Bab 12 Malioboro
Bab 12 Malioboro
"Kalau sudah selesai, ayo pulang?" Rafael mengajak pulang Agatha, karena baginya berlama-lama di sana bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Agatha melirik ke samping, melirik Rafael, Agatha tersenyum sedikit melihat raut muka Rafael yang dilipat-lipat. Terlihat sekali dia sudah tidak betah tinggal di sana.
"Kami permisi dulu ya, Pak Yusuf? Lain waktu kami akan singgah lagi kemari," Agatha pamit pada Pak Yusuf dan Istrinya yang hari itu nampak gembira sekali mendapatkan bantuan dari Rafael.
"Iya, Suster. Dengan senang hati kami akan menerima kunjungan dari Suster," Pak Yusuf mengantarkan mereka sampai di depan halaman rumah.
***
Mereka bertiga pulang dengan jalan kaki meninggalkan rumah Pak Yusuf.
"Agatha, tunggu."
"Kenapa?" Jawab Agatha menoleh.
"Kita jalan lagi ini? Aku capek, kita naik taksi saja ya?" Ajak Rafael geram.
Agatha menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, menandakan menolak ajakan Rafael, karena menurut Agatha jarak rumah Pak Yusuf ke Biara lumayan dekat jadi cukup dengan jalan kaki saja sudah sampai. Apalagi seorang Biarawati memang diharuskan untuk selalu hidup sederhana tidak bermewah-mewah.
Malam itu kebetulan mereka melewati jalan Malioboro, seperti biasanya jalan Malioboro tidak pernah sepi dari para pedagang, baik pedagang kaki lima maupun toko-toko besar, juga penjual makanan dan sebagainya, ramai terus dan juga sangat terkenal, entah dari dalam negeri maupun luar negeri.
"Ini kan Malioboro. Kita mampir sebentar ya?" Rafael mengajak Agatha untuk singgah sebentar di Malioboro.
Wajah memelas dan memohon, serta tatapan mata yang berharap agar Agatha mau menerima ajakannya malam itu.
Agatha dan temannya Suster Regina hanya saling pandang, seolah mereka bingung dengan apa yang harus mereka lakukan dengan ajakan Rafael, mereka adalah seorang Biarawati yang harusnya menjadi panutan semua orang, tidak wajar jika harus jalan dengan seorang laki-laki apalagi di waktu malam seperti ini. Belum lagi kalau sampai Suster Kepala tahu dengan peristiwa ini. Bisa jadi masalah besar buat mereka.
Tapi melihat wajah memelas Rafael pun, dia juga tak sanggup.
"Mau ya? Aku mohon, mau ya? Menemani aku malam ini?" Rafael terus memaksa dan sampai akhirnya Agatha tidak tega dan mau tidak mau harus berkata iya pada ajakan Rafael.
"Yes," jawab Rafael untuk meluapkan kegembiraanya atas jawaban Agatha.
Malam itu di sepanjang jalan Malioboro mereka berjalan bertiga, Rafael jalan di samping kanan Agatha sedangkan Suster Regina di sebelah kiri Agatha, Rafael berbicara kesana kemari, entah apa yang dia bicarakan tidak jelas, asalkan dia bisa dekat saja dengan Agatha.
Dalam hati Rafael ingin sekali malam itu dia memegang tangan Agatha yang ada di sampingnya itu, tangan lembut yang tak akan pernah bisa dia raih sampai kapanpun dan hal yang sangat mustahil baginya.
Padahal bagi seorang Rafael tidaklah sulit untuk mendapatkan ribuan gadis cantik manapun yang dia inginkan, tapi perasaannya pada Agatha ini berbeda dari perasaannya pada gadis manapun yang pernah dia kenal. Rafael sendiri juga bingung dengan perasaan yang dialaminya saat ini, asal bisa dekat saja dan di samping Agatha dia sudah bahagia.
"Seandainya saja malam ini aku bisa menggandeng tangan kamu," ucap Rafael lirih sekali dan hampir tak terdengar.
"Rafael, yang kamu bilang barusan apa? aku tidak dengar," Agatha menyahut ucapan Rafael.
"Oh, tidak. Bukan apa-apa, aku cuma ... cuma ... Sudahlah, tidak penting juga," Rafael menjawabnya dengan sedikit gugup.
Rafael tak berani melanjutkan ucapannya yang tadi, antara takut dan malu jika mengucapkannya lagi. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan dengan tiba-tiba mengajak makan Agatha.
"Kita makan dulu ya?" Rafael mengajak Agatha makan di sebuah rumah makan yang lumayan bagus dan bersih di daerah Malioboro.
"Sepertinya sudah malam, kami langsung pulang saja ya? Mungkin lain waktu saja."
"Jangan ... Jangan ... Sekarang saja ya? Aku mohon kali ini saja, nggak lama kok. Lagipula dari tadi aku lihat kalian juga belum makan kan?"
Karena Rafael terus saja memohon padanya, akhirnya Agatha pun luluh, dan lagi-lagi dia tidak tega melihat Rafael.
***
Rafael memesan beberapa makanan untuk mereka, entah dimakan atau tidak dia pesan saja beberapa menu yang ada di sana. Bagi dia berapa pun harganya tidak masalah.
Agatha dan Suster Regina mulai menikmati makanan yang disajikan di meja itu, hanya sayur dan nasi saja yang mereka makan malam itu, sedangkan daging, ikan dan lainnya tak tersentuh olehnya.
"Kenapa kalian hanya makan sayur dan nasi saja? Ini daging, ikan kenapa tidak di makan?" Rafael bertanya dengan sedikit heran.
"Maaf, Pak. Kami tidak makan daging, kami vegetarian dan cuma makan sayur saja," Suster Regina menjelaskan pada Rafael malam itu.
"Oh ... Begitu ya? Maafkan saya."
Agatha dan Suster Regina hanya mengangguk pelan sambil tersenyum pada Rafael.
Malam itu mereka menikmati makan malam di sebuah rumah makan yang di jamu oleh Rafael. Sesekali Rafael mencuri pandang pada Agatha, tanpa di ketahui olehnya. Tatapan mata Rafael begitu penuh arti, seperti sebuah kerinduan yang teramat sangat, namun tak mampu dia ungkapkan.
Walaupun sikap Rafael itu tidak diketahui oleh Agatha namun Suster Regina berkali-kali memergoki sikap Rafael yang selalu mencuri pandang pada Agatha, namun perasaan curiga itu cepat-cepat ia tepis dari pikirannya dan membuangnya jauh-jauh.
Agatha tidak menyadari semua itu, dia hanya bersikap biasa-biasa saja pada Rafael dan menganggap dia hanya sebagai teman.
Setelah selesai menikmati hidangan makan malam, Agatha dan Suster Regina mohon pamit pada Rafael dan mengucapkan terima kasih atas jamuan makan malam yang sudah diberikan padanyanya.
"Kami permisi dulu ya?"
"Kita pulang sama-sama saja, biar aku pesankan mobil untuk kita."
"Terima kasih, kita jalan kaki saja, lagi pula juga dekat."
"Jangan, ini sudah malam. Lagipula 5 menit lagi mobilnya datang, saya sudah pesankan barusan."
Lagi-lagi Rafael memaksa mereka untuk menuruti apa yang menjadi keinginan Rafael. Mereka tidak bisa menolak dan memang benar tidak sampai 5 menit mobil yang dipesan oleh Rafael sudah datang.
Rafael mengantarkan mereka pulang terlebih dahulu ke Biara baru setelah itu Rafael langsung pulang ke hotel tempat dia menginap.
***
Akhirnya tiba juga di Biara, Agatha dan Suster Regina segera turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Rafael.
"Terima kasih banyak ya?" ucap Agatha sambil menundukkan kepalanya.
"Sama-sama, jangan lupa ya, besok siang jam 1 kita ketemu lagi di Sanggar."
Agatha hanya tersenyum dan mengangguk sambil melambaikan tangannya.
Mereka melangkah masuk ke dalam Biara dengan hati yang was-was karena terlalu malam kegiatan yang mereka lakukan malam itu.
"Akhirnya selesai juga kegiatan kita hari ini ya, Suster?" ucap Suster Regina.
"Iya, puji Tuhan ya Suster, semuanya berjalan lancar termasuk donatur dari Rafael tadi yang sempat membuat saya sangat terkejut."
"Iya, benar. Saya juga sempat terkejut tadi. Tapi ngomong-ngomong tadi waktu makan tahu tidak Suster Aga, kalau Pak Rafael sering-sering mencuri pandang sama Suster Aga?"
"Hah ... Rafael? Tidak mungkin lah dia seperti itu, lagi pula dia kan tahu siapa saya sekarang."
"Benar juga sih."
"Sudahlah, Suster. Ayo segera masuk ke kamar, takutnya nanti Suster Retha tahu kalau kita pulang terlalu malam."
Dengan buru-buru, mereka segera masuk ke kamarnya masing-masing, hingga malam itu melewati masanya dan bulan dan bintang yang menjaga mereka malam itu.
