Bab 4
"Urusan Anggar tak pernah sekalipun menarik di mataku." Ujarku tanpa riak, tanpa emosi, dan tanpa ekspresi.
Aku sengaja menekan setiap kata bahkan memainkan intonasi setiap kalimat yang ku lontarkan, aku tahu Anggar mendengar semua. Kalau Anggar sakit hati itu akan sebanding dengan semua yang telah ku alami selama ini.
"Kamu..." Wanita itu mengacungkan jarinya ke wajahku.
Aku menahan tanganku lagi ke arahnya, mencegah wanita itu bicara.
"Saran ku, kalau kamu menyukai seseorang, jangan bertindak murahan di depannya, walau keadaanmu lemah sekalipun. Ku rasa Anggar tak suka wanita agresif dan genit, apalagi sekedar pura - pura lemah." soal ini aku menebak saja sih, gimana dia mau peduli sama yang pura - pura, yang beneran dalam posisi membutuhkan sandaran sepertiku ketika Umi pergi saja dia tak peduli.
"Kamu salah, Alika." Hanya seorang saja yang menyebut namaku seperti itu dan orang itu adalah Anggar.
"Aku tak peduli, Anggar." Jawabku sambil mengibaskan tangan.
"Tidak seperti itu, Alika." Tekannya lagi dengan aksen yang kentara bahwa dia hampir putus asa menghadapi diriku. Suara bassnya pernah beberapa bulan akrab di pendengaran ku, memang enak di dengar. Untungnya tidak memberikan efek apapun padaku.
"Tak masalah, aku memang tak pernah mengenalmu." Sahutku mungkin menyebalkan baginya.
"Kamu masih istriku." Tekannya lagi, dan aku tak peduli.
"Kamu merobek surat cerai itu." Sunisku padanya.
"Kamu terganggu dengannya, Alika" Anggar menunjuk Rania dengan matanya. Aku mendengus lalu tanpa bisa ku tahan tertawa tak percaya akan tuduhannya.
"I don't care, kalau kamu merasa makin pandai menilai ku." aku terganggu dengan Rania, jawabnya memang iya, aku terganggu dengan tatapan tak tahu malu itu. Memangnya siapa dia, apa pernah aku mengambil miliknya? Hartanya, kekasihnya? Tapi asal Anggar tahu saja, aku malah lebih terganggu dengan keberadaannya sendiri.
Segera aku sadari, berdebat dengan Anggar tak akan ada usainya. Aku tidak mau melihat wajah mereka lagi Jadi aku pergi, menjadi diriku kembali yang selalu tenang dan sendiri.
***
Sudah pukul setengah 7 saat aku terbangun. Hiruk pikuk pasar terdengar dari dalam kamar. Mencuci muka dan sikat gigi, keluar rumah membawa dompet dan melangkah untuk mencari sarapan. Tak lupa membaca pesan what'sapp dari toko emas yang juga peninggalan Umi bahwa aku perlu bertemu pemasoknya karena ingin menaruh perak dan platinum di tokoku itu.
"Mbak Alika, lontong sayur mbak?" Seseorang pedagang langganan menawariku.
"Pingin bubur yu, besok aja ya..." aku menolak dengan senyum, mereka sudah terbiasa dengan pembeli yang kadang tertarik atau tidak.
Aku pengen bubur ayam kuah soto pedes, pasti enak. Terlintas ringisan kesakitan anggar saat menggeser bahu dan kakinya. Ah, ngapain ingat si pengecut itu. Dia bukan sakit pencernaan, hanya retak tulang. Ide yang tiba-tiba menyembul di kepala untuk mengiriminya bubur itu terdengar gila.
"Mbak Alika dari mana semalem, katanya bapak, keluar ke kantor polisi?" Bu RT dalam mode kepo penuh. Dan aku maklum, Alhamdulillah, mereka nggak pernah nyinyir sampai bikin sakit hati banget.
"Iya buk, Anggar kecelakaan tadi malam."
"Loh, yang katanya nabrak rombong baksonya Cak Man itu ya?" Bu RT mulai menghayati setiap perkataan, emang risih kadang tapi lumayan menghibur.
"Nyari bubur ayam juga?" lanjutnya tatkala menyadari aku ogah bahas Anggar.
"Iya, buk."
"Ya udah makan sini aja, sama ibuk. Ibuk juga lagi males masak." Enaknya tinggal dekat pasar ini, kalau sedang malas masak seperti kami. Makanan matang tersedia dengan aneka pilihan. Harganya bersahabat, rasanya juga selera rakyat Indonesia, istilahnya murah meriah.
"Terus gimana Mas Anggar, masih ganteng nggak sih, dia?"
Oh My God, Bu RT ini.... Aku sampai tersedak teh hangat yang aku minum. Bukannya nanya dia luka malah tanya itu. Pemilik warung bubur cuma terkekeh mendengar celoteh Bu RT. Semua orang pasti tahu aku pernah menikah. Hanya saja mereka tak tahu pasti aku masih bersamanya atau sudah pisah.
"Duh, neng, nanya mantan suami eh masih suami ya, udah keselek, pelan - pelan makannya." Dasar Bu RT, ngomongnya lugu amat.
Aku tersenyum tak enak, berdehem membersihkan tenggorokan sebelum bercerita ala kadarnya bahwa harus mengantar Anggar ke rumah sakit.
"Ya sudah buk, bisa nggak saya nitip uang buat Cak Man. Buburnya biar aku yang bayar." Biasanya kalau disodirin hadiah begini, Bu RT nggak bakalan nolak.
"Bisa donk, apalagi sudah disogok gini, mbak." Bu RT tertawa. Jadi Bu RT ini menjalankan 2 Ruko yang sebagian modalnya dari Umi dulu. Jadi begitulah, nenekku emang se-eksis itu di pasar ini. Bersyukur aku tak pernah kekurangan apapun meskipun hanya tinggal berdua bersama beliau.
Setelah mandi, berganti baju yang nyaman, aku perlu duduk khidmat di depan meja kerjaku. Melihat berapa keuntungan bulan ini, perlu juga menyisihkan pendapatan untuk membayar zakat harta seperti pesan Umi di masa sehatnya. Hingga tak terasa suara adzan berkumandang, sudah tengah hari. Meskipun kadang aku masih lalai terhadap perintah Tuhan, tapi sebisa mungkin aku memenuhi kewajiban ku sebagai umat.
4 misscall dari nomor baru, dari 2 nomor berbeda ku lihat. Aku mengernyit, bertanya - tanya siapa kira - kira. Mempertimbangkan apakah aku harus menghubungi balik. Namun Dewi Fortuna berpihak, salah satu nomor yang ku maksud menghubungi kembali.
"Halo?" Aku menyapa ragu, nadaku penuh tanda tanda tanya.
"Dengan mbak Alika?" Tanya seseorang di ujung sana.
"Ya, siapa ya?" Pikiran meraba, kira-kira siapa penelpon ini.
"Saya temannya Anggar."
"Oh" Aku mendengus.
"Kok Oh?" hening sejenak di ujung sana. Memangnya aku harus menanggapi lebay kala seseorang menyebut nama Anggar gitu? Pikirku sewot sendiri.
"Maaf mbak, saya mau bawa pulang Rania, tapi Ranianya nggak mau kalau ninggal Anggar sendirian." suara pria di ujung sana terdengar tak sabar.
"Hubungannya dengan saya?" Sok polos aku meladeni pria tak ku kenal ini.
"Gini mbak, Anggar nggak mau bikin kuatir ibunya, jadi keluarganya cuma mbak untuk saat ini."
"Oh ya?" biarlah dikata aku nggak sopan. Enak aja tiba-tiba butuh aku sekarang.
"Ini dengan mbak Alika bukan sih?" Kata si penelepon bingung.
"Kamu bener temennya Anggar?" Entah apa hubungan Anggar dengan Rania, namun kalau boleh aku menilai pria ini tengah sangat mengkhawatirkan Rania.
"Iyalah mbak?"
"Emang kamu tahu siapa saya?" Tanyaku balik.
"Istrinya."
"Emang kamu pernah denger Anggar punya istri 5 tahun ini?" Rasanya aku tak pernah mengira kalau Anggar pernah menyebutku sebagai istri. Jadi sedikit bermain - main boleh kan?
"Nggak sih mbak." Memutar bola mata ku lakukan, meski pria di ujung telpon ini tak tahu.
"Tuh kan, kamu salah orang sepertinya." Yakinkan pada orang yang tak ku tahu namanya ini.
"Nggak lah mba, wong mbak juga nyambung kita bicara soal Anggar, Anggar yang sama yang kita maksud kan?" Ah kenapa rasanya aku terhibur.
"Saya janda 5 tahun, kalau kamu mau tahu."
"Ups, sorry mbak. Tunggu Alika!" Dan aku yakin, yang meneriakkan namaku itu suara Anggar.
"Please jemput aku, beri aku waktu seminggu memulihkan diri. Setelah itu kamu boleh melakukan apapun padaku, aku janji." Anggar terdengar seperti bukan Anggar. Intonasinya itu terdengar aneh bagiku, memohon dan merajuk.
"Maaf, aku nggak butuh." dengan itu aku mengakhiri sambungan secara sepihak. Memantau diriku sendiri bahwa tak apa mengacuhkan pria itu, toh selama lima tahun ini kemana saja dia, lebih dari mengacuhkan diriku bahkan.
Menetralkan degup jantungku, memutuskan menuruti langkah hanya untuk sekedar melihat - lihat bunga anggrek dan dedaunan di teras belakang. Sepertinya ide menambah kolam renang mini disini bagus juga. Tapi..., kasihan juga si Anggar. Ibunya yang sudah tua, dan adiknya yang harus merawat anak autisnya. Duh kepikiran deh aku. Tapi selama 5 tahun ini nggak mungkin juga kan dia nggak pernah sakit, toh dia sudah dewasa pastilah dia bisa ngurus diri sendiri. Tapi kan... Sekarang kaki dan tangannya cidera. Huffft...!! Aku masih kepikiran Anggar.
Baiklah, aku akan lihat dia. Kalaupun dia sudah out berarti ya sudah, bye Anggar. Biarlah dikata aku jahat. Bukannya dia emang keterlaluan.
