Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Sumpah Terakhir

Hujan turun deras. Aspal basah memantulkan cahaya lampu jalan yang buram, membentuk bayangan gemetar di malam yang dingin. Tubuh itu tergeletak di pinggir jalan—keringat, darah, dan air hujan bercampur jadi satu, menciptakan genangan yang perlahan melebar di bawahnya.

Napasnya nyaris tak terdengar. Terputus-putus. Tak ada yang menggenggam tangannya. Tak ada yang berteriak memanggil namanya. Tak ada pelukan terakhir, tak ada bisikan penghibur. Hanya suara klakson yang menjauh dan langkah-langkah asing yang tetap berjalan, seolah keberadaannya tak lebih dari rintik hujan yang terinjak.

Kesepian.

Itu hal terakhir yang Amara rasakan. Bukan sakit. Bukan takut. Tapi sepi… yang menggerogoti dari dalam. Seolah dunia mengucilkannya hingga detik terakhirnya.

Tiba-tiba, potongan kenangan menyelinap ke dalam kesadarannya. Seperti layar retak yang memperlihatkan serpihan masa lalu.

Suara tawa.

Tangisan bayi yang dibuai dalam pelukan hangat ibunya.

Ayahnya yang berdiri di teras rumah mungil mereka, memanggil namanya dengan suara hangat penuh semangat, sambil menyiapkan mainan kayu buatan tangan—sebuah kuda-kudaan kecil yang diukir dengan sabar setiap malam setelah pulang kerja. Serbuk kayu masih menempel di bajunya, dan jemarinya penuh goresan luka kecil, tapi matanya bersinar bangga saat memperlihatkan hasilnya. “Ayo, coba duduk di sini. Ayah bikin ini khusus buat pahlawan kecil Ayah,” katanya, membuat Amara berlari menghampiri dengan tawa riang dan mata berbinar.

Namun itu… dulu. Sebelum segalanya runtuh.

Keluarganya bahagia. Sederhana, tapi utuh. Ia masih ingat rasa kue buatan ibunya setiap Minggu pagi—kue pisang hangat dengan aroma kayu manis yang memenuhi dapur kecil mereka. Ibunya selalu menyelipkan kecupan di pelipisnya saat menyajikan sarapan, dan ayahnya akan duduk di kursi rotan tua, menggoda mereka sambil memainkan ukulele usang kesayangannya.

Malam hari, Amara akan meringkuk di antara kedua orang tuanya di kasur sempit, mendengarkan dongeng sebelum tidur—tentang putri pemberani yang menyelamatkan kerajaannya, bukan karena sihir, tapi karena keberanian dan hati yang besar. “Kamu juga bisa jadi seperti dia,” bisik ayahnya sambil menyelimutinya. Dan ibunya hanya tersenyum, membelai rambutnya pelan.

Dan ada seorang lagi, yang begitu memberikan warna dalam hidupnya.

Senyum yang selalu menunggunya di depan sekolah. Jemari yang menggenggam tangannya saat ia takut. Suara tawa itu… kekasihnya. Renwald. Satu-satunya yang membuat dunia remaja Amara terasa tak seburuk itu.

Mereka bukan pasangan yang penuh drama atau pamer. Tapi di antara tumpukan buku dan mimpi-mimpi kecil, mereka membangun dunia mereka sendiri. Dunia yang penuh rencana kecil—menabung untuk beli motor bekas, cari kosan bareng setelah lulus, hidup sederhana tapi bahagia.

Renwald pernah berkata, “Kalau kamu nggak bisa nemuin cahaya, aku bakal jadi cahayanya buat kamu.” Dan bodohnya, Amara percaya. Percaya kalau dunia takkan pernah tega memisahkan mereka.

Tapi hidup, seperti biasa, tak pernah mengizinkan bahagia bertahan lama.

Kecelakaan. Mobil rem blong. Orang tuanya pergi dalam sekejap. Dunia yang hangat itu meleleh jadi abu, dan Amara, yang masih remaja, dilempar ke tangan keluarga ibunya yang nyaris asing.

Paman. Bibi. Dua saudara tiri yang selalu menatapnya seolah ia penyakit.

“Anak ini cuma beban,” kata bibinya suatu malam. Amara mendengarnya dari balik pintu.

Sejak itu, ia bukan lagi Amara yang punya tempat. Ia cuma pengisi kosong di rumah yang tak menyambutnya. Tak ada canda, tawa, dan gurauan. Tak ada cerita sebelum tidur. Tak ada pelukan setelah mimpi buruk. Hanya perintah—setumpuk cucian, lantai berdebu yang harus ia bersihkan, dan makanan dingin yang ditinggal di meja tanpa sepatah kata pun.

Ia tidur di gudang. Di atas kasur tipis yang sudah sobek-sobek, ditemani tikus dan bau lembap.

Kadang saat malam, saat tubuhnya menggigil dan perutnya melilit karena lapar, ia menutup mata dan membayangkan kembali dapur hangat milik ibunya. Suara ketukan sendok di piring. Bau minyak kelapa. Tawa ayahnya. Pelukan Renwald. Tapi begitu membuka mata, yang ia lihat hanya langit-langit berjamur dan nyamuk yang berdengung di telinganya.

Hari-hari berikutnya hanya makin buruk.

Bibinya sering membentaknya tanpa alasan. Kadang memukul jika pekerjaan dianggap lambat, walau tak pernah diajarkan. Paman hanya diam, terlalu sibuk berjudi atau mabuk. Saudara tirinya suka melemparkan hinaan yang menusuk, bahkan kadang menyentuh Amara dengan cara yang membuatnya ingin muntah.

“Jangan berisik. Kalau kamu cerita ke siapa-siapa, aku bakal buang kamu ke jalan,” ancam si sulung suatu malam, ketika Amara berani menepis tangannya.

Amara menyimpan semuanya sendiri. Luka-luka itu. Ketakutan itu. Ia bertahan karena satu alasan: ia ingin bebas. Ia ingin lepas dan menemui Renwald. Ia ingin hidup.

Tapi hari itu—hari sial itu—semua harapan itu dihabisi. Para penagih utang datang, membawa nama pamannya, menyebut nominal yang tak pernah ia tahu. Renwald yang tiba-tiba mengakhiri hubungan yang penuh dengan kehangatan.

Dan pelariannya, tiba-tiba membuat dunia berhenti. Cahaya lampu jalan pecah seperti bintang yang mati. Darah mengalir dari pelipisnya, menghangat sebentar sebelum dingin menyusup.

Sekarang, ia tahu. Ia takkan bangkit lagi.

Dengan sisa tenaga, ia menatap langit. Air hujan membasahi wajahnya, menyatu dengan air mata yang tak sempat ia tumpahkan selama ini.

“Kalau aku bisa hidup lagi…”

Bisikannya hampir tak terdengar, tapi ia tahu alam semesta mendengarnya.

“Aku akan membalas semuanya… semua yang membuatku kehilangan… semua yang menghancurkan hidupku… yang mengambil orangtuaku… yang memisahkan aku dari Renwald…”

Matanya perlahan menutup, tapi bibirnya masih bergerak.

“Aku akan jadi orang yang membuat mereka tunduk. Mereka semua akan menyesal.”

Senyum tipis muncul di bibirnya yang membiru. Bukan karena damai. Tapi karena tekad yang membara hingga ke kematian.

Dan saat jantungnya berhenti berdetak—

Gelap.

Sunyi.

Kosong.

Lalu…

Sesuatu pecah di dalam kegelapan itu. Bukan cahaya. Bukan suara. Tapi rasa—rasa seperti ditarik dari perut bumi, diseret paksa menembus lapisan-lapisan yang dingin dan berat. Jiwanya tak lagi ringan. Berat oleh dendam. Oleh kehilangan.

Ada desiran angin… tapi bukan angin dunia. Rasanya asing. Aroma tanah basah, namun bukan hujan yang tadi membasuh tubuhnya. Suhu yang menusuk, tapi bukan dingin yang ia kenal.

Seketika, Amara merasa tubuhnya jatuh.

Jatuh ke dalam sesuatu yang kosong, tapi juga penuh. Warna-warna gelap mengalir seperti tinta dalam air, membentuk wujud-wujud aneh—tangan yang mencoba meraih, wajah-wajah tanpa mata, jeritan tanpa suara. Tapi semua itu hanya berlangsung sekejap… sebelum…

Amara menghirup napas dalam-dalam.

Dadanya naik turun. Ia bisa merasakan tubuh. Tapi… tubuh siapa?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel