Bab 6: Desas-desus & Intrik
Kastil keluarga Durent tampak seperti sarang lebah yang terusik sejak fajar menyingsing. Desas-desus mengalir di antara para pelayan seperti angin dingin yang merayap ke setiap sudut lorong. Mereka berbisik tentang jeritan tengah malam, tentang penjaga yang ditemukan tak bernyawa, dan tentang darah yang menghitam di balik taman belakang kastil.
Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi.
Tapi satu nama selalu muncul dalam bisik-bisik itu:
“Lady Amara.”
Di balik dinding tebal ruang baca, Amara duduk membisu. Jari-jarinya menyentuh punggung buku tua yang terbuka, tapi matanya kosong. Halaman demi halaman bergulir tanpa arti. Pikirannya tenggelam dalam suara-suara semalam—dalam jeritan, dalam desah napas berat, dalam bisikan tentang darahnya.
Luka di pundaknya telah sembuh, tapi nyeri samar masih tertinggal. Seperti bisikan lembut bahwa semua itu nyata. Bahwa pria berjubah bayangan dan sihir biru di udara bukanlah mimpi.
“Darahmu bisa membuka sesuatu. Pintu, mungkin. Atau kehancuran.”
Amara menutup bukunya perlahan.
Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.
“Lady Amara,” suara seorang pelayan, ragu-ragu, “Duke Reginald memanggil Anda ke ruang majelis. Seluruh bangsawan telah berkumpul.”
Ia bangkit. Pelan. Tenang. Tapi jantungnya berdentam dalam irama yang tak bisa diatur.
Ia tahu waktu ini akan datang.
Waktu di mana dunia mulai mencium aroma berbeda dari tubuhnya. Waktu ketika kekuatan yang belum ia pahami mulai menuntut jawaban.
________________________________________
Lorong menuju ruang majelis dipenuhi prajurit dan pelayan. Mereka menunduk saat ia lewat, tapi tatapan mereka mengendap di balik kelopak mata—curiga, takut, haus akan drama.
Pintu besar dari kayu ek terbuka perlahan. Udara dingin menyambutnya, bersama aroma dupa dan wangi minyak kerajaan. Di dalam ruangan bundar itu, para bangsawan telah duduk membentuk setengah lingkaran. Setiap jubah mereka berkibar seperti sayap elang, dan mata mereka menatap ke satu titik.
Ke arahnya.
Di singgasana tertinggi kedua—sebelum tempat duduk keluarga kerajaan—duduk Duke Reginald Durent, posturnya tegak dan pandangannya netral. Tapi di sampingnya, Duchess Miralda Durent tampak seperti ukiran salju yang dingin dan tajam. Tatapannya menusuk, seolah siap menelanjangi segala celah dalam tubuh Amara.
Di antara barisan bangsawan muda, duduk Celestine dan Darian. Celestine menyilangkan kaki dengan anggun, tapi senyumnya menusuk.
Amara melangkah masuk. Punggungnya lurus. Pandangannya teguh.
Namun ia tahu—setiap langkahnya adalah bahan bakar bagi desas-desus yang membara.
“Seharusnya kita bertanya pada Lady Amara,” suara Celestine menggema, nadanya lembut namun mengandung racun. “Sejak ia kembali dari kematian, Kastin ini tak pernah lagi tenang. Mayat di taman. Jeritan malam. Dan makhluk-makhluk aneh yang tak dikenal penjaga. Kebetulan?”
Beberapa bangsawan mengangguk pelan. Duchess Miralda menyusul dengan tatapan setajam belati.
“Serangan terjadi hanya berselang satu malam setelah Lady Amara... bangkit,” katanya datar. “Apakah kita harus mengabaikan kenyataan itu?”
Bangsawan tua bernama Viscount Halren mengangkat tangan, wajahnya penuh kerutan. “Kita tidak bicara tentang anak petani yang lari dari pasar. Kita bicara tentang seseorang yang mati... lalu hidup kembali.”
“Siapa yang bisa menjamin dia... masih manusia?” desis seorang bangsawan wanita dari ujung barisan.
Amara berdiri di tengah ruangan, sendirian. Namun ia tetap menatap ke depan. Jantungnya seolah ingin pecah, tapi ia tidak menunjukkan retaknya.
“Jika Anda menuduh saya,” katanya pelan namun tegas, “berikan saya bukti. Bukan ketakutan.”
Celestine berdiri, suaranya nyaris nyaring. “Bukti? Dunia ini tidak pernah butuh bukti untuk terbakar. Kau hadir, dan api mulai menyala.”
Desas-desus mulai bergaung di ruangan. Bangsawan saling berbisik. Beberapa bahkan berdiri.
“Cukup!” suara Duke Reginald memotong. Tongkat kayunya menghantam lantai.
“Kita tidak akan menjatuhkan keputusan sebelum...”
Pintu ruang majelis terbuka dengan keras.
Semua kepala menoleh.
Langkah-langkah berat bergema—menyeruak ke tengah ruang seperti badai yang mendadak menyerbu pesta teh.
Sosok tinggi masuk. Armor hitam mengilap menyelimuti tubuhnya dari kepala hingga kaki. Jubah panjang berkibar di belakangnya. Wajahnya tertutup helm besi berukir rumit—hanya mata perak yang tampak dari celah tipis. Mata yang seperti menembus setiap jiwa di ruangan itu.
Ia berhenti di tengah ruangan. Suara langkahnya terhenti... dan udara menjadi berat.
“Salam dari Ordo Malam,” katanya. Suaranya berat, dingin, namun seperti gema dari dalam sumur tua. Tak bisa dikenali usia maupun nadanya.
“Kami tidak memanggil siapa pun dari Ordo,” ujar Duke Reginald dengan ketus.
“Ordo tidak menunggu panggilan saat kegelapan mulai menyusup ke rumah para bangsawan.”
Mata perak itu menatap lurus ke arah Duke, lalu berpindah… ke arah Amara.
“Serangan semalam tidak berasal dari dalam kastil. Melainkan dari luar. Dan Lady Amara... bukan pelaku. Tapi target.”
Kejutan menyapu ruangan. Beberapa bangsawan langsung berdiri.
“Omong kosong!”
“Konspirasi murahan!”
“Mana buktinya?!”
Pria berarmor itu tetap diam. Lalu perlahan berkata, “Ada darah yang dicari. Dan mereka—yang menyusup malam itu—mencarinya.”
“Darah?” gumam Duchess Miralda. “Darah siapa?”
Pria itu diam, lalu dengan suara yang lebih pelan dan dalam berkata:
“Darah yang bisa membangunkan sesuatu yang lama tertidur.”
Seluruh ruangan sunyi. Bahkan hembusan napas pun terasa terlalu keras.
Amara menggigit bibirnya. Ia tahu siapa yang dimaksud. Tapi tak seorang pun boleh tahu... belum sekarang.
“Jadi,” tukas Celestine, “kau bilang—Lady Amara... adalah pemilik darah itu?”
Mata perak itu hanya berkilat. Tapi jawaban tidak keluar dari bibir logamnya.
Duke Reginald menyandarkan tubuhnya, menatap lelah.
“Kami akan mempertimbangkan semua informasi. Tapi... ini bukan saatnya menebar api lebih banyak.”
Celestine menatap Amara seperti harimau kelaparan.
“Kalau begitu, izinkan kami menjaga jarak dari Lady Amara... jika ia memang... ‘berharga’ bagi makhluk-makhluk malam.”
Suara tertawa pelan terdengar dari sudut ruangan. Tak jelas siapa yang memulainya.
Amara menatap sekeliling. Ia tahu—apapun yang terjadi hari ini, semuanya telah berubah.
Tiba-tiba, suara pria berarmor itu terdengar lagi.
“Lady Amara...”
Ia menoleh. Suaranya kali ini sedikit lebih pelan.
“Kau sebaiknya tidak sendirian malam ini.”
Amara menatap balik. “Apakah itu ancaman?”
“Bukan. Itu... peringatan.”
Ia membungkuk singkat. “Kau bukan musuhku. Tapi bukan berarti dunia akan berpikir sama.”
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan keluar, meninggalkan ruangan yang kini hanya dipenuhi desas-desus baru—dan ketakutan yang lebih besar.
Amara tetap berdiri di tempatnya bahkan setelah semua orang mulai meninggalkan ruang majelis. Kakinya gemetar, tapi ia menolak untuk jatuh. Ia sudah pernah berdiri sendirian dalam kehancuran yang lebih sunyi dari ini.
Tapi kali ini… seluruh dunia menyaksikan.
Seseorang menyentuh lengannya pelan. Seorang pelayan muda, mungkin tidak lebih tua dari dirinya di dunia lama. Matanya penuh iba, tapi juga takut.
“Lady Amara… biar saya antar kembali ke kamar.”
Amara menatap pelayan itu. “Tidak perlu. Aku tahu jalan.”
Ia melangkah melewati para bangsawan yang belum sepenuhnya bubar. Beberapa dari mereka pura-pura membenahi jubah, tapi mencuri pandang padanya. Beberapa bisik-bisik, suara mereka terlalu pelan untuk jelas, tapi cukup keras untuk menyakiti.
“—setengah iblis…”
“—perempuan mati, lalu hidup kembali? Itu sihir terlarang, pasti.”
“—jika memang dia target, maka rumah ini juga akan jadi kuburan kita.”
Amara mempercepat langkah. Setiap suara menusuk. Tapi bukan luka baru yang ia rasakan—melainkan luka lama yang dibuka paksa.
Saat ia hampir mencapai pintu keluar, seseorang menghadangnya.
Darian.
Wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi sorot matanya menghina.
“Selamat, Lady Amara. Kau berhasil membuat semua orang berbicara tentangmu lagi. Seperti dulu… tapi kali ini lebih menyeramkan.”
Amara mengangkat dagunya. “Dan kau tetap sama. Selalu ingin menertawakan orang yang berbeda.”
“Bukan soal berbeda,” katanya pelan. “Tapi soal berbahaya. Kau menarik kekuatan yang bahkan tidak kau pahami. Dan suatu hari nanti, kita semua akan membayar akibatnya.”
Ia pergi sebelum Amara bisa menjawab.
Amara menghela napas panjang. Lalu melangkah ke luar. Tapi bahkan lorong-lorong sunyi kini terasa seperti lorong pengadilan yang tak ada habisnya. Di setiap sudut, dia bisa merasakan tatapan. Ketakutan. Ketidaksukaan.
****
Saat kembali ke kamarnya, Amara mendapati jendela kamar terbuka sedikit. Angin malam masuk, membawa aroma lembap dari luar. Ia menutup tirai dengan keras, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.
“Darah yang membuka kehancuran…? Apa maksud semua ini?” gumamnya.
Tiba-tiba, rasa mual menghantam. Kepalanya berdenyut. Dadanya sesak. Suara-suara bisikan memenuhi kepalanya—bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri.
“Kau bukan milik mereka…”
“Buka mata… waktumu belum habis.”
“Berhenti…” bisik Amara sambil menekan kedua telinganya.
Tapi suara itu terus berdengung. Seperti nyanyian kuno yang tidak pernah ia pelajari, namun ia tahu nadanya dengan sangat pasti.
Lalu, seketika semua itu berhenti.
Sunyi.
Nafasnya berat. Tubuhnya gemetar. Ia terduduk di lantai.
“Kalau memang ada sesuatu dalam darahku… aku harus tahu. Aku harus cari tahu sendiri. Sebelum dunia menghancurkanku… lagi.”
****
Keesokan paginya, kabar kedatangan Ordo Malam menyebar ke seluruh pelosok kota. Para penjaga istana menambah jumlah pasukan. Pelayan berbicara dengan berbisik, para bangsawan mengadakan pertemuan diam-diam.
Tapi satu hal yang pasti…
Mata kini tidak lagi hanya mengarah pada Amara sebagai “gadis yang bangkit dari kematian”.
Melainkan sebagai teka-teki yang menakutkan—dan mungkin… kunci menuju masa depan Eidralith yang tidak mereka inginkan.
