Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 16 Pulang

Bab 16 Pulang

"Sepertinya, mereka sangat sayang sama kamu ya?" Celetuk Rafael sambil membagikan bingkisan itu.

Agatha melempar senyum padanya, "Ya, begitulah anak-anak."

"Sama, aku juga seperti anak-anak itu."

Agatha langsung menoleh ke Rafael, dia bingung dengan ucapan Rafael, "Maksudnya?" tanya Agatha sambil menggelengkan kepalanya.

"Nanti juga tahu sendiri," jawab Rafael santai.

Akhirnya selesai juga, bingkisan yang diberikan untuk anak-anak dari seorang donatur yang menitipkannya pada Agatha, tidak butuh waktu lama untuk membagikan bingkisan itu pada mereka, karena mereka begitu antusias dan dengan segera semuanya berkumpul dan menyambut bingkisan yang dibawa oleh Agatha.

Sebetulnya isinya tidak mahal, tapi makna dibalik ketulusan hati dan manfaatnya untuk mereka itu yang sangat berarti sekali.

Begitu selesai membangikan bingkisan untuk anak-anak itu, sesuai dengan janjinya pada Rafael untuk membicarakan lagi masalah pembangunan Sanggar, maka Agatha segera mengajaknya pulang ke Biara.

Dengan berjalan kaki seperti biasanya, mereka bertiga menyusuri jalanan kota Yogya yang hari itu mulai meredup dan sang Surya tak begitu menyengat lagi.

***

Begitu tiba di Biara Santa Theresia, Suster Regina segera pamit meninggalkan mereka berdua di ruang tamu, suatu ruangan yang tidak terlalu besar namun nyaman dan tenang suasananya, serta penataan ruangan yang cukup mewah namun sederhana.

Agatha mempersilahkan Rafael untuk duduk di kursi ruang tamu dan mengambilkan sebotol minuman dingin dari lemari es yang ada di situ.

Tempat yang nyaman untuk bisa dibuat diskusi. Lalu Agatha mengeluarkan dari dalam tasnya beberapa lembaran kertas yang sudah dia siapkan semalam, lalu dia tunjukkan pada Rafael.

"Ini design gambar yang aku siapkan tadi malam, cuma gambar sederhana."

Rafael mengamati gambar yang ditunjukkan Agatha padanya, dengan detail dia mengamati design yang diberikan oleh Agatha pada dirinya.

"Bagus gambarnya, sederhana tapi juga detail."

"Apa kamu sendiri yang membuat rancangannya?" Tanya Rafael lagi.

"Iya, aku sendiri yang membuatnya. Aku buat sesuai kebutuhan anak-anak di Sanggar."

"Sudah pas menurut aku, di sini juga ada lapangan olahraga sama laboratorium untuk komputer dan praktikum. Bagus, nanti biar aku kasihkan ke Wiguna, biar dia kerjakan sesuai keinginan kamu."

"Terima kasih pujiannya, tapi biayanya apa tidak terlalu mahal?"

"Kamu tenang saja soal biaya, nanti biar aku yang tangguh semuanya. Karena semua ini untuk jangka panjang, jadi harus bagus biar kokoh dan bisa untuk jangka waktu yang lama."

Agatha hanya tersenyum dan mengangguk, mengiyakan ucapan Rafael.

Setelah selesai pembicaraan itu, di sela-sela obrolan mereka, terucap dari Rafael bahwa dirinya banyak belajar dari Agatha tentang kehidupan ini, Agatha mampu memberikan celah di hidup Rafael yang terkesan hampa dan kaku.

Ingin sebenarnya Rafael mengungkapkan perasaannya pada Agatha, namun bibirnya terasa terkunci dan tak kuasa mengatakan hal itu pada Agatha, tentang perasaan yang sebenarnya dia pendam.

Cukup lama mereka berbincang di ruang tamu, cerita tentang apa sajalah, dengan gaya bicara yang ramah dan lucu dari Agatha, sehingga membuat Rafael semakin betah berlama-lama di sana. Tapi yang namanya waktu pastilah berjalan dengan sempurna dan pasti.

"Besok pagi aku berangkat ke Malang," pamit Rafael pada Agatha.

Rafael duduk setengah membungkuk di sebuah sofa dengan kedua telapak tangannya yang menyatu, Rafael menoleh ke samping, menatap Agatha untuk beberapa saat.

Tatapan mata yang penuh makna. Agatha membalas tatapan itu dengan senyuman.

"Kamu hati-hati di jalan ya? Salamku untuk keluarga kamu disana," jawab Agatha.

"Orang tuaku sekarang sudah tidak di Indonesia, mereka mengurus usahanya di luar, di sini hanya ada aku sama adikku saja."

"Puji Tuhan, usahanya semakin berhasil."

"Iya, begitulah. Semua juga berkat kerja keras mereka."

Untuk sesaat mereka terdiam, dan akhirnya Rafael pamit pulang.

"Aku, pulang dulu."

Rafael melangkahkan kakinya keluar ruangan, sambil menunggu taksi online yang sudah di pesannya. Baru beberapa langkah dia melangkah, tiba-tiba Agatha memanggilnya.

"Rafael, tunggu ...."

Rafael segera membalikkan badannya mendengar Agatha memanggilnya.

"Apa?" jawabnya.

Agatha hanya melempar senyum manis buat Rafael, kata-katanya tak mampu terucap dari bibirnya. Agatha berdiri tepat di belakang Rafael.

"Kenapa?" tanya Rafael memperjelas sambil mendongakkan kepalanya.

"Terima kasih ya? Aku tak bisa membalas semua kebaikan kamu pada kami."

Kali ini giliran Rafael yang hanya melempar senyum sambil mengangguk, dia tersenyum lebar hingga membuat kedua matanya menyipit karena tarikan dari ujung bibirnya.

"Apa kamu tidak ingin menemani aku lagi duduk di taman kecil ini sambil menunggu taksi onlineku datang?"

"Sebetulnya aku ingin menemani kamu, cuma ...."

"Cuma apa?"

"Aku yang merasa risih sendiri jika kita sering terlihat berdua, tidak enak dengan yang lainnya."

"Oh ...."

"Aku masuk dulu ya? Kamu hati-hati di jalan, dan sampai ketemu lagi."

Rafael hanya mengangguk, dan kemudian Agatha menutup pintu ruang tamu itu. Walaupun dia sudah menutup pintu itu namun dia juga tidak tega melihat Rafael duduk sendiri di luar. Tanpa diketahui oleh Rafael ternyata Agatha memperhatikan Rafael dari balik tirai jendela ruang tamu, seolah-olah dia juga ikut menemani Rafael duduk di sampingnya.

Kira-kira hampir sepuluh menit Rafael menunggu di luar, baru setelah itu taksi yang dia pesan datang menjemputnya. Melihat Rafael sudah pergi meninggalkan Biara, maka Agatha segera bergegas masuk ke kamarnya.

***

Tiba di Hotel, Rafael segera menghubungi Ana Sekretarisnya. Dia menyuruh Ana memesankan tiket pesawat untuknya besok pagi. Berapa pun harganya tidak masalah bagi Rafael asalkan dia bisa pulang besok pagi.

Dengan cekatan Ana pun memesankan tiket pesawat untuknya dan dengan segera memberikan kabar pada Rafael.

"Terima kasih ya, An?" ucap Rafael di telepon.

"Iya, Pak. Sama-sama," sahut Ana.

Malam itu Rafael sangat gelisah, wajah cantik Agatha terus terbayang di pikirannya. Gaya bicaranya, kelemah lembutannya, serta cara dia bicara masih teringat jelas dalam bayangannya, terutama senyumnya yang menjadikan ciri khasnya dia.

Ingin sekali malam itu dia menelpon Agatha, namun niatnya itu urung karena tidak ada keberanian darinya. Hingga akhirnya malam pun terlewati.

Keesokan harinya Rafael segera cek out dari Hotel dan menuju ke Bandara untuk melakukan penerbangan ke Malang. Hampir 5 jam perjalanan dia tempuh, akhirnya sampai juga. Segera Rafael menuju ke kantornya begitu tiba di Bandara.

***

Sementara itu, Agatha tetap melakukan rutinitas sehari-hari yang dia lakukan seperti biasanya.

Entah mengapa hari pertama sejak kepulangan Rafael, seperti ada yang lain baginya, biasanya setiap siang Rafael selalu menemani dia sepulang sanggar.

3 hari setelah Rafael pulang, Wiguna mulai mengerjakan pembangunan Sanggar, tentunya dengan model dan design dari Agatha yang telah diberikannya pada Rafael beberapa hari yang lalu.

Bagi Agatha pembangunan Sanggar yang dilakukan oleh Rafael ini sangat membantunya dan merupakan suatu mukjizat atas jawaban dari doanya selama ini.

"Selamat pagi, Suster Aga," sapa Wiguna siang itu pada Agatha.

"Selamat pagi, Pak Wiguna," jawab Agatha.

"Maaf saya menggangu, mungkin hari ini akan dimulai proses pengerjaannya, jadi mungkin agak berisik dan kotor."

"Oh ... iya, silahkan Pak."

"Nanti rencanannya akan saya percepat pengerjaannya supaya anak-anak bisa secepatnya menempati kelas baru."

"Terima kasih banyak, Pak. Semoga lancar Pak pengerjaannya."

"Terima kasih, Suster. Karena kalau menurut Pak Rafael, kami hanya diberi waktu 6 bulan saja untuk mengerjakannya."

Agatha membalasnya dengan senyum dan anggukan kepala.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel