Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Luka dan Tanda

Langkah-langkah berat menyusuri lorong gelap yang belum pernah dijamah cahaya. Di antara dinding batu lembap dan udara pengap, Amara berusaha tetap tegak meski setiap helaan napas terasa seperti serpihan pisau menari di dadanya. Setiap gerakannya menggores luka di tubuh, tapi rasa sakit itu masih kalah dari kepingan tanya yang berserakan di benaknya.

Tubuhnya masih lemas. Darah di pundaknya telah mengering, menempel di kain putih jubahnya. Namun tangan yang tadi menggenggam rantai kini bebas, meski dingin dan gemetar.

Pria berjubah itu—yang muncul bagai bayangan dalam pertempuran berdarah tadi—tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mereka keluar dari tempat penyekapan. Diamnya seperti kabut—melingkupi, menyembunyikan, dan entah kenapa… menenangkan sekaligus mencemaskan.

Beberapa saat lalu, dia muncul dari bayang-bayang, menghancurkan makhluk-makhluk itu dengan kekuatan yang tak sempat Amara kenali. Sosok-sosok bayangan dan para penculik yang menyekapnya lenyap tanpa suara—seolah ditelan kegelapan yang ia kendalikan. Amara sempat melihat beberapa tawanan lain di dalam penjara itu, tapi saat ia berusaha menggapai mereka, pria itu menariknya pergi. Tak satu pun dari mereka terlihat saat ia dibawa keluar—dan pertanyaan tentang nasib mereka masih menusuk dadanya.

Mereka akhirnya tiba di sebuah ruang batu kecil dengan pintu kayu usang yang tersembunyi di balik lorong sempit. Sekilas, terlihat seperti gudang terlantar. Tapi begitu pria itu meletakkan telapak tangannya ke ukiran kecil di dinding, ukiran itu menyala dengan cahaya biru redup, dan pintu terbuka perlahan, memperlihatkan lorong lain di baliknya.

Lorong itu jauh berbeda dari sebelumnya—bersih, berlapis batu putih dengan cahaya biru dari kristal yang tertanam di dinding. Langkah mereka bergema lembut.

"Apa tempat ini…?" Amara nyaris bertanya, tapi pria itu menoleh sekilas—dan hanya dengan satu tatapan dingin, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Sorot matanya tajam, tajam seperti belati yang belum terhunus.

"Jangan bicara," ucapnya pendek, suaranya datar namun menyiratkan perintah yang tak bisa dibantah.

Mereka tiba di sebuah ruangan bundar yang luas, dindingnya dipenuhi simbol-simbol aneh yang bergerak perlahan seperti bernapas. Di tengah ruangan, ada tempat tidur dari batu hitam dengan permukaan halus, dan semangkuk air bening memancarkan cahaya keperakan yang menggantung di udara.

Amara ragu sejenak. Tapi pria itu menghampirinya dan—untuk pertama kalinya—menyentuhnya dengan lembut. Tangan yang dingin tapi kuat menopangnya saat ia didudukkan di atas batu itu. Hatinya menegang.

Pria itu mencelupkan jarinya ke air, dan seketika, air tersebut berputar pelan membentuk lingkaran, lalu melayang menuju pundak Amara.

Rasa perih menyambar. Amara menggigit bibir menahan teriakan. Cairan itu terasa seperti ribuan jarum menusuk kulitnya—panas, menyakitkan, tapi juga… menenangkan. Ada semacam kehangatan yang aneh di dalam rasa sakit itu, seperti sesuatu yang dikenalnya, tapi lupa.

"Apa ini... sihir?" tanyanya pelan, suaranya nyaris gemetar.

Pria itu tak menjawab. Matanya fokus ke luka yang kini menyatu perlahan, meninggalkan bekas samar berbentuk lingkaran dengan pola seperti akar pohon menjalar. Ekspresinya kaku, tapi matanya sedikit menyipit, seolah ada sesuatu yang tak ia duga.

Amara menatapnya, napasnya masih terengah. "Tanda ini… bukan luka biasa, kan?"

Masih diam. Tapi kali ini, ada perubahan halus di wajahnya—keraguan, atau mungkin… keterkejutan yang ia sembunyikan dengan buruk.

"Kau... bukan manusia biasa," gumamnya akhirnya, nyaris tak terdengar.

Amara menatap mata peraknya. “Aku hanya gadis biasa. Atau... dulunya.”

Pria itu mengalihkan pandangan. Rahangnya mengeras. Ia berdiri, jubahnya bergetar ringan saat ia melangkah mundur.

“Kau akan kembali ke tempatmu.”

Amara mengernyit. “Aku tak bisa kembali begitu saja. Mereka yang menangkapku tadi pasti akan—”

“Mereka tidak akan kembali,” potongnya. “Dan kalaupun ada yang mencoba... mereka akan berpikir dua kali.”

Nada suaranya datar, tapi Amara bisa menangkap sedikit nada getir di dalamnya. Seolah… ia menyesal membunuh, tapi lebih menyesal jika Amara harus tahu alasannya.

Amara mengepalkan tangan. “Aku tidak suka diatur tanpa tahu alasannya.”

Ia menatap lurus ke arahnya, tak gentar. “Kalau kau tahu sesuatu tentang diriku… tentang tanda ini—katakan.”

Pria itu memalingkan wajah, tapi sejenak… ada getaran halus di rahangnya. Bukan marah. Lebih seperti... frustasi. Tangannya terkepal di sisi jubah.

“Ada sesuatu dalam darahmu yang tidak seharusnya ada di tubuh manusia,” katanya pelan. “Sesuatu yang dicari… dan ditakuti.”

Amara membeku. "Apa maksudmu?"

“Aku tidak tahu pasti.” Ia menatap Amara tajam, dan kali ini—pandangan itu tak lagi datar, tapi penuh tanya. “Tapi darahmu—bisa membuka sesuatu. Pintu, mungkin. Atau kehancuran.”

Kata-katanya menggantung, menyesakkan dada.

Amara ingin membantah, ingin bertanya lebih banyak. Tapi pria itu tampak menutup dirinya kembali. Dingin. Jauh. Seolah takut, jika terlalu lama memandangnya, ia akan tergoda untuk mengatakan hal-hal yang seharusnya tak diucapkan.

Sebelum Amara bisa berbicara lagi, ia berbalik dan mulai berjalan ke luar ruangan.

"Ayo. Sebelum matahari terbit, kau harus kembali."

Mereka menyusuri lorong sempit kembali ke permukaan. Kali ini, suasana hening lebih menyiksa daripada sebelumnya. Setiap langkah mendekatkan Amara pada kenyataan: dunia ini menyimpan lebih banyak rahasia dari yang ia bayangkan.

Ketika mereka mencapai pintu keluar yang tersembunyi di balik rerimbunan anggur liar, udara dingin malam menerpa wajah Amara. Ia menghirupnya dalam-dalam—rasa sakit di tubuhnya masih ada, tapi tanda di pundaknya kini terasa seperti sesuatu yang hidup.

Tak lama, mereka sampai di hutan kecil di belakang Kastil Velanthea. Dari sana, menara kastil keluarga Durent terlihat menjulang dalam siluet hitam.

“Aku bisa jalan sendiri dari sini,” ucap Amara.

Pria itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Tapi saat ia hendak berbalik pergi, Amara berkata, “Kalau aku memang bukan manusia biasa… lalu kau apa?”

Ia tak menjawab. Hanya tersenyum tipis—senyum yang nyaris tak terlihat, seperti embun yang menguap sebelum disentuh matahari. Tapi dalam sekejap itu, tatapannya berubah—ada kesepian dalam matanya, seperti seseorang yang telah kehilangan terlalu banyak hal untuk diceritakan.

“Tanyakan itu lagi… saat kau benar-benar ingin tahu jawabannya.”

Kemudian ia menghilang ke dalam kegelapan, seperti bayangan yang larut bersama kabut fajar.

Amara berdiri mematung, menyentuh pundaknya yang kini tak lagi berdarah—hanya ada tanda, dan rasa getir yang tertinggal di napasnya.

Angin malam menyapu rambutnya, dan dalam keheningan yang menggantung, satu pikiran berputar di benaknya:

Apa yang sebenarnya terjadi padaku… dan kenapa darahku bisa membuka kehancuran?

Ia melangkah pelan ke arah kastil. Di balik dinding batu itu, keluarga Durent mungkin menunggunya. Atau mungkin… sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Namun langkah Amara terhenti sejenak. Di ambang pohon beringin besar, ia menoleh ke belakang—ke tempat pria itu terakhir berdiri sebelum lenyap.

Bayangan itu sudah hilang, tapi perasaan tak dikenal mengendap di dadanya. Ia tidak tahu siapa dia. Tidak tahu dari mana ia datang. Tapi ia tahu satu hal: pria itu… melihatnya. Bukan sebagai bangsawan. Bukan sebagai korban. Tapi sebagai seseorang yang menyimpan sesuatu lebih dari dirinya sendiri.

“Kenapa kau menatapku seperti aku teka-teki...?” bisiknya sendiri, seolah pria itu masih bisa mendengarnya.

Angin berembus pelan. Ujung jubahnya berkibar, dan untuk sesaat, suara samar terdengar—seperti bisikan. Atau ilusi.

Ia kembali berjalan.

Malam masih kelam saat ia menyelinap masuk melalui pintu samping kastil. Pelayan belum bangun, penjaga berganti giliran. Ia melangkah pelan melewati koridor, hingga tiba di kamarnya yang gelap dan sunyi.

Begitu pintu tertutup, Amara bersandar di baliknya. Dingin batu merayap ke punggungnya, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk peduli. Ia menyeret langkah ke depan cermin besar, dan menatap dirinya sendiri dalam bayang samar cahaya bulan.

Tanda di pundaknya kini seperti menyala lembut, bercahaya samar keperakan.

"Apa kau... kutukan? Atau anugerah?" bisiknya lirih.

Ia duduk di tepi tempat tidur. Baru kali ini ia benar-benar bisa merasakan lelahnya—fisik maupun batin. Semua kejadian malam ini, semua rasa sakit, kebingungan, dan teka-teki yang dilemparkan kepadanya—semuanya terasa seperti terlalu banyak untuk ditampung dalam satu tubuh.

Tapi ada satu rasa yang tumbuh diam-diam dalam dirinya: keyakinan.

Apa pun yang tersembunyi dalam darahnya, ia akan menemukannya. Apa pun yang membuat pria berjubah itu datang—dan menolak memberi jawaban—ia akan mengungkapnya.

Ia menarik selimut hingga ke dagu, meski rasa dingin tak kunjung pergi. Matanya memejam, dan dunia perlahan memudar…

…Namun malam itu, mimpi Amara dipenuhi simbol-simbol asing yang menari di udara—lingkaran berputar, akar yang menyala, dan sebuah pintu raksasa yang terbuka di tengah kehampaan.

Dan di ambang pintu itu—siluet pria berjubah hitam berdiri.

Menatapnya.

Menunggu....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel