Bab 17 Rindu
Bab 17 Rindu
Beberapa hari terlewati, mereka berdua menjalani kehidupan masing-masing tanpa memberi kabar satu sama lain, walaupun ingin rasanya bagi Rafael untuk bisa saling berbagi cerita atau kabar dengan Agatha namun dia tidak punya keberanian untuk melakukannya.
Rasa malu dan takut jika menggangu, itu yang selalu terlintas dalam benak Rafael.
1 minggu berlalu, 2 minggu terlewati, Rafael tak mampu menahan rindu yang menggebu di hatinya. Malam itu dia melentangkan tubuhnya di atas ranjang berukuran big berbahan latex, pandangannya tertuju pada langit-langit atap kamarnya, bola matanya mengarah ke kiri dan ke kanan, dia menatap jam dinding tepat di depannya, 'Masih pukul 8, mungkin Agatha belum tidur,' ucapnya dalam hati.
Rafael mengambil ponselnya, dia mencari kontak Agatha, dengan harap-harap cemas, dia memberanikan diri untuk mengirim chat WhatsApp pada Agatha.
'Selamat malam,
Lagi apa?
Maaf ya, kalau mengganggu.'
Pesan singkat itu segera terkirim dan diterima oleh yang empunya.
Ponsel Agatha bergetar di sampingnya, dia melirik ke samping, tertulis nama Rafael di layar ponselnya. Agatha segera mengambil ponselnya, dan yang tadinya dia sedang mengetik pekerjaannya di laptopnya, kini sudah beralih dan sibuk mengetik di ponselnya, Agatha segera membalas pesan singkat dari Rafael.
'Selamat malam, Rafael.
Apa kabar kamu? Aku lagi kerjakan tugas harian,
Kamu tidak menggangu aku sama sekali.'
Sekarang giliran Agatha yang mengirim pesan balasan untuk Rafael, dan segera diterima oleh Rafael, hatinya rasa bergetar menerima pesan singkat dari Agatha. Kali ini begitu selesai dia baca, Rafael langsung balik membalasnya.
'Keadaanku baik-baik saja di sini,
Semoga semua kegiatan kamu berjalan dengan baik.'
Terkirim, tanda centang dua berwarna biru muncul di layar WhatsApp milik Rafael.
Agatha tersenyum melihat ponselnya bergetar lagi, sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya Agatha segera membalas pesan Rafael.
'Amin, Puji Tuhan semuanya berjalan lancar,
Semoga hari-hari kamu menyenangkan, dan Tuhan senantiasa memberkati kamu.'
Pesan itu merupakan balasan yang terakhir dari Agatha, dan setelah itu dia sudah tidak menjawab lagi pesan singkat dari Rafael. Malam itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, Agatha segera tidur dan beristirahat di kamarnya, hingga esok pagi datang.
Bagi Rafael balasan singkat dari Agatha itu sudah sangat membahagiakan dirinya, rasa senang yang luar biasa dari hati Rafael yang tak dapat dia ungkapkan.
***
Hingga esok menjelang, Rafael berangkat ke kantor dengan senyum yang tak wajar, tak biasanya raut wajahnya cerah ceriah, penuh senyum dan menyapa ramah pada sekretarisnya, Ana.
"Tumben, Pak Rafael ramah," ucap Ana bergumam sendiri.
Seperti seorang yang sedang jatuh cinta saja, Rafael begitu berbunga bunga hari itu.
Di kantornya, di dalam ruangannya, dia lihat terus foto Agatha yang tersimpan di ponselnya, Rafael sempat mengambil foto Agatha secara diam-diam waktu di Yogya kemarin. Ada beberapa foto Agatha yang dia ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuan Agatha.
Sambil senyum-senyum sendiri, dia terus memperhatikan foto Agatha sambil dia geser ke kiri ke kanan foto yang ada di ponselnya itu.
Ketika sedang asyik menikmati kecantikan Agatha yang ada di ponselnya itu, tiba-tiba ponselnya berbunyi, suaranya semakin lama semakin keras, Rafael bingung mau mengangkatnya karena yang ada di layar ponsel itu tertulis nama Agatha, Rafael gugup dan tak tahu harus bagaimana, dia bingung. Sampai dua kali Agatha melakukan panggilan ke Rafael, panggilan yang pertama tidak dia angkat karena bingung dan gugup, lalu Agatha melakukan panggilan lagi yang ke dua, barulah Rafael mau mengangkatnya.
"Hallo."
'Iya, selamat pagi,' sahut Agatha di telepon.
"Ada apa? Apa ada masalah disana? Apa yang bisa aku bantu?" tanya Rafael bertubi-tubi dan tergopoh-gopoh.
'Kamu tenang saja, disini baik-baik saja, aku cuma mau mengabarkan kalau Pak Wiguna sudah mulai melihatkan hasilnya dalam pengerjaan Sanggar, sepertinya cara kerjanya cukup bagus dan memuaskan. Aku mewakili Yayasan dan anak-anak mengucapkan terima kasih, Rafael.'
"Oh iya, sama-sama, aku ikut senang mendengarnya. Semoga selesai secepatnya sesuai dengan jadwal."
'Amin.'
Terdiam sejenak dalam bicara. Lalu Agatha mengakhiri pembicaraan.
'Baiklah kalau begitu dan sampai ketemu lagi. Tuhan memberkati kamu dan keluarga.'
"Amin."
Lalu Agatha menutup teleponnya.
***
Rafael duduk termenung di kursi kerjanya, dia letakkan kepalanya di atas sandaran, karena badannya yang tinggi jadi bola mata langsung bisa melihat ke langit-langit ruang kerjanya.
Begitu Agatha selesai menutup pembicaraan mereka di telpon tadi, Rafael jadi semakin rindu dengan dirinya, ingatan akan kenangan masa lalunya tiba-tiba terlintas begitu saja dalam pikirannya. Kenangan masa SMA yang dulu dia sempat menjalin hubungan dengan Agatha, Agatha begitu baik dengannya, pikir Rafael jika waktu itu dia tidak memutuskan hubungan dengan Agatha mungkin sekarang dia masih menjalin hubungan atau mungkin sudah menikah dengannya, dan bisa jadi Agatha tidak memutuskan untuk masuk Biarawati seperti sekarang.
Tapi apa bisa di kata, semua sudah tertulis oleh yang Maha Kuasa, bahwa dia harus mengakhiri hubungannya dengan Agatha dan dia harus masuk Biarawati.
Kenangan indah yang sulit untuk dilupakan dan mungkin hanya bisa di kenang saja sampai kapan pun, apalagi sekarang sepertinya mustahil untuk mewujudkan mimpinya itu. Agatha sulit untuk diraih, dan tak mungkin bisa untuk memilikinya.
Cara Agatha memandangnya, senyumnya serta kadang sentuhan lembut dari jemari Agatha waktu mereka masih pacaran, benar-benar tidak bisa dihilangkan oleh Rafael. Semua masih terlihat jelas dalam ingatan Rafael.
"Ah ...."
Tiba-tiba Rafael berteriak dalam ruang kerjanya, sambil mengacak-acak rambut di kepalanya, lalu dia lempar ballpoint yang waktu itu sedang di pegangnya.
Teriakan yang baru saja dia ungkapkan itu adalah bentuk rasa jengkelnya pada keadaannya saat ini, keadaan yang tidak bisa dia kembalikan lagi seperti dulu, ingin rasanya dia mengumpat tapi untuk apa juga, ingin marah tapi pada siapa.
Hanya rasa jengkel dan penyesalan yang mendalam yang saat ini dia rasakan. Begitu menyesal dan sakit hati rasanya karena tidak bisa memiliki apa yang menjadi keinginannya.
Kebiasaan buruk yang selalu terbawa dari kecil, karena Rafael adalah anak orang kaya dan serba kecukupan jadi apa yang menjadi keinginannya selalu dipenuhi oleh orang tuanya bagaimana pun caranya, jadi sifat buruk ini terbawah terus sampai sekarang. Tapi dia sadar bahwa untuk memiliki Agatha rasanya tidak mungkin dan dia hanya pasrah pada keadaan, dan dia juga tidak mungkin akan menghalalkan segala cara agar bisa memiliki Agatha sepenuhnya. Walaupun dia memiliki sifat ego yang tinggi tapi dia tetap menaati norma dan aturan yang ada, dia tidak akan melanggar batasan-batasan yang sudah tertulis.
Biarlah rasa ini akan terpendam dalam hatinya untuk sementara waktu dan entah sampai kapan akan menghilang atau bahkan tertanam terus sampai akhir hayatnya.
Sifat Rafael yang selalu ingin terlihat sempurna dan selalu ingin bisa memiliki apa yang menjadi keinginannya, itulah yang membuat dia menjadi sangat jengkel karena tidak bisa memiliki Agatha sepenuhnya.
Tapi berbeda dengan Agatha, mungkin saat ini dia hanya menganggap Rafael seperti teman baik, dan kenangan lama bersama Rafael apa masih terpendam tidak di hatinya saat ini atau mungkin sudah menghilang bersama waktu, yang ada hanyalah janji sucinya untuk mengabdi dan melayani pada Tuhan dan sesama, serta meninggalkan semua keduniawian yang melekat dalam hidupnya selama ini.
