Bab 11 Peduli Kasih
Bab 11 Peduli Kasih
"Tapi ... tidak apa-apa kok aku nunggu aja di luar."
"Jangan kamu keraskan hatimu, paling tidak masuklah sebentar hargai Pak Yusuf."
Rafael hanya diam, dia memandang Agatha dalam, tapi pada akhirnya Rafael masuk juga ke dalam, lalu duduk di kursi kayu yang disediakan oleh Pak Yusuf, sang pemilik rumah.
Walaupun nampak seperti orang jijik duduk di kursi itu tapi dia akhirnya duduk juga karena permintaan dari Agatha. Dengan menyibukkan dirinya, Rafael menghubungi sekretarisnya malam itu, padahal itu sudah di luar jam kerja, tapi yang namanya Rafael dia tetap keras kepala untuk menghubungi Ana, sekretarisnya itu.
'Kemana ini Si Ana, kenapa sulit sekali dihubungi,' Rafael terus bergumam dalam hatinya.
Ana tahu kalau itu Bosnya yang menghubunginya, dia sengaja memang tidak mengangkat telepon genggamnya.
Dengan sedikit agak kesal Rafael akhirnya menutup telepon genggamnya.
***
Tak lama kemudian keluarlah Agatha, Suster Regina juga Pak Yusuf dan Istrinya dari dalam rumahnya. Mereka duduk bersama di ruang tamu bersama juga dengan Rafael. Mereka membicarakan mengenai kehidupan perekonomian Pak Yusuf yang pas-pasan. Rafael hanya duduk mendengarkan obrolan mereka yang bagi dia sangat tidak menarik dan tidak penting.
"Belakangan ini usaha kami juga agak sepi, Suster. Hasilnya paling bisa untuk makan saja sudah mendingan, belum lagi untuk biaya sekolah anak-anak dan lainnya," Pak Yusuf bercerita pada mereka.
"Sabar ya, Pak. Kita sama-sama mendoakan untuk kehidupan Pak Yusuf supaya bisa membaik dan bisa maju," Agatha menyahut pembicaraan Pak Yusuf.
"Seandainya saya dulu tidak mengalami kecelakaan itu, mungkin saya masih bisa kerja di pabrik, Suster. Tepi karena kecelakaan itu akhirnya kaki saya ini tidak bisa berjalan lagi dengan maksimal."
"Setiap kejadian pasti ada Rencana Tuhan yang indah, Pak. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha saja, semoga kebaikan Tuhan segera terwujud di keluarga kecil Pak Yusuf."
"Iya, Suster Aga. Terima kasih buat doa dan semangatnya pada kami."
"Doakan kami juga, Suster, supaya kami bisa buka warung makan kecil-kecilan, agar tidak tergantung terus sama jualan kacang dan kerupuk. Cuma kami ini terbatas dengan modal yang tidak ada Suster," Istri Pak Yusuf itu tiba-tiba memotong pembicaraan mereka.
"Kira-kira berapa modal yang dibutuhkan?" tanya Suster Regina.
"Mungkin 1 juta, Suster. Bagi kami uang sebanyak itu adalah hal yang mustahil untuk bisa kami dapatkan, paling sehari keuntungan kami hanya puluhan ribu saja."
Agatha lalu berpikir dalam hatinya, siapa tahu orang tuanya mau membantu keluarga Pak Yusuf dengan membantunya memberikan uang 1 juta padanya, karena kalau dia sendiri sudah pasti tidak mungkin punya uang sebanyak itu, seorang Biarawati tidak mungkin memiliki harta atau apapun itu. Tapi bagi Ayah Agatha mungkin uang sebanyak itu tidaklah sulit dan bernilai sedikit, karena memang Ayah dari Agatha adalah seorang yang kaya dan terpandang di kotanya. Tapi niatnya itu baru dalam angan-angan saja tidak dia sampaikan ke Pak Yusuf, karena dia takut kalau nanti dia sampaikan sekarang, belum tentu juga ayahnya mau untuk membantunya, bisa jadi sebaliknya.
"Kalau begitu, mari kita doa saja sama-sama, Pak. Buat kelancaran usaha Bapak dan keluarga," Agatha mengajak mereka semua yang ada disitu untuk berdoa sama-sama termasuk juga Rafael.
Sebetulnya Rafael malas untuk ikut doa-doa semacam itu, tapi situasinya terjepit saat ini, apalagi Agatha yang mengajaknya. Dia juga harus jaga image di depannya Agatha.
Dia merasa kaku untuk melakukan doa-doa semacam itu, karena walaupun dia seorang Katolik namun ritual yang dilakukannya hanyalah pergi ke Gereja setiap hari Minggu setelah itu selesai lalu pulang dan itu pun juga tidak setiap Minggu dia lakukan.
Semua tertunduk dan memejamkan mata lalu berkonsentrasi pada doa yang dipimpin oleh Agatha malam itu.
Tapi tidak dengan Rafael walaupun semua konsentrasi pada doa, dia tetap saja berdiam duduk di tempatnya tapi tidak mengikuti doa, hanya diam dan mendengarkan setiap doa yang diucapkan oleh Agatha.
Entah kenapa dalam doa-doa yang diucapkan oleh Agatha bisa menyentuh perasaan iba Rafael pada Pak Yusuf. Tapi namanya Rafael walaupun iba tapi hatinya tetap keras, ego yang terlalu tinggi dan rasa empati yang kurang.
Dalam doanya itu, Agatha sungguh-sungguh mendoakan untuk kehidupan Pak Yusuf, dari setiap kata-katanya begitu sangat menyentuh bagi yang mendengarnya. Itu juga yang didengar oleh Rafael, dia tersentuh dengan ketulusan Agatha yang peduli dengan sesamanya.
Beberapa menit berlalu dalam doa, akhirnya selesai juga. Agatha dan Suster Regina pamit pulang pada keluarga Pak Yusuf. Mereka melangkah keluar rumah untuk melanjutkan lagi rutinitas mereka.
Tapi baru saja mereka hendak melangkah ke luar rumah, tiba-tiba ucapan Rafael mengejutkan mereka,
"Tunggu ...."
Agatha dan Suster Regina menoleh ke arah Rafael. Mereka melihatnya heran.
"Apa?" tanya Agatha.
"Apa aku boleh membantu mereka?" Rafael bertanya pada Agatha didepan Suster Regina dan juga Pak Yusuf.
"Membantu apa maksud kamu?"
"Membantu memberikan mereka modal untuk bisa berjualan."
Seketika Agatha terkejut dengan niat baik Rafael yang begitu mulia, Agatha sampai melongo dibuatnya.
"Kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu sampaikan? Aku tidak salah dengar ya?" tanya Agatha lagi meyakinkan dirinya.
"Tidak, kamu tidak salah dengar. Aku memang niat ingin membantu."
Lalu Rafael buru-buru mengambil dompetnya dari saku belakang celananya. Rafael mengeluarkan uang ratusan ribu dari dalam dompet kulitnya, yang sudah pasti dompet yang dipakai pun juga dari merk terkenal dan mahal.
"Ini ... 1,5 juta," Rafael mengeluarkan uang lembaran 100 ribuan senilai 1,5 juta lalu memberikannya pad Pak Yusuf.
Awalnya dia bingung untuk menerimanya, dia bingung karena tidak mengenal Rafael dan ditambah lagi uang segitu banyaknya dia tidak pernah megang.
"Ini ... ayo ambil, tidak apa-apa ambil saja," Rafael memaksa Pak Yusuf untuk menerima uang pemberiannya. Ia mengulurkan tangannya ke Pak Yusuf sambil memegang uang itu.
Dengan gemetaran, Pak Yusuf pun akhirnya menerima uang pemberian Rafael itu, dan seketika itu Pak Yusuf dan istrinya tersungkur di bawah kakinya Rafael. Agatha dan Suster Regina terpaku melihat pemandangan itu.
"Sudah, jangan seperti ini, saya tidak suka. Lagipula uang segitu tidak masalah buat saya," dengan wajah congkaknya dia mengatakan itu. Lalu Pak Yusuf dan Istrinya pun bangkit berdiri.
"Terima kasih ya Rafael kamu sudah peduli pada kami, bantuan kamu sangat berarti buat Pak Yusuf dan keluarganya," dengan wajah tersenyum dan bahagia Agatha mengatakan itu pada Rafael.
"Terima kasih banyak Pak Rafael, uang ini sangat berarti buat saya dan keluarga. Ini terlalu banyak pak untuk rencana kami berjualan."
"Sudah, tidak apa-apa. Sisanya bisa kamu pakai untuk keperluan lainnya."
"Terima kasih pak! Terima kasih banyak, Bapak sudah membantu kami, kami tidak bisa membalas semua kebaikan Bapak, tapi kami akan selalu berdoa buat Bapak, biar Tuhan yang membalas semua budi baik Pak Rafael pada kami."
"Itu memang rencana Tuhan yang luar biasa buat Bapak, yang kami semua juga tidak menyangkanya ternyata Pak Rafael yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan," ucap Agatha penuh kasih.
"Iya, Suster Aga benar. Tuhan telah menjawab doa kita barusan, dengan mengutus Pak Rafael."
Rafael biasa saja mendengar ucapan dari mereka dan cenderung tidak peduli. Bagi Rafael uang segitu tidak ada artinya, mungkin harga sewa hotelnya saja per malam bisa lebih dari itu.
