap berangkat untuk bertemu dengan orang tuanya. Pagi ini dia berencana untuk naik Bus, sebelum berangkat dia sudah berpamitan dengan teman-temannya sesama Suster di Biara, terutama pada Suster Regina, dia berpesan juga mengenai anak-anak yang ada di Sanggar.
Sebelum ke Terminal, Agatha naik angkot yang biasanya lewat di depan Biara, baru setelah itu dia ke Terminal Bus. Hanya 1 tas ransel yang dia bawa, isinya hanya pakaian, Rosario, Kitab suci serta flashdisk tempat dia menyimpan beberapa berkas pekerjaannya, dan satu lagi yang dia bawa kamera kesayangannya dan juga botol minum.
Sepertinya perjalanan yang cukup jauh dan lama, yang akan dia tempuh hari ini, Agatha juga tidak memberi tahu orang tuanya kalau dia akan datang hari ini, semua tidak ada yang tahu termasuk juga Rafael.
Setibanya dia turun dari angkot, dan sampai di Terminal Bus, Agatha segera mencari Bus yang biasanya dia naiki jika pulang ke rumah orang tuanya. Begitu dapat, dia langsung mencari tempat duduk yang baginya dia merasa sangat nyaman, di bangku belakang di pojok tapi bukan di paling belakang, sebelum pintu belakang.
Agatha duduk di sebelah laki-laki yang lumayan serem tampangnya, badannya penuh dengan tato, melihat perawakannya saja menakutkan, dan sudah pasti orang akan mengira bahwa tingkah lakunya juga tidak jauh beda dengan tampangnya, untuk dekat dia saja rasanya takut. Tapi tidak dengan Agatha, dengan senyumnya yang lemah lembut dan penuh kasih itu, dia menyapa pria sangar yang ada di sebelahnya itu, pria itu juga membalas senyuman Agatha.
***
Perjalanan pun dimulai, Bus telah berangkat dengan cepat dan pasti. Beberapa jam terlewati dengan lancar, kira-kira hampir setengah perjalanan, pria di sebelah Agatha itu akhirnya mengajak ngobrol dirinya. Agatha tetap santai dan tenang menghadapi semua pertanyaan pria ini.
Hari itu dia menggunakan jubah Kongregasinya, karena kali ini dia melakukan perjalanan bepergian secara pribadi bukan karena tugas maka hari itu dia mengenakan jubah berwarna biru gelap dan kerudung yang senada juga dengan jubahnya.
"Mbak ini mau kemana?" tanya pria sangar yang duduk di sampingnya itu.
"Saya, mau ke Malang, ke rumah orang tua saya," jawab Agatha sopan.
"Mbak, ini Biarawati ya?" lagi-lagi pria itu bertanya lagi pada Agatha.
Agatha mengangguk sambil tersenyum ramah. Tanpa ada ketakutan sedikit pun dalam dirinya, walupun pria yang di sebelahnya itu berpenampilan sangat ekstrim dan menakutkan.
Lalu tak lama berselang, Pria itu menyambung lagi pembicaraannya.
"Saya juga turun di Malang, tapi mungkin kita beda jalur, rumah istri saya masih masuk di pedesaan."
"Oh, iya? Kalau rumah orang tua saya dekat dengan terminal, tak jauh dari kota."
"Tapi entahlah, Mbak. Apakah saya diterima atau tidak dengan keluarga Istri saya," ucap Pria itu bernada sedih.
"Memangnya ada masalah apa?"
"Saya dulu seorang Preman di salah satu Pasar di Yogya, lalu suatu hari tanpa sengaja saya terlibat perkelahian dengan teman saya sesama Preman juga, cuma gara-gara masalah wilayah kekuasaan saja. Dan dalam perkelahian itu tidak sengaja saya membunuh teman saya tadi, beberapa tahun saya mendekam di penjara. Anak, Istri saya tidak pernah tahu pekerjaan saya yang sebenarnya, sampai kejadian itu terjadi barulah mereka tahu yang sebenarnya. Beberapa hari yang lalu saya baru keluar dari penjara dan sekarang saya ingin menemui keluarga saya di Malang," jelas Pria itu, dengan wajah yang penuh penyesalan.
"Tapi sekarang anda sudah bertobat belum?"
"Sudah, saya menyesal telah melakukannya, tapi orang seperti saya ini tidak gampang diterima walaupun saya sudah bertobat. Mungkin orang-orang juga tidak percaya dengan niat saya, kalau sudah seperti itu mau cari kerja juga sulit rasanya."
Agatha diam dan dengan senyum tipis, dia memandang laki-laki yang ada disebelahnya itu, sambil dia peluk tas ransel yang ada di pangkuannya.
"Bapak jangan putus asa seperti itu, tidak ada yang mustahil jika Tuhan yang berkehendak. Tetap percaya dan terus berdoa."
Agatha berusaha menguatkan hatinya, agar terus berjuang dan berserah pada Tuhan dalam pertobatannya sekarang ini.
Tiba-tiba Agatha mengeluarkan secarik kertas berukuran kecil dari dalam dompet yang dia simpan di dalam tas ranselnya.
"Ini kartu nama saya di Yogya, jika tidak ada orang yang mau menerima Bapak, silahkan Bapak bisa datang ke alamat ini, mungkin saya bisa membantu Bapak, setidaknya walaupun hanya berbagi cerita."
Lalu Pria itu membaca sebentar kartu nama yang diberikan Agatha pada dirinya, dia membaca nama yang tertulis di situ. Lalu dia bertanya pada Agatha.
"Ini tempat apa?"
"Itu Biara, tempat saya selama ini tinggal disana."
"Nama mbak, Agatha?"
"Iya itu nama saya, disana saya biasa dipanggil Suster Agatha."
"Suster Agatha ...," ucap Pria itu dengan mengangguk-angguk dan tersenyum pada Agatha.
"Sungguh, Suster Agatha ini orang yang baik, sedikit pun tidak ada ketakutan di mata Suster dan ketulusan untuk mau menerima saya," lanjut pria itu lagi.
