Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: Pertemuan Berdarah

Langit malam menggantung pekat di atas Kastil Velanthea—yang kini dikuasai keluarga Durent. Bintang-bintang seolah enggan bersinar di atas bangunan tua itu, menyisakan hanya cahaya bulan pucat yang menembus jendela-jendela besar. Di dalam kamarnya, Amara terjaga, matanya terbuka lebar menatap langit-langit batu berukir yang asing namun kini menjadi miliknya.

Ia masih belum terbiasa.

Kamar itu terlalu megah. Dindingnya dilapisi beludru merah tua, lantainya berlapis karpet tebal yang membuat langkah tak bersuara, dan tempat tidurnya… terlalu luas, terlalu empuk, seperti pelukan hangat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tirai emas menjuntai dari langit-langit, dan perabotan dari kayu mahoni dipahat halus dengan detail bangsawan.

Di dunia lamanya, kamar adalah ruang pengap selebar dua meter, kasur tipis dan bantal kumal. Ia tidur ditemani suara tikus, dinding lembab, dan aroma sabun cuci dari ember yang belum sempat ia bilas. Di sini… segalanya terbalik. Dan itu membuat hatinya terasa aneh. Seolah tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan yang tidak layak ia terima.

“Apa ini sungguhan… atau hanya mimpi yang sedang mempermainkan?” bisiknya sendiri.

Ia mencoba tidur lagi, namun matanya tak kunjung terpejam. Ada sesuatu… sesuatu yang mengganggu. Sejak beberapa menit lalu, ia merasakan denyutan aneh di pelipisnya. Seolah ada suara—bukan suara biasa—memanggil dari kejauhan.

"Amara…"

Suara itu samar. Terlalu halus untuk didengar, tapi cukup kuat untuk membangkitkan naluri waspada. Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan jubah ringan berwarna putih, lalu berjalan mendekati jendela.

Di luar, angin malam berembus pelan. Tapi matanya menangkap sesuatu. Bayangan hitam bergerak cepat di taman belakang kastil.

Amara memicingkan mata. Perasaannya tak enak. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, bukan karena takut—tapi karena penasaran. Seolah kegelapan malam menyembunyikan sesuatu yang penting.

Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan melangkah keluar.

Lorong-lorong kastil sunyi. Pelayan malam sudah kembali ke kamar masing-masing, penjaga tidak terlihat di dekat tangga belakang. Langkah kakinya ringan, nyaris tak terdengar. Ia menyusuri koridor hingga tiba di taman belakang—tempat yang kini hanya diterangi cahaya bulan.

Namun saat ia melangkah lebih jauh, bayangan itu muncul lagi.

Tapi kali ini… lebih dekat.

Sosok tinggi berjubah gelap muncul dari balik patung batu. Wajahnya tertutup, hanya matanya yang tampak—dan mata itu bukan mata manusia. Menyala samar, hijau seperti batu zamrud hidup.

Amara mundur setapak.

"Siapa kau?" desisnya.

Makhluk itu tidak menjawab. Sebaliknya, dua sosok lain muncul dari kegelapan. Mereka melangkah dengan keheningan yang mencurigakan, dan kini Amara tahu—ia telah masuk ke dalam perangkap.

Salah satu dari mereka mengangkat tangan. Cahaya sihir berwarna merah gelap menyala di telapak tangannya.

"Tangkap dia. Yang ini… terlalu berisik untuk bangsawan mati."

Sebelum Amara bisa melawan atau berteriak, tubuhnya diselimuti kekuatan tak terlihat. Dunia berputar, dan segalanya berubah gelap.

****

Ketika ia membuka mata lagi, Amara berada di ruangan asing.

Batu-batu lembab melapisi dinding. Cahaya obor menari di permukaan air yang menggenang di lantai. Suara rintihan dan napas berat terdengar di sekitarnya. Ia tidak sendirian. Di tempat itu… ada puluhan orang lain. Pria, wanita, bahkan anak-anak. Mereka semua dalam kondisi mengenaskan, kurus, memar, ketakutan.

Amara berusaha duduk. Kepalanya berdenyut. Tangannya terikat rantai ringan yang menempel ke dinding.

Seseorang di sebelahnya berbisik, "Jangan bergerak terlalu cepat. Mereka akan datang sebentar lagi."

"Siapa… mereka?" tanya Amara lemah.

"Pemburu bayaran. Kadang budak sihir. Kadang pemuja darah. Kita ditangkap untuk dijual atau... dikorbankan."

Amara menahan mual. Dunia ini terlalu indah di luar, tapi terlalu busuk di dalam.

Langkah berat bergema di lorong. Seorang pria bertubuh besar dan berwajah buruk masuk. Di tangannya, cambuk berduri. Ia melihat ke arah Amara dan menyeringai.

"Akhirnya yang ini bangun. Bangsawan yang kembali dari kematian, ya?"

Ia melangkah maju, mengangkat cambuknya—

Cambuk itu menghantam udara, lalu mendarat ke dinding di samping kepala Amara saat ia bergeser secepat mungkin. Darah mengucur dari pundaknya, perih membakar kulitnya. Tapi ia menggigit bibir, menahan jeritan. Ia tidak akan memberikan kepuasan pada mereka.

"Kau pikir bisa melawan?" pria itu tertawa pelan, lalu bersiap mengayunkan lagi.

Tapi sesuatu terjadi.

Tiba-tiba, api obor di lorong padam—semuanya. Gelap total melingkupi ruangan. Suara cambuk berhenti di udara, digantikan dengan desir pelan seperti angin… lalu jeritan.

Jeritan bukan dari Amara. Tapi dari para penjaga.

Satu demi satu tubuh mereka jatuh. Cahaya samar muncul dari balik kegelapan—bayangan. Bukan manusia biasa. Mereka datang tanpa suara, cepat seperti mimpi buruk.

Dan kemudian… dia muncul.

Pria berjubah hitam panjang, langkahnya tenang di atas lantai batu. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, hanya mata peraknya yang bersinar tajam. Di tangannya, pedang panjang terbuat dari bayangan sendiri. Saat sosok berjubah hitam menebas para penjaga dengan pedang bayangan dan melepaskan Amara, suasana menjadi hening. Tawanan lain bergeming dalam ketakutan bercampur kagum. Amara, masih terengah dan terluka, memandang ke arah pria itu—sosok asing yang datang dari kegelapan seperti mimpi buruk yang menyelamatkan mereka.

"Siapa kamu?" gumam Amara, nadanya setengah menantang, setengah gemetar.

"Diam," jawab pria itu dingin, pendek dan tanpa intonasi.

Ia memutus rantai di tangan Amara dengan sekali tebas. Potongan besi jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring.

"Kenapa... kau menyelamatkanku?" tanya Amara lagi, menahan rasa nyeri di pundaknya.

Sosok itu memalingkan wajah, suaranya terdengar samar. "Tempat ini... terlalu menjijikkan untuk dibiarkan ada."

Namun saat ia hendak berbalik pergi, Amara menggenggam lengan jubahnya. Kuat, meski tangannya gemetar.

"Tunggu. Jangan pergi tanpa menjawab. Siapa kamu sebenarnya? Apa kau dari kerajaan? Dari pasukan bawah tanah? Atau... kau cuma pria yang muncul dari bayangan lalu menghilang begitu saja?"

Untuk sesaat, hanya keheningan yang menjawab. Tapi pria itu menoleh. Matanya—perak dingin dan menusuk—menatap langsung ke mata Amara. Ada percikan kecil, seperti rasa ingin tahu yang tak diucapkan.

"Aku bukan siapa-siapa," katanya datar. "Dan aku tidak perlu menjelaskan diriku pada seseorang yang bahkan tidak tahu siapa dirinya sendiri."

"Kau tidak tahan melihat kebusukan dunia ini, kan?" desak Amara. "Tapi alih-alih berperang, kau bersembunyi."

Tatapan pria itu berubah sedikit. Tapi bukan marah—lebih seperti... tertarik.

"Kau... berbeda," gumamnya. Bukan pernyataan, tapi pengamatan.

"Aku hanya seseorang yang lelah dipermainkan dunia," jawab Amara. "Kalau dunia ini ingin menghancurkan aku lagi, aku akan menggigit balik."

Diam. Lalu ia melangkah lebih dekat ke arah Amara, begitu dekat hingga napas dinginnya terasa di wajah Amara.

"Namamu siapa?" tanyanya perlahan.

Amara mengangkat dagunya. "Itu bukan urusanmu, Bayangan."

Pria itu tersenyum kecil. Tapi bukan senyum ramah—lebih seperti senyum seseorang yang baru saja menemukan teka-teki menarik.

"Kalau begitu," ucapnya sambil berbalik, "tetaplah menjadi teka-teki. Dunia ini butuh lebih banyak teka-teki... dan lebih sedikit jawaban."

Ia memberi aba-aba pada kelompoknya. "Bawa siapa pun yang bisa berjalan. Sisanya, biarkan nasib yang bicara."

Ia mulai berjalan pergi, langkahnya pelan namun mantap. Tapi kali ini… ia tidak melangkah sendirian. Di belakangnya, Amara menyusul. Terluka, tapi teguh.

Dan di lorong yang gelap dan penuh sisa darah, langkah mereka berirama—dua sosok dari dunia berbeda yang saling menolak, namun tak bisa lepas dari tarikan takdir yang entah akan mengarah ke mana.

Malam itu, tak ada nama yang disebut.

Tapi bagi Amara, untuk pertama kalinya... ia merasa diperhatikan bukan karena siapa dirinya—tapi karena apa yang bisa ia lakukan.

Dan bagi pria berjubah bayangan itu... ia tidak tahu kenapa ia berhenti. Tapi matanya yang dingin tak bisa berhenti memandangi gadis itu dari ujung lorong.

Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggunya. Bukan tentang tempat itu, bukan tentang mayat yang berserakan atau darah yang belum mengering. Tapi tentang sorot mata gadis itu—Amara.

Tatapan seseorang yang telah kehilangan segalanya… namun masih menyimpan nyala api.

Ia mengalihkan pandangan. Tak boleh terlalu dekat.

“Berhenti di sini,” katanya tiba-tiba.

Amara mengerutkan alis. “Kenapa?”

Pria itu menoleh setengah, hanya separuh wajahnya terlihat di bawah cahaya temaram obor yang kembali menyala satu per satu di lorong batu.

"Aku mencium bau sihir... yang seharusnya tidak ada di tempat ini."

Belum sempat Amara bertanya lebih jauh, terdengar suara...

Dentang.

Seperti rantai besi yang jatuh. Tapi tidak dari lorong. Dari… atas?

Langit-langit gua yang remang bergemuruh pelan, disusul getaran halus di bawah kaki mereka.

Salah satu pengikut pria berjubah berbisik, “Kita harus keluar. Sekarang.”

Namun sosok berjubah itu hanya mengangkat satu tangan. Semua orang diam.

Ia menatap langit-langit seolah bisa melihat menembus batu dan tanah.

“Kau ikut denganku,” katanya pada Amara tanpa menoleh.

“Kau baru saja bilang tempat ini mencurigakan,” kata Amara tak mundur, “dan sekarang kau mengajakku ke arah suara mencurigakan? Kenapa?”

Dia hanya tersenyum tipis. “Karena aku ingin tahu.....”

Amara membeku.

“Apa maksudmu?”

Suaranya tenang tapi mengancam. “Tentang sesuatu... yang tertanam dalam tubuhmu.”

Sebelum Amara bisa menuntut jawaban, tanah di belakang mereka runtuh sebagian. Kilatan merah—seperti mata makhluk raksasa—muncul dari celah tanah, bersama suara serak seperti... bisikan ribuan mulut dari neraka.

Pria itu menoleh cepat ke pengikutnya. “Lindungi mereka. Kita harus bergegas.”

Tanpa menyadari maksud pria itu, tangannya sudah ditarik, dan tubuhnya melesat mengikuti pria berjubah itu.

Jeritan kembali terdengar dari belakang. Sesuatu sedang bangkit.

Dan entah kenapa… seolah semuanya memang sudah direncanakan sejak awal.

Karena sejak Amara menginjakkan kaki di dunia ini segalanya terlalu cepat berubah.

Dan mungkin, yang diculik malam ini... bukan hanya tubuhnya.

Mungkin, ada sesuatu yang sedang dibangunkan dari dalam dirinya.

Sesuatu… yang bahkan belum ia sadari.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel