Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

"Alika!"

"Stop it, manggil - manggil aku"

"Aku tidak seperti anggapan kamu Alika, mereka mengambil, uang tunai, dan melempar dompetku entah kemana. Dan bapak - bapak polisi ini malah duduk santai disini, nggak mikir itu dompet saya banyak surat - suratnya, ponselku juga raib, entah kemana "

"Bener pak polisi?"

"Anak buah saya, sedang mencarinya"

"Tuh kan... Kamu denger"

"Oh, shitt. Tadi bapak - bapak ini bilang, nggak percaya kalau mereka buang dompetku" Anggar menarik rambutnya tampak frustasi. Lebam - lebam diwajah putih kemerahannya mulai terlihat.

"Itu Cak Man sudah datang" Pak polisi menunjuk ke arah luar pintu.

"Loh, ini kan Mbak Alika, koq Disni juga mbak?" Penjual bakso keliling itu mengenaliku, tentu saja aku sering makan baksonya.

"Dia, istri saya" Anggar menatap Cak Man kesal.

"Sontoloyo, ngaku - ngaku bojo wong ayu. Wong situ sudah ada gandengan." Sontoloyo, ngaku - ngaku istri orang cantik ini, padahal situ sudah ada pasangan.

Cak Man memindahkan posisi berdirinya di depanku seolah tindakannya itu mampu melindungi ku dari Anggar yang tengah menjulurkan kedua kakinya yang tampak tidak baik - baik saja.

"Sial!" Umpat Anggra.

"Mangkane kalau naik motor itu hati -   hati. Jangan pacaran sambil berkendara, kalau begini, saya yang rugi, bakso terbuang percuma, rombong kesayangan hancur sudah" Cak Man membuat gerakan yang konyol seperti orang memerankan wayang.

"Gini aja Cak Man, biar itu urusan ganti ruginya sama saya." Aku menengahi, aku ingin semua ini cepat selesai dan pergi jauh dari tatapan Anggar.

"Jangan mbak Alika, wong yang nabrak, pasangan selingkuh ini, kenapa mbak Alika yang sudah ganti rugi saya" si penjual bakso sangat benar sekali.

"Apa, anda nuduh saya selingkuh" Kesabaran Anggar mulai habis, matanya sudah memerah campuran antara marah dan kesakitan.

"Lah kamu ngaku Mbak Alika bojo, tapi wedok an mu gak pethal blas soko gandengan kelek mu" kamu ngaku Mbak Alika istri tapi wanita mu ga melepas gandengan lenganmu.

"Rania, please" nampak dengan berat hati wanita itu melepas rangkulannya pada Anggar.

"Saya butuh ke rumah sakit segera, jadi mana bapak - bapak yang sudah mengeroyok saya?" Aku memutar bola mata.

"Mau apa kamu nyari mereka?"

"Mereka harus tanggung jawab, ini negara hukum kenapa main hakim sendiri"

"Wong Mase yang nyenggol rombong saya, ya jelas Mase yang salah"

"Salah bapak, nangkring di pengkolan pak, itu bukan tempat aman buat jualan"

"Wong sudah malam koq, mana ada kendaraan yang mau nyenggol rombong saya kalau bukan kendaraan Mase"

Aku memijit pangkal mataku, pukul setengah 12 malam. Sudah waktunya untuk merebahkan diri di ranjang hangat ku.

"Jadi Cak Man, mau ganti rugi berapa? Saya lelah Cak Man"

"Loh Mbak Alika pulang aja, atau saya antar dulu Mbak?"

"Oh My God...., Ayo donk kalian kooperatif, biar cepet selesai, dan saya yang nggak tau apa - apa ini biar bisa pulang"

"Saya mau kamu bantu saya Alika"

"Its oke, jadi kamu diem aja. Biar masalah ini cepet selesai setelah itu kamu bisa pergi jauh - jauh dari hidup saya" semua orang terdiam dengan kalimatku, Anggar nampak tersinggung dan suasana ruangan ini jadi canggung.

"Ayo Cak Man bilang, biaya perbaikan rombong cukup 500 ribu? Terus Cak Man dan bapak - bapak lain ada yang luka tidak?" Imbuh ku tak sabar.

"Nggak ada mba?"

"Oke, cukup apa kurang segitu?" Tanyaku memastikan.

"Hehe jadi nggak enak, ya saya nggak tau mbak habis berapa perbaikannya besok, ya cukup deh mba, kalau kurang saya tambahin sendiri, saya juga salah sih parkir di pengkolan"

"Nah, gitu donk, besok saya nyuruh orang pasar buat ngantar uangnya, cak man percaya saya kan?"

"Iya mba"

"Fix, pak polisi, saya mau pulang" aku beralih kepada Pak polisi yang sejak tadi hanya menonton kami.

"Mereka?" Pak polisi menunjuk Anggar dan wanita itu.

"Whathevr deh"

"Eh... Apa artinya mba"

"Bebas, suka - suka mereka, Pak"

"Alika antar kami ke puskesmas"

"Minta antar pak polisi, seperti kamu bilang, saya cuma orang asing dalam hidup kamu" Aku mengendikkan bahu dan berlalu keluar ruangan yang terasa pengap ini. Belum lagi tatapan permusuhan dari wanita itu.

"Please, Alika" aku berhenti namun tak berbalik. Suara Anggar terdengar kesakitan di telingaku, antara rasa kemanusiaan dan rasa kesal berkepanjangan aku memutuskan pulang.

Terus melangkah menuju sepeda motorku, sembari berpikir sungguh tak berperasaan kalau aku mengabaikan orang - orang terluka seperti mereka. Saat hendak naik ke matic unguku. Aku berbalik badan dan bilang pada polisi penjaga bahwa aku menyuruh mereka berdua menunggu sebentar.

Aku pulang menukar sepeda matic kesayanganku dengan mobil yang memungkinkan mengangkut mereka berdua. Ku tekan klakson kuat - kuat di depan kantor polisi, agar mereka segera keluar. Ku lihat Anggar berjalan kesulitan, wanita itu masih setia memapahnya.

Duduk di belakang seperti aku ini supirnya, dan cerocos kekhawatiran dari si wanita terus terlontar untuk Anggar, mengalihkan sunyi yang tercipta antara aku dan pria itu. Tak sekalipun aku melirik ke belakang, tak sudi tepatnya.

"Puskesmas, klinik, rumah sakit?" Ku ajukan pertanyaan agar dia menentukan sendiri.

"Yang terbaik menurutmu, tulang kaki dan bahuku sepertinya geser" ku rasakan Anggar terus menatapku, dan aku selalu tak peduli.

Rumah sakit masih 25 - 30 menit dari sini, karena Anggar ingin ronsen tulang, puskesmas mana ada. Aku memasang earphone di satu telinga. Sebagai pengalihan bertahan dalam situasi aneh yang tak ku sangka ku alami.

"Kami tak memiliki hubungan apapun, dia terus berpegangan padaku karena kacamatanya pecah tadi, pandangannya kabur tanpa kacamata" penjelasan Anggar.

Aku memandang Anggar lewat spion, mencebik ringan tanda aku tak peduli apapun yang mereka lakukan, bukan urusanku. Namun aku menangkap rasa kecewa dalam tatapannya.

"Terima kasih" wanita itu, Rania si judes. Lagaknya nggak banget, tak sekalipun menurunkan dagunya saat menatapku, bahkan saat seperti ini sekalipun.

"For what?"

"Sudah menolong kami" aku menggeleng tak percaya, dia menyampaikan itu seolah aku sudah merebut benda berharga miliknya.

"Mungkin aku pernah menyakitimu di masa lalu" tambahnya makin tak ikhlas. Bibirnya cemberut sungguh tak sopan.

"Aku bisa saja tak peduli pada kalian, bahkan ditengah malam dengan jalanan sepi seperti ini sekalipun, aku anak manja yang egois, kalian tahu itu" sarkasku acuh tak acuh.

"Alika...." Suara Bas Anggar terdengar memperingatkan ku.

"Apa?"

"Marah....,tak suka aku sinis kepadanya." Aku kembali bertukar pandang dengan pria itu, menantang kekeliruannya sekarang ini. Ayolah, siapapun mereka, mereka sedang tidak dalam posisi menguntungkan disini, kenapa musti si Rania itu tak tau diri sih.

"Masih beruntung aku mau membantumu, sudah disupiri, masih saja belagu. Lebih baik diam dari pada menyakiti hati orang lain, coba tanyakan pada diri kalian, kalian itu siapa sih." aku terkekeh skeptis, tak ada nada lucu sama sekali, miris ada ya orang seperti itu. Anggar melirik si Rania Rania itu yang sepertinya ta merasa bersalah sama sekali akan sikapnya.

"Maafkan kami, merepotkan mu" ucap Anggar pada akhirnya.

"Sangat merepotkan memang" balasku tak mau kalah. Lalu kamipun memilih larut dalam hening hingga tiba di Rumah sakit.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel