Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Anggar terbaring tak berdaya, di atas ranjang rawatnya. tulang keringnya dibebat rapat. Di bahunya juga mendapat perlakuan yang sama dari dokter. Ah kalau begini siapa yang tega.

Pada nakas di sebelahnya, nampak makanan jatah rumah sakit masih tertutup plastik wrap, ada titik air di luar gelas teh di sisinya.

Dia pasti kesulitan pikirku, seingatku dia masih punya beberapa saudara, tapi entahlah. Memangnya apa yang ku harapkan dari pernikahan yang seumur jagung ini, meski hanya riwayat keluarga. Mungkin kalau masih ada Umi, aku bisa bertanya CV lengkap Anggar.

Ku putuskan duduk di sofa yang disediakan, membuka salah satu aplikasi favorit di hapeku untuk membunuh waktu. Sangking asiknya menjelajah aplikasi baca, hingga baru tersadar Anggar telah terbangun cukup lama, mungkin untuk mengamatiku. Terlihat dari matanya yang tak mencirikan kondisi orang yang bangun tidur.

"Bangun? Butuh bantuan?" Tawarku, berusaha terlihat tak terganggu dengan tatapannya yang.., ah sudahlah. Abaikan saja. Huh, begini amat nasibku. Bukannya tak ikhlas, tapi situasi ini terasa amat aneh.

"Naikin dikit ranjang ku, please." ungkapnya, yang ku respon dengan tindakan langsung, membuatnya dalam posisi duduk.

Mengulurkan teh kemudian berinisiatif menyuapinya, aku seperti baby sitter saja. Tak ada perbincangan, hanya denting sendok dan piring yang beradu hingga suapan terakhir. Semua yang kulakukan murni dorongan rasa kemanusiaan, menelisik muka kuyu bercampur sakit Anggar membuatku tak sampai hati mengabaikannya. Malaikat pasti memuji betapa baiknya aku pada orang yang seharusnya ku abaikan.

"Kamu udah nemuin dompet dan hapeku?" Anggar membuka suara, mengisi kekosongan yang tercipta diantara kami.

"Sebelum kesini aku ke kantor polisi ngambil dompetmu." Jawabku singkat, aku tidak perlu membangun emosi apapun dengannya kan.

"Ambil debit card ku disitu, buat ganti uangmu ngurusin aku dan ganti rugi buat tukang bakso itu." Ku kendurkan bahu acuh. Pasti akan ku ambil nanti.

"Passwordnya, tanggal lahir mu." selorohnya, alis tebalnya menyatakan keseriusan, membingkai matanya yang lurus pada mataku.

"Apa?" Aku melongo tak percaya, memang tak sampai histeris namun tetap saja pekikan keherananku menarik raut terhibur di wajah kusut Anggar.

"Passwordnya tanggal lahir mu, Alika." Ulangnya masih dengan ekspresi yang sama. Sampai aku melihat untaian senyum terbit di ujung bibir Anggar, seolah dengan membuatku cengo begini adalah hiburan baginya.

Mengabaikan senyum menawannya, aku berusaha sadar dari rasa yang entah apa namanya ini. Mengerjap beberapa kali berpikir keras mengapa dia melakukan itu. Namun saat akhirnya kesadaran ku kembali, aku justru memutar bola mata.

"Alika."

"Apa?" Tanyaku cuek, tanganku masih membereskan meja di sebelahnya, tanpa peduli dia mau bicara apa.

"Nggak sopan." Tegurnya pada sikapku.

"Memangnya kamu sopan?" Enggak sama sekali, orang sopan mah enggak berprinsip modle jelangkung. Datang tak diundang pulang tak diantar seperti dia.

"Maaf." Lirihnya.

"Huh!" Keluhku dengan wajah sinis tiada henti ketika berbicara dengannya.

"Antar aku ke Solo."

"Ngapain sih?" Segera aku membawa tubuhku menghadapnya.

"Rumah sakit spesialis ortopedi." Jawabnya singkat. Jauh amat pikirku, enggak sekalian ke kutub Utara?

"Aku ingin cepat sembuh, dan melakukan banyak hal yang seharusnya aku lakukan sejak dulu bersamamu." Ungkapnya terdengar menggelitik di telinga. Dan aku tak sedikitpun tergoda dengan apapun maksudnya.

"Ngigo." benarkan ngigo dia, lima tahun nganggurin aku tanpa kata, sekarang mudahnya bilang begitu. Minta ditampar biar sadar kali ya.

"Alika, aku akan membuktikan padamu." Tegasnya saat melihat respon meremehkan apda wajahku.

"Kepalamu nggak benjol, tapi koq kamu jadi seperti bukan kamu?" Duh ngapain aku repot - repot ada disini sih. Tidak bisa aku tak mengutuki diri.

"Emangnya aku seperti apa Alika?" Sahut suara bass itu.

"Pikir sendiri."

"Maafkan aku."

"Obral maaf banget kamu." Aku berdiri dengan gestur menghakimi. Menghina dengan tatapanku pada Anggar yang bukan apa-apa bagiku, apalagi dalam kondisi tak berdaya begini. Dan rasanya aku puas.

"Harusnya Minggu depan aku pulang ke Malang setelah setahun ini ada di Australia."

Berusaha menyimak, mungkin aku bisa menggali alasan Anggar ingin kembali padaku.

"Salah satu sepupuku menikah." Imbuhnya.

Aku mengendikkan bahu ringan merasa bahasan itu terlalu asing buatku. Anggar pun sepertinya menyadari reaksiku.

"Ibu sering menanyakanmu." Perempuan tua itu ya? Apa kabarnya ya?

"Aku nggak ngerti harus bilang apa, Anggar." Ku buang tatapanku lelah, memindai ruang rawat ini, warna hijau temboknya terasa menghibur pandangan.

"Kita tidak bertemu dalam situasi yang baik. Aku mengerti kalau orang sepertiku tak cocok dengan lingkar kehidupanmu. Jadi sudah seharusnya kamu melepaskan ku. Aku tak mungkin selamanya hidup sendiri begini, aku juga ingin punya seseorang yang sanggup menemaniku menua bersama, memiliki keturunan, dan kelak saat kami telah renta, ada anak - anak yang senantiasa mengkhawatirkan kami." aku menerawang membayangkan apa yang ku katakan, aku sedikit sentimentil mengingat aku sudah melalui semua ini sendiri. Dengan mengatakan ini, aku ingin Anggar mengerti, dia lebih baik pergi dari hadapan ku.

"Kamu udah menyia - nyiakan pernikahan ini, lima tahun loh"

Aku mengeleng tak percaya bahwa aku disini menungguinya yang sudah mencampakkanku selama itu. "Ayo kita buat ini mudah Anggar." Aku ingin pendapatku ini dia dengarkan dan setujui.

Bagusnya Anggar tak memutus pandangan terhadap ku, entah kenapa aku merasa sedih saat ini. Sungguh perasaan ingin hidup normal itu nyata ku inginkan.

"Kamu punya kekasih?" aku tahu dengan pertanyaan itu Anggar tengah menguliti hidupku, nampak dari sinar matanya yang tak goyah, begitu ingin tahu.

"Kamu pikir, apalagi yang dilakukan wanita dewasa sepertiku dengan status menggantung, huh?" aku terkekeh tanpa humor, sama sekali tak tersinggung dengan pertanyaan Anggar.

"Aku banyak bertemu dengan berbagai kepribadian, meskipun aku tak berniat menyelami mereka. Namun, cukup bagiku untuk tak merasa kesepian."

Sungguh terkadang aku berniat menyerah menanti Anggar datang dan memutuskan ikatan ini.

"Kamu bisa saja menikah kembali." Katanya.

"Kamu pikir, mudah bagiku membina suatu hubungan serius setelah apa yang terjadi padaku. Tak diharapkan, tak diinginkan, ditinggalkan tanpa kata?" Lagi - lagi aku tertawa getir, tak peduli orang yang ku maksud adalah orang yang sedang mengajakku bicara.

"Alika..."

"Jangan meminta maaf lagi, aku sudah mulai muak dengan mu." aku menarik nafas, mengembalikan ekspresi biasa - biasa saja andalanku, lalu mengerjap singkat menghalau embun yang sudah mulai meluruh di mataku yang menatap tajam padanya.

"Jangan mengasihaniku, karena jika dengan alasan iku kamu meminta kembali, aku tak akan pernah sudi berbicara padamu lagi."

Anggar terdiam, memejamkan mata sekilas lalu membuang pandangannya jauh ke luar jendela kamar rawat ini. Sedangkan aku mengatur nafasku berkali - kali, mengatur sesak di dada agar tetap apik terkendali.

Seseorang memasuki kamar rawat setelah mengetuk pintu, memecahkan suasana tak menyenangkan ini.

"Selamat siang, ibu istrinya bapak Anggar kan?" Tanya mbak perawat.

Aku melirik Anggar, tak sekalipun dia berpaling dari ujung pepohonan di luar jendela. Dia pasti sengaja, memposisikan aku seperti yang dia mau. Aku mengangguk dan mau tak mau mengakui diriku seperti seharusnya. Biarlah mungkin dengan berperan sebagai istri, kali ini aku bisa sekali lagi menampar Anggar.

"Dokter ingin bicara Bu, bapak kemaren mau pindah RS ya?" aku kembali mengangguk, dan keluar kamar mengikuti instruksi perawat.

Setelah mengantongi surat rujuk ke salah satu RS di Solo atas permintaan Anggar, aku meminta bantuan perawat laki-laki untuk membantu memindahkan Anggar ke kursi roda setelah itu ke mobil di tempat duduk penumpang.

"Kita bawa ambulans gimana, biar kakimu ga perlu ditekuk begitu." Ucapku cenderung judes, tapi masih ku usahana begitu lembut dan sabar.

"Nggak perlu, ini cuma retak." Jawabnya.

"Kamu pakai uangku kan?" Anggar hendak meraih lenganku tapi secepatnya aku menghindar.

"Iyalah, aku narik di ATM RS tadi. Masak iya aku pake uangku terus, toh kamu kecelakaan bukan salahku."

Aku ngomel sepanjang jalan, Anggar hanya menanggapi sesekali, itupun hanya iya tidak, bahkan saat aku meliriknya karena tak puas dengan jawabannya yang terlampau singkat, ku dapati sebaris senyum yang beberapa waktu kebersamaan kami jadi sering ku lihat, sangat jauh berbeda dari 5 tahun lalu.

"Aku tak tahu, kalau mendengar omelanmu bisa sebahagia ini" katanya memamerkan senyum tipis di bibirnya.

Aku mendengus tak habis pikir. Dimana bahagianya, harusnya dia balik marah, kalau dia waras.

"Otakmu sehat kan?"

"Rasanya aku tak akan menyesal menghabiskan seumur hidupku bersama kamu, Alika." Cihh!!! Suara dalam hatiku ngomel sepanjang jalan.

"Huh, ngomong apa?" Lagi-lagi jawaban sinisku yang masoh terdengar bersahabat. Bagaimana ya, aku memang begini. Sejudesnya aku, aku benar-benar tidak bisa menyakiti hati orang lain dengan kalimatku.

"Beneran kamu bakalan nyetir sendiri dari sini ke Solo?" Mengganti topik pembicaraan huh, dasar pria.

"Menurutmu?"

"Beneran kamu nggak bisa menyelamatkan ponselku" aku memutar bola mata akan berondongan pertanyaan darinya.

"Nih." aku merogoh tas lalu melempar ponsel retak yang lcd nya nyaris hancur ke pangkuannya. Tangan kiri Anggar membolak - balikkan ponsel rusak itu.

"Sial" umpatnya.

Tentu saja aku tak akan cari mati menyetir sejauh itu, sekalipun lewat tol. Aku menanti sambungan terhubung ke nomor salah satu rekan ku. Tak akan ada yang menolakmu selama uang berkuasa, begitu nasehat Ibu Hajah Herlina yang udah 3 kali naik haji dan 5 kali umroh, alias nenek ku.

"Sri! Kamu dimana? Aku memekik kala Sri meresponku di seberang.

"Sibuk nggak?"

"...."

"Mau donk, aku ajak jalan"

"...."

"Nggak jauh, sekiran Malioboro"

"...."

"Iiiyah, iih kamu, bencong matre"

"...."

"Mana mamih kamu, ihiiii"

"...."

"Sama cowok nih" melirik hingga menelisik seluruh wajah Anggar aku jadi tersenyum miring lalu menjawab Sri "seger lah..." Sekali lagi ku lirik Anggar yang tampak penasaran.

"Si bule ajak juga deh, biar gantian yang nyetir."

"...."

"Eh tapi beneran sih, kalian lowong?"

"...."

"Mana mamih kamu, biar aku ngomong langsung. Dia kagak ngangkat telpon aku beibe, iya. Oke."

"Hallo Jeung, ini aku mau ke Solo, ada kepentingan mendadak, kalo si Supri ga sibuk, aku bawa deh, ya paling lama 3 harian kali ya, kalo bisa solmetnya Supri aku bawa juga, iya buat gantian ngedriver. Beres... Aku udah deket banget"

"Siapa?" Anggar bertanya malas, nampak gurat lelah dan sakit di wajahnya.

"Tuh tempatnya." aku menunjuk dengan daguku salon yang tak terlalu besar, bersamaan dengan rem yang ku injak. Kemudian aku turun menggunakan sandal ternyaman, yaitu sandal jepit kesayangan yang selalu ku siapkan di mobil.

"Halo Jeung, mau keluar?"

"Iya, nanti seminggu lagi ada konser di desa ujung sana mbak Alika. Duh siapa itu, macho banget keliatannya? Cowok baru?" Jeung Salma berbinar menatap penasaran ke arah Anggar. Aku tertawa terbahak lalu berbisik " suamiku" ke arah Jeung Salma, salah satu rekan bisnis make up wedding. Dia bilang konser, berarti bakal ada seseorang yang akan menggunakan jasanya.

"Appahhhh!" teriaknya, aku berlalu meninggalkan Jeung Salma yang sekarang sedang dadah dadah manjah ke arah Anggar.

"Mbak Alika...." Aku sedang berbincang dengan pria melambai yang ku sebut Sri di awal sambungan telpon tadi saat suara cempreng Jeung Salma menelisik telinga.

"Ini suaminya jangan dibawa ke rumah sakit Jeung, lama sembuhnya. Bawa ke tukang pijat aja, aku punya kenalan "sangkal Putung" loh......" Belum aku menjawab Jeung Salma yang sudah memapah mesrrahhh pria yang kini terlihat tak nyaman itu.

"Kamu sama suami cyin... Yang katanya 5 kali puasa 5 kali lebaran nggak pulang - pulang itu cyin..." Supri nama dagingnya yang lebih akrab disapa Sri ini, histeris dibuat - buat,ku jawab dengan mengangguk dramatis dan senyuman manis. Jangan tanya gimana ekspresi Anggar mendengar celotehan Sri. Udah keliatan sengak banget dia dan aku sangat menikmati.

"Oh my God, Tuhanku, suami yeiy bule beneran....., bikin eikehaus cyiiin" Sri alias Supri berkedip - kedip imut hingga bulu mata hasil eyelash terlihat berwarna pink karena maskara Korea yang digunakannya.

"Alika, bantuin aku" aku menoleh dan mendapati Anggar tampak tak berdaya sembari merangkul pundak Jeung Salma sebagai tumpuan.

"Ngapain ikut turun, sih?"

"Katanya kamu lama." Anggar melirik Jeung Salma dengan ekor matanya.

"Pasti sakit banget ya?" Tanyaku, tapi membiarkan Anggar sedikit lebih lama, aku mengikat rambutku tinggi - tinggi di depan cermin salon dengan santai. Menatap Anggar yang terus memohon padaku lewat iris coklatnya yang gelap.

"Alika..." Nggak salah kan aku mendengar suara pria merengek.

Jeung Salma tengah mengagumi otot - otot Anggar dan Sri sudah meraba udara tepat di sekitar dada dan perut pria itu. Bolehkan aku merasa terhibur sekarang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel