Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Pamit

Bab 15 Pamit

"Silakan diminum," ucap Agatha mempersilakan Rafael.

"Terima kasih."

Rafael meneguk air mineral yang diberikan Agatha padanya, rasanya begitu lega setelah ia berjalan cukup jauh dari Sanggar ke Biara.

Rasa lelah di tubuh Rafael tak mampu ia sembunyikan, ia duduk sambil merebahkan badannya di kursi. Agatha menemaninya sebagai tamu, dia duduk di depan Rafael, Agatha duduk cukup rapi dan sopan dengan kerudung abu-abu dan jubah putih, tepat menjadi pusat perhatian Rafael yang ada di depannya.

"Dua hari lagi aku mungkin sudah pulang ke Malang, besok aku terakhir disini jadi lusa pagi aku sudah berangkat, banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan."

"Benarkah? Aku mewakili Biara dan juga Sanggar mengucapkan terima kasih untuk semua kebaikan kamu yang sudah kamu berikan pada kami."

"Tidak perlu seperti itu, itu juga bantuan dari beberapa Pengusaha yang ada tergabung dalam Yayasan yang aku kelola."

"Tapi semua jika tidak melalui kamu, tidak mungkin bisa terlaksana. Hanya doa yang bisa kami panjatkan kiranya Tuhan membalas semua kebaikan kamu."

"Amin."

Obrolan mereka terhenti saat jari Rafael dengan lincah memainkan telepon genggamnya untuk memesan taksi online yang akan membawanya ke Hotel tempat dia menginap.

Tanpa banyak kata, Agatha tetap duduk di tempatnya dan memandang Rafael yang sibuk dengan telpon genggamnya.

5 menit berlalu, akhirnya selesai sudah, Rafael pamit pada Agatha dan melangkah keluar, sambil menunggunya di luar, taksi online yang dipesannya.

"Aku pamit dulu ya? Sampai ketemu besok."

"Biar aku antar sampai depan."

"Jangan, aku tahu kamu lelah. Istirahatlah saja."

"Tidak apa-apa."

Agatha mengikuti Rafael dari belakang. Lalu mereka duduk di kursi halaman depan di sebuah bangku di taman kecil di halaman Biara, sambil menunggu taksi online yang dipesan oleh Rafael.

Mereka duduk agak berjauhan, bagaimana pun juga Agatha harus bisa menjaga sikap dan tidak sembarangan bertingkah.

"Besok siang aku ke Sanggar lagi ya? Semoga kali ini tidak menggangu kamu."

"Dengan senang hati, silahkan."

"Karena besok aku terakhir disini, jadi besok aku mau tanya tentang kelanjutan proses pembangunan Sanggar."

"Iya, aku sangat berterima kasih sekali untuk bantuan kamu."

Kira-kira 5 menit mereka duduk di bangku taman itu, sebuah mobil berwarna putih masuk ke halaman Biara, mobil itu lalu memutar dan mencari tempat berhenti yang nyaman.

Si sopir membuka kaca mobilnya dan segera tanggap dengan siapa dia harus membawa penumpangnya.

"Maaf, dengan Bapak Rafael ya?"

"Iya, Saya."

Rafael langsung bergegas masuk ke dalam mobil dan mengambil posisi duduk di belakang. Dia melambaikan tangannya pada Agatha sebagai tanda pamit padanya.

Agatha menganggukkan kepalanya, sebagai bentuk penghormatan pada Rafael dan balasan untuknya.

***

Begitu mobil yang membawa Rafael pergi dari pandangan Agatha, dia pun segera bergegas masuk dan meninggalkannya.

Suster Regina yang sedari tadi mengawasi mereka dari dalam tanpa sepengetahuan mereka, segera menghampiri Agatha dan berjalan di samping Agatha yang bersiap menuju ke kamarnya.

"Pak Rafael itu masih lajang ya, Suster?"

"Iya," jawab Agatha sambil menganggukkan kepalanya.

"Pacar apa juga tidak punya?"

"Saya kurang tahu, Suster. Besok biar saya tanyakan ya?" goda Agatha pada Suster Regina.

Suster Regina lalu ketawa mendengar candaan Agatha.

"Memang kenapa? Suster naksir sama Rafael," canda Agatha lagi pada Suster Regina.

"Hahaha ... Bukan begitu Suster Aga, kan aneh saja, laki-laki setampan dan sekaya Pak Rafael belum punya pasangan, paling tidak pacar lah."

"Ya ... mungkin sudah ada cuma kita kan tidak tahu."

"Tapi dari sikapnya pada Suster Aga sepertinya lain, dari cara dia memandang juga lain. Hati-hati lho Suster Aga, itu godaan duniawi."

"Hahaha ... Suster bisa saja," jawab Agatha sambil berlalu menuju ke kamarnya.

***

Agatha melakukan rutinitasnya sehari-hari, malam itu dia mencoba membuka kembali laptopnya dan coba-coba iseng membuat sendiri rancangan dan design sederhana untuk Sanggar Tinta Emas yang diasuhnya.

Dia mulai otak Atik dengan karyanya, dan rencana besok akan dia serahkan pada Rafael di hari terakhir dia di Yogya.

Beberapa jam dia bergelut dengan laptopnya sampai akhirnya dia benar-benar menemukan sesuatu yang dianggapnya pas untuk bangunan Sanggar. Bukan suatu gambar yang istimewa dan bagus seperti layaknya seorang arsitek, namun hanya bangunan dan design yang sederhana saja yang dia buat. Karena rencananya, Sanggar itu akan dibuat sekolah gratis oleh Rafael dan diperuntukkan untuk anak-anak yang kurang mampu.

Malam yang indah dengan cahaya bintang dan bulan, menjaganya semalaman, hingga waktu berlalu begitu saja tanpa ada yang menghalanginya.

***

Rutinitas pagi dan aktivitas sehari-hari yang dia kerjakan pagi ini seperti biasanya, Agatha tiba di sanggar seperti biasanya dan melakukan aktivitasnya pada anak-anak sanggar.

Hari ini dia sangat disibukkan dengan kegiatannya hingga tak terasa siang pun telah tiba. Begitu tiba siang dan jam pulang untuk mereka, anak-anak pun segera bergegas pulang. Namun hari ini ada sesuatu yang berbeda dengan biasanya. Agatha menerima beberapa sumbangan dari seorang donatur yang rencananya akan dibagikan pada anak-anak sanggar. Isinya berupa alat tulis dan sedikit makanan ringan. Jumlahnya tidak banyak tapi lumayan berat jika dibawa sendirian.

Siang itu sesuai dengan janjinya, Rafael datang menemui Agatha yang masih sibuk dengan bingkisan yang akan dibagikan pada mereka.

"Selamat siang, semoga aku tidak menggangu," ucap Rafael memberi salam pada Agatha.

Dengan ramah, Agatha menjawab salam dari Rafael, "Hai ... Selamat siang juga. Ayo masuk!"

"Sepertinya kamu sibuk ya?"

"Tidak juga, cuma ini tadi ada donatur yang memberi bingkisan buat anak-anak rencananya mau aku bagikan siang ini di traffic light yang kemarin kita lewati itu."

"Apa mau aku bantu?"

"Wah iya, dengan senang hati."

Rafael membantu Agatha dan Suster Regina untuk mengemasi bingkisan yang sedianya akan dibagikan pada anak-anak jalanan yang ada di traffic light.

"Oh iya, semalam aku sudah susun design sederhana semampuku untuk bangunan Sanggar, nanti kamu periksa lagi ya?" Celetuk Agatha sambil mengemasi bingkisan.

"Iya," jawab Rafael sambil mengangguk.

"Atau lebih bagusnya nanti setelah ini kita bicarakan saja di Biara biar lebih jelas."

Rafael hanya membalasnya dengan anggukan kepala dan senyum tipis pada Agatha.

Tak berapa lama setelah semuanya selesai, mereka bertiga segera membawanya untuk dibagikan pada anak-anak yang biasanya berkumpul di traffic light. Karena barang yang mereka bawa lumayan banyak, akhirnya Agatha memutuskan untuk naik angkot menuju ke tempat mereka dan bukan lagi jalan kaki seperti biasanya. Walaupun sebenarnya bagi Rafael itu suatu hal yang tidak lazim dia lakukan, seorang bos besar suatu perusahaan harus naik angkot dan panas-panas di jalan, tapi demi seorang yang dia cintai apapun juga dia lakukan. Dengan sedikit bergumam dalam hatinya, Rafael mengikuti juga ajakan dari Agatha.

***

Tiba di lokasi, Agatha sudah disambut oleh anak-anak yang ada di traffic light, mereka menyambut Agatha dengan sukacita.

"Suster ... Suster Aga ...," teriakan anak-anak itu begitu antusias menyambut kedatangan Agatha.

"Hallo, Syahrul, Rani, Bagas, Pram ...," sahut Agatha sambil memeluk anak-anak itu.

Agatha memang serasa idola buat mereka, walaupun disitu juga ada Suster Regina namun perlakuan mereka berbeda pada Agatha.

"Ini bingkisan buat kalian, jangan berebut ya? gunakan dengan sebaik mungkin."

Lalu Agatha membagikan bingkisan itu satu per satu pada mereka, dan dibantu dengan Rafael dan Suster Regina.

Anak-anak itu nampak sangat bahagia dengan bingkisan yang diberikan oleh Agatha pada mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel