Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Tubuh Baru, Dendam Lama

Bab 3 – Tubuh Baru, Dendam Lama

Seketika, Amara merasa tubuhnya jatuh.

Jatuh ke dalam sesuatu yang kosong, tapi juga penuh.

Warna-warna gelap mengalir seperti tinta dalam air, membentuk wujud-wujud aneh—tangan yang mencoba meraih, wajah-wajah tanpa mata, jeritan tanpa suara. Tapi semua itu hanya berlangsung sekejap… sebelum…

Amara menghirup napas dalam-dalam.

Dadanya naik turun dengan ritme cepat, tak beraturan. Napasnya terdengar kasar, serak, seolah paru-parunya baru saja diisi kembali setelah sekian lama tenggelam. Ia bisa merasakan tubuh. Tapi… tubuh siapa?

Kegelapan masih menyelimuti pandangannya. Ia mencoba membuka mata, tapi hanya bisa melihat siluet samar. Namun kulitnya bisa merasakan—tekstur kasar di bawahnya. Kayu. Udara terasa pengap, sempit, dan… ada aroma menusuk yang begitu asing.

Bunga. Tapi bukan wangi bunga segar.

Bau itu seperti bunga yang sudah terlalu lama dikubur, membusuk perlahan.

Dan lebih dari itu, ada bau logam yang samar, seperti darah yang telah lama kering. Baunya menguar tipis, cukup membuat perutnya mual.

Di mana aku...?

Dengan gemetar, Amara mencoba menggerakkan jari-jarinya. Mereka terasa lemah, tapi masih bisa menekan. Lalu perlahan ia menggerakkan tangannya, menyentuh sisi-sisi sekeliling tubuhnya—dan darahnya seketika membeku.

Dinding kayu. Di semua sisi.

Sempit. Gelap. Tertutup.

Peti mati.

Ia terbangun di dalam peti mati.

Panik menyergap seperti gelombang dingin dari ujung kaki ke ubun-ubun. Tubuhnya menegang. Napasnya memburu cepat, membentur dinding dada seperti ingin melarikan diri lebih dulu. Ia menggedor dinding kayu di atasnya, kuku-kukunya mencakar permukaan kasar dengan suara parau. Ia mencoba berteriak, tapi hanya batuk dan napas terputus-putus yang keluar dari tenggorokannya.

Apakah ini mimpi? Apakah ini… neraka?

Lalu—suara.

Langkah kaki tergesa. Teriakan kecil dari luar peti.

“Suara, Aku mendengar suara dari peti Tuan P-!! Tuan Putri!!”

Suara itu histeris, nyaris seperti ratapan. Suara seorang perempuan yang ketakutan setengah mati. Detik berikutnya, suara orang berlarian bergema di ruangan yang lebih luas.

Kemudian, krak!

Cahaya menyelinap melalui celah saat tutup peti dibuka dari atas. Cahaya itu menusuk mata Amara seperti ribuan jarum, membuatnya menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri. Siluet pertama yang ia lihat adalah seorang perempuan dengan celemek berenda dan topi pelayan. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar.

“Dewa… lindungi kami… dia benar-benar bangkit…”

Wajah-wajah lain mulai bermunculan. Pelayan lain mengintip dari balik tirai, sebagian mundur perlahan, hampir terjatuh karena ketakutan. Amara mengerjapkan mata, matanya menyesuaikan dengan terang. Langit-langit batu tua menyambut pandangannya. Tirai-tirai beludru merah tua menggantung dari dinding, dan lantai dihiasi karpet tebal berhias lambang asing.

Tempat ini… terlalu megah untuk disebut rumah.

Ia perlahan bangkit dari peti. Tubuhnya ringan, tapi terasa aneh.

Ia mengangkat tangan, memperhatikan jari-jarinya. Terlalu ramping. Terlalu bersih.

Tidak ada bekas luka kecil di jari telunjuk—luka yang ia dapat saat memotong bawang untuk bibinya.

Tidak ada kapalan di telapak tangan, hasil dari bertahun-tahun bekerja mencuci pakaian.

Tubuh ini… belum pernah menderita.

Dan itu membuat Amara muak.

Ia menunduk, melihat gaun satin putih yang membalut tubuhnya. Rambut panjang bergelombang mengalir di pundaknya, warnanya hitam kebiruan, jauh dari warna rambut Amara yang biasa ia kenal.

Lalu ia melihatnya—pantulan dari kaca kecil di samping ranjang kayu ukir.

Itu bukan dirinya.

Wajah yang menatapnya dari cermin memiliki mata abu-abu keperakan, kulit pucat seperti porselen, dan hidung mancung yang terlihat begitu aristokrat. Wajah itu cantik... anggun... asing.

“Ini… bukan aku…”

Suaranya sendiri terdengar seperti bisikan asing di ruangan sunyi.

“Panggil tabib… segera laporkan ke Duke. Lady Velanthea… dia bangkit dari kematian…” teriak seorang pelayan, panik.

Velanthea?

Nama itu terasa jauh, tapi juga seperti berbisik di dalam benaknya—berulang, lembut, dan dalam. Seolah nama itu telah ditanamkan sejak lama, tapi baru saja disiram untuk tumbuh.

“Velanthea…? Siapa itu…?” gumamnya pelan.

Pelayan tua yang berdiri paling dekat menunduk sangat dalam, suara gemetarnya menciptakan suasana yang lebih menegangkan.

“Anda, Your Grace. Nama lengkap Anda adalah Lady Amara Velanthea. Anda adalah putri satu-satunya dari Duke Reginald Velanthea.”

Jantung Amara berhenti sejenak.

“Amara…?” Ia menoleh cepat. “Tapi… itu namaku. Namaku sebelumnya. Tapi Velanthea…? Sejak kapan aku… bangsawan?”

Pikiran Amara mulai kabur. Ia merasa seperti berdiri di atas permukaan es tipis—satu gerakan salah dan semuanya akan pecah.

Kilasan ingatan datang berhamburan: wajah-wajah dari kehidupan lamanya. Bibinya yang kejam, Rika yang selalu menyindir, Dewa yang suka mempermalukannya, tawa yang mengejek, tamparan, hujan deras, jalan gelap, suara klakson… dan lalu—

Truk.

Tubuhnya terpental.

Dan segalanya menjadi gelap.

Tapi sekarang, ia di sini. Hidup. Di tubuh yang bukan miliknya.

Suara pintu besar terbuka memecah lamunan.

Ruangan menjadi senyap seperti kematian. Bahkan para pelayan menahan napas.

Langkah-langkah itu terdengar pelan tapi tegas, seperti bunyi detik jam yang menghitung mundur menuju kehancuran.

Ketika mereka muncul, cahaya dari jendela memantulkan siluet megah dari perhiasan dan bordir emas di pakaian—tapi bagi Amara, itu hanya lapisan tipis yang menutupi kotoran.

Kotoran yang dulu menyiksanya. Yang kini berdiri angkuh… di tanah barunya.

Amara membeku. Dunia berhenti berputar.

Wajah-wajah itu…

Mereka terlalu familiar. Meskipun kini dibalut kemewahan—gaun mahal dan jas bordir emas—tatapan mata mereka tetap sama. Tatapan yang dulu selalu membuat Amara merasa kecil dan tak diinginkan.

Rika. Dan Dewa.

Tapi sebelum ia sempat berkata apapun, pelayan di dekat pintu membungkuk dan menyebutkan nama mereka dengan penuh hormat,

“Lady Celestine dan Lord Darian, mereka datang sesuai panggilan.”

Celestine? Darian? Itu nama baru mereka?

Celestine—yang tak lain adalah Rika dalam tubuh bangsawan—melangkah maju. Gaun ungu gelapnya berdesir halus, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang mengerikan.

“Luar biasa. Mayat pun bisa bangkit sekarang?”

Lord Darian berdiri di sampingnya, menyilangkan tangan, matanya dingin.

“Ini jelas pertanda buruk. Kita seharusnya membakar tubuhnya, bukan menguburnya dengan kehormatan.”

Nafas Amara tercekat.

Mereka… bahkan tidak mengenalinya.

Celestine dan Darian tidak tahu bahwa perempuan yang mereka hina dulu kini berdiri di hadapan mereka. Hidup kembali. Dengan mata yang sama… tapi penuh dendam yang tak terucapkan.

“Kenapa kalian ada di sini?” suaranya nyaris tak terdengar, retak seperti kaca.

Celestine mendengus. “Pertanyaan aneh. Kau di rumah keluarga Durent. Kami tentu saja di sini. Di mana lagi seharusnya kami berada?”

Amara menggertakkan gigi. Mereka tinggal di rumah ini. Di dunia ini. Di dunia tempat ia terlahir kembali.

Dan yang paling menyakitkan—mereka hidup bahagia, tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Apa takdir masih mempermainkannya? Ketika ia mengalami kelahiran kembali, nasib buruk juga masih mengikut. Seolah, tidak cukup dengan dunia sebelumnya, dunia barunya juga tengah bersiap untuk mempermainkannya.

Namun, Amara menepis hal-hal tersebut. Ketika semua janji dan sumpah serapahnya sebelum kematian mendatanginya.

Bagus, pikirnya. Bagus sekali.

Karena sekarang mereka tidak melihatnya sebagai ancaman.

Dan itu… akan jadi kesalahan terbesar mereka.

Amara menatap tajam. Ia menggenggam gaunnya erat-erat, menahan gemetar di tangannya.

Tapi di balik wajah tenang itu…

Ia akan membangun rencana. Satu per satu. Diam-diam. Licik.

Dan saat waktunya tiba…

Celestine dan Darian akan merasakan bagaimana rasanya dihancurkan dari dalam—seperti dulu mereka menghancurkannya.

Amara menunduk, menutupi senyuman kecil yang perlahan terukir di wajahnya. Tapi bukan senyum bahagia—melainkan senyum dingin, pelan-pelan merekah seperti racun yang mulai bekerja.

Jika dunia memberi kesempatan kedua, maka itu bukan untuk menangis lagi.

Kesempatan ini akan ia gunakan… untuk menghancurkan.

Ia akan menunggu. Diam. Belajar. Menyusup ke celah-celah kelemahan mereka.

Ia akan memelintir luka-luka lama menjadi senjata, dan menjadikan kelembutan wajah barunya sebagai topeng.

Amara tidak butuh belas kasihan. Yang ia butuhkan hanya satu: pembalasan.

Dan ketika waktunya tiba, Celestine dan Darian tidak akan tahu dari mana datangnya badai.

Mereka akan tertawa seperti biasa… hingga semuanya terlambat.

Amara melangkah pelan menuju jendela besar di sisi ruangan. Tirai beludru digeser pelan oleh jemarinya yang dingin.

Di luar, taman luas terbentang. Bangunan-bangunan megah berdiri jauh di kejauhan.

Dunia ini terlalu indah untuk tempat penuh kebusukan.

Tapi…

Bukan sebagai korban.

Bukan sebagai gadis yang dulu dibuang dan dilupakan.

Tapi sebagai—

Amara Velanthea

…yang akan membuat mereka semua berlutut di hadapannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel