Bab 13 Tatapan Mata dan Kesombongan
Bab 13 Tatapan Mata dan Kesombongan
Suasana di Sanggar pagi ini begitu ramai, anak-anak kebetulan hari ini banyak yang datang, kegiatan di Sanggar tidak terikat dengan jam, kadang jika selesai mengamen, anak-anak suka datang ke Sanggar, kalau setiap hari jumlah mereka semakin banyak, lama-lama Sanggar tidak akan bisa menampung jumlah mereka.
Wajar saja jika setiap hari jumlah mereka semakin banyak, karena di Sanggar tidak pernah ditarik biaya untuk kegiatan mereka dan sepenuhnya gratis, termasuk biaya untuk pengajar pun juga gratis, Suster Agatha dan Regina yang mengajar pendidikan mereka.
Bayangkan jika jumlah mereka setiap hari semakin banyak apa mampu mereka mengajar siswa segitu banyaknya.
Masalah infrastruktur seperti bangunan dan sebagainya sudah mendapatkan donatur dari Yayasan tempat Rafael berada.
Sepertinya hari ini Agatha nampak sangat kelelahan dengan jam mengajarnya, suaranya sayup-sayup terdengar semakin melemah. Dia tak sanggup lagi berteriak keras di dalam kelas untuk menyampaikan materi pada mereka. Dia mencoba memberikan pesan dan materi dengan menulisnya di papan tulis.
Walaupun jumlah mereka sangat banyak namun mereka sangat bisa di kondisikan dengan keadaan yang ada, meskipun anak-anak itu berasal dari jalanan namun sikap mereka bisa di bentuk oleh Agatha, mereka sangat menghormati dan menyayangi sekali pada seorang Agatha yang dianggap penting dalam hidup mereka. Hanya satu yang nampak berbeda jika melihat mereka, yaitu tubuh dekil, kotor dan bau, itu yang selalu tidak pernah lepas dari identitas mereka.
Saat Agatha menulis di papan tulis, tanpa sepengetahuan Agatha, Rafael melihatnya dari balik jendela ruang kelas itu, dia memandang Agatha dengan sangat kagum dan penuh rasa padanya.
Memang hari ini Rafael ada janji dengan Agatha tapi siang selepas anak-anak di sanggar pulang. Tapi ini terlalu dini dia datang, masih terlalu pagi, tapi apalah daya bagi Rafael yang sudah tak mampu lagi untuk menahan rindu di hatinya.
Tanpa sengaja, Agatha menoleh ke belakang setelah menuliskan materi untuk anak-anak, tapi nampak sekilas dia melihat ada sosok Rafael di Jendela, karena Rafael memiliki postur tubuh yang tinggi, maka wajahnya nampak terlihat jelas sekali olehnya.
Sejenak pandangan Agatha berhenti pada sosok Rafael, dia tersenyum, sangat manis sekali pada Rafael, senyuman Agatha semakin membuat tidak nyaman di hati Rafael.
Tatapan mata Agatha seolah berkata, 'Tunggu ya? Aku masih mengajar.'
Rafael tahu apa maksud tatapan mata Agatha, dia lalu mengangguk dan membalas senyuman Agatha pada dirinya.
Jubah putih kombinasi abu-abu, dengan kerudung warna abu-abu juga, menambah semarak kecantikan wajah Agatha. Hari itu Rafael benar-benar kagum dibuatnya. Walaupun dia tahu tidak akan mungkin mendapatkan dirinya.
Agatha merasa tidak enak dengan Rafael yang sudah menunggunya, maka dia sempatkan untuk keluar kelas sebentar dan meninggalkan waktu mengajarnya.
"Aku, minta maaf ya? Tidak bisa menemani kamu, aku masih mengajar."
"Oh, tidak apa-apa. Aku yang salah kok, aku datang terlalu cepat."
"Tapi memang jadwal kita masih tetap siang kan? Bukan sekarang ya?"
"Oh iya, tetap siang kok. Tidak apa-apa kamu lanjutkan saja mengajarnya, biar aku tunggu di sini sekaligus menunggu kontraktor yang akan mengerjakan proyek ini."
"Terima kasih ya? Kalau begitu aku lanjutkan lagi kegiatanku."
Rafael menjawabnya dengan anggukan dan senyum untuk Agatha.
***
Hari itu, Agatha nampak tidak nyaman dengan adanya Rafael di situ, Agatha merasa canggung karena Rafael harus menunggu dirinya di sela-sela waktu mengajarnya.
Tapi ya mau bagaimana lagi dia harus melakukan tugas pelayanannya itu.
Walaupun sedikit agak canggung Agatha meneruskan tugas pelayanannya pada anak-anak.
Waktu berjalan dengan sempurna, detik demi detik terlewati dengan sangat indah. Sampai akhirnya selesai juga dia mengajar anak-anak.
Agatha menghampiri Rafael yang sudah menunggunya dari tadi.
"Maaf lama ya? pasti bosan menunggu di sini."
Rafael menoleh, dia mendapati wajah cantik Agatha berdiri di sampingnya.
"Sudah selesai ya? mungkin sebentar lagi Pak Wiguna sampai. Kita tunggu saja."
"Pak Wiguna? siapa Beliau?" Agatha bertanya pada Rafael bingung.
"Oh, Beliau Kontraktor yang aku janjikan itu."
Sambil menunggu Pak Wiguna itu datang, Rafael sibuk dengan gadgetnya, dia sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya yang sempat tertinggal karena harus ke Yogya, untuk mengurus kegiatan amalnya. Padahal sebetulnya tanpa kedatangan Rafael pun tidak masalah, dia bisa mewakilkan pada orang lain, namun dia tidak mau dan ingin menanganinya sendiri, dengan harapan dia bisa bertemu dan dekat dengan Agatha.
Sembari Rafael mengerjakan pekerjaannya, Agatha hanya duduk di sampingnya dan tanpa bersuara. Sesaat suasana menjadi hening dan sepi tanpa ada suara.
Namun hening yang dilakukan oleh Agatha bukan tanpa sebab, dia hening dan berpikir, dia memejamkan matanya sejenak pikirannya menerawang jauh kemana-mana, terbersit dalam benaknya tentang anak-anak jalanan yang diasuhnya serta program-program yang harus dia susun.
Agatha merogoh tasnya dan mengambil buku catatan serta spidol hitam, lalu dia menuliskan sesuatu di buku catatan itu mengenai program yang harus dia kerjakan dari hasil dia merenung baru saja.
***
Sebuah mobil berwarna hitam metalik, tiba-tiba masuk ke dalam halaman sanggar, siapakah yang datang hari itu? Sebuah tanda tanya besar bagi Agatha.
"Itu mungkin Pak Wiguna, Kontraktor yang aku janjikan itu," Rafael menjelaskan pada Agatha.
Ternyata memang benar, hari itu yang datang adalah Wiguna, Bos property dan juga mengurusi semua konstruksi bangunan.
Wiguna turun dari mobilnya dan melangkah mendekati Rafael. Rafael dan Agatha sudah menyambutnya dengan senyuman yang ramah pada tamunya. Wiguna sangat sopan sekali memberikan salam pada mereka.
"Selamat siang, Pak Rafael. Selamat siang, Suster Agatha," Wiguna memberikan salam pada mereka lalu mengulurkan tangannya.
"Selamat siang, Pak Wiguna," sahut Agatha membalas.
Agatha mengajak mereka masuk ke dalam kelas, lalu bahasan serius pun akhirnya dimulai.
Rafael mengungkapkan keinginannya untuk membantu pendanaan dalam karya sosial dari Agatha yang berwujud bangunan infrastruktur.
Wiguna lalu memperjelas semua rencana kerjanya, sesuai dengan arahan dari Agatha dan Rafael. Tapi Agatha yang paling berperan mengenai bentuk konstruksi yang dia harapkan.
Setelah beberapa jam terlewati untuk membicarakan hal ini, maka pada akhirnya tercapai sudah keputusan yang diambil. Penambahan ruang kelas menjadi enam kelas dengan bangunan 2 lantai, serta ada ruang komputer untuk anak-anak, serta fasilitas sekolah yang lainnya yang dibutuhkan.
"Pokoknya saya maunya sebagus dan sekuat mungkin, Pak. Nanti masalah biaya tidak perlu khawatir biar saya dan Yayasan yang menanggungnya," Terang Rafael pada Wiguna.
"Kamu yakin dengan biaya semuanya?" potong Agatha.
"Iya, aku yakin. Dan satu lagi aku mau Sanggar ini seperti sekolah nantinya, tapi konsepnya gratis untuk mereka anak yatim piatu serta anak jalanan."
"Biaya operasionalnya bagaimana, lalu pengajarnya?"
"Untuk membiayai itu nanti biar Yayasanku yang akan mengurusnya, lalu pengajarnya kita bisa ambil dari luar dan nanti dari Yayasan juga yang akan membayar mereka."
"Wah ... Wah ... Wah ... Niat dari Pak Rafael benar-benar sangat mulia dan berhati emas, saya tidak pernah menyangka kalau Bapak semulia ini," Wiguna benar-benar memuji niat baik Rafael.
Itulah memang yang diharapkan dari Rafael, suatu kesempurnaan dari dirinya. Dia ingin bisa terlihat sempurna di hadapan orang lain, dan bukanlah kesederhanaan yang dia tonjolkan.
Agatha hanya diam dan mendengarkan semua yang diutarakan oleh Rafael, mengenai niatnya itu, bagi Agatha yang terpenting adalah kehidupan yang lebih baik untuk anak-anak Sanggar.
