Bab 14 Mengaguminya
Bab 14 Mengaguminya
"Bagaimana, Pak Rafael? apa masih ada yang perlu ditambahkan lagi?" Pak Wiguna bertanya pada Rafael sambil mengemasi berkas-berkasnya.
"Mengenai pengerjaannya bagaimana, Pak Wiguna?" tanya Rafael.
"Mungkin minggu depan sudah mulai saya kerjakan, nanti akan saya kirim gambar rancangan ke emailnya Pak Rafael, baru setelah itu akan langsung saya kerjakan."
"Ok, Ok, Pak, saya tunggu secepatnya. Nanti begitu cocok dengan designnya akan saya transfer pembayaran pertamanya."
"Masalah itu bisa diatur nanti, Pak."
Sesaat pembicaraan mereka berhenti sejenak.
"Ada lagi, Pak Rafael?" tanya Wiguna.
"Sepertinya masih belum ada tambahan, pak. Nanti kalau ada perubahan saya akan segera menghubungi Pak Wiguna secepatnya, mungkin saya juga perlu diskusi lagi dengan Suster Agatha sebagai pengelola di Sanggar ini," Rafael membalasnya dengan tegas tapi ramah, dengan kedua tangannya di masukkan ke dalam kantong celananya.
Badan yang tinggi dan berat badan yang ideal serta kulit yang putih, membuat Rafael nampak terlihat gagah dan bersahaja, setiap orang yang memandangnya pasti langsung bisa menebak kalau dia dari kelas berada, ditambah lagi dengan pakaian dan barang-barang yang ia kenakan juga terlihat mewah dan bagus.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, dan terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan pada saya." Wiguna lalu melangkah keluar menuju mobilnya dan meninggalkan Sanggar.
Kini tinggal mereka berdua yang ada disana. Karena Suster Regina sengaja pulang lebih awal karena tahu kalau Agatha masih ada urusan dengan Rafael.
Agatha segera mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas kain bergambar Bunda Maria, dari barang yang dipakainya saja sudah terlihat dia seorang yang taat. Sambil mengemasi barang-barangnya, Rafael terus memperhatikan Agatha yang begitu cantik secara alami, dan juga kebaikan hatinya, semua yang melekat pada diri Agatha telah menarik perhatian Rafael. Rasa cinta yang dimiliki Rafael tak mampu dia singkirkan dari hatinya, walaupun dia tahu semua itu tidak mungkin.
Agatha merasa dirinya ada yang memperhatikan, tiba-tiba dia mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Rafael.
Rafael terus menatap wajah itu, sesaat mereka saling pandang satu sama lain.
"Rafael ...."
Rafael sempat hanya diam saat Agatha memanggilnya, dan terus terbuai dengan kecantikan Agatha, sampai akhirnya Agatha memanggilnya untuk yang kedua kalinya.
"Rafael, apa kamu mendengarkan aku?"
"Hah, iya. Maaf, aku ...," Rafael menjawab panggilan Agatha seperti orang yang ketangkap basah sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Apa ada yang salah dengan diriku ya?"
"Oh, bukan ... Bukan. Aku tidak ada maksud apa-apa."
"Lalu, kenapa kamu melihat aku seperti itu?"
"Aku cuma kagum saja sama kamu."
"Maksudnya?"
"Kamu baik, sabar, cerdas dan juga cantik, maaf jika kata-kataku yang terakhir menyinggung, tapi memang itu kenyataannya."
Rafael mendekati Agatha, tatapannya kali ini betul-betul sangat dalam, dekat sekali kedua pandang itu saling bertatap, tatapan mata Rafael kali ini bukan tanpa arti, seolah tatapan matanya mengungkapkan perasaannya pada Agatha selama ini.
Agatha juga menatap wajah Rafael, tapi tatapan wajar seorang sahabat.
"Kamu cantik sekali, Agatha. Sangat istimewa," Rafael berucap lirih di depannya.
Agatha hanya tersenyum, senyum manis yang sangat berarti bagi Rafael.
"Hai ... Rafael, kamu tahu kan aku siapa?"
"Aku tahu kamu Suster Agatha kan?" jawabnya dengan tertawa.
"Lalu, apa ada yang salah jika aku mengagumi kecantikanmu?" lanjut Rafael lagi.
"Hahaha ... Sudahlah, ayo pulang," ucap Agatha mengalihkan pembicaraan sambil tertawa lebar.
Agatha berjalan keluar kelas, dia mengunci semua pintu ruangan lalu berjalan dan pelan-pelan menghilang meninggalkan Sanggar, diiringi langkah Rafael di sampingnya.
Dengan menggantungkan tas kain bergambar Bunda Maria di pundaknya, nampak kesederhanaan yang melekat pada dirinya, sifat yang rendah hati dan juga berjiwa penolong, sungguh suatu pribadi yang sangat bertolak belakang dengan Rafael, yang senang dengan kemewahan dan kesempurnaan dan ingin selalu unggul di antara semuanya.
Kali ini kedua kalinya dia berjalan kaki lagi dengan Agatha sepulang dari Sanggar. Yang kedua ini nampaknya sudah tidak membuat Rafael kaget lagi, dia mulai menyesuaikan dengan kebiasaan Agatha.
Mereka berjalan diatas trotoar jalan, dan menyusuri sepanjang jalanan kota, langkah demi langkah di tetapkan dengan pasti, sang Surya perlahan mulai tak terasa panasnya hanya cahayanya yang sedikit agak menyilaukan mata. Diam dan terkesan sedikit agak kaku, sesekali mereka hanya saling melempar senyum.
Rafael tahu kalau Agatha nampak kelelahan, dia tak tega dan menawarkan dirinya untuk membawakan tasnya.
"Kamu sepertinya lelah, biar aku bawakan tas kamu."
Agatha lagi-lagi hanya melempar senyum dan cuma gelengan kepala yang mewakili jawabannya.
Agatha terus berjalan dan melangkah menyusuri indahnya kota Yogya, sampai akhirnya langkahnya pun terhenti pada suatu pemandangan yang baginya sangat istimewa.
Agatha berhenti di persimpangan traffic light, disana banyak sekali anak-anak jalanan, mereka ada yang mengamen, membersihkan kaca mobil dan juga ada yang berjualan. Anak-anak itu berlari menghampiri Agatha sambil memanggil manggil namanya.
"Suster ... Suster Aga ...," sahut mereka bergantian.
Agatha melempar senyum lebar dan ramah pada mereka, anak-anak itu segera memeluk Agatha dengan senangnya, Agatha bagaikan idola di mata mereka. Agatha balas memeluk mereka yang identik dengan bau badannya yang khas. Bau debu, keringat, tubuh yang dekil dan pakaian yang kotor, semua yang jorok rasanya menempel khas di tubuh anak-anak itu, namun tidak buat Agatha, baginya semuanya itu tidak berlaku. Dalam pandangannya, mereka tetap anak-anak yang lucu dan polos, yang selalu memberi warna dalam hidupnya. Agatha sangat menyayangi mereka.
"Hai ... Kalian belum pulang ya? ini kan sudah mau sore?" Agatha menyapa anak-anak itu dengan ramah sambil memeluknya.
"Iya, Suster. Sebentar lagi kami mau pulang," jawab salah satu dari mereka.
"Kalau begitu Suster Aga pulang dulu ya anak-anak?"
"Da ... Da ... Da ... Suster Aga!"
Dengan riang dan ceria anak-anak itu membalas sapaan dari Agatha.
Rafael dan Agatha melanjutkan lagi perjalanan mereka ke Biara dengan berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan.
"Kamu baik ya sama mereka? Anak-anak juga kelihatannya sayang sekali sama kamu," celetuk Rafael sambil melangkahkan kakinya.
"Iya begitulah. Aku melihat anak-anak itu bukan sebagai anak-anak yang biasa, namun aku melihat Allah hadir dalam wujud anak-anak itu, yang harus aku sayangi dan aku jaga. Itu semua anak-anak yang ada di sanggar, jadi kami sudah sangat akrab sekali," Agatha menjawab pertanyaan dari Rafael.
"Apa kamu tidak jijik melihat mereka? Kotor, bau, ya begitulah."
"Pada dasarnya semua manusia itu kotor dan bau, perbuatan kitalah yang bisa merubah itu semua. Jadi buat apa aku mesti jijik dengan anak-anak itu, bukankah Allah hadir disana?"
Rafael terdiam dengan jawaban Agatha, seperti kehabisan kata-kata untuk bisa membalasnya.
Agatha melempar senyum kearah Rafael. Senyum yang selalu membuat Rafael gelisah jika mengingatnya
***
Tak terasa akhirnya tiba juga mereka di Biara. Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan bagi Rafael.
Agatha mengajaknya untuk singgah sebentar di Biara dan menyuruhnya beristirahat sejenak sambil melepaskan lelah.
"Silahkan duduk dulu, biar aku ambilkan minum."
"Terima kasih ya?"
Agatha lalu berjalan mengambilkan Rafael segelas air mineral dan mempersilahkan dia untuk duduk di ruang tamu. Setiap gerak dan laku dari Agatha selalu menjadi perhatian Rafael, dan itu semua tanpa sepengetahuan Agatha kalau Rafael begitu mengaguminya.
