Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1: Dunia yang Menghancurkan Amara

Langit sore memudar dalam semburat jingga, seperti luka lama yang terus diusap tapi tak pernah sembuh.. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan asap dari dapur rumah-rumah sempit di pinggiran kota. Di sebuah sudut kecil, seorang gadis merapikan jemuran terakhir sambil menyeka keringat dari dahinya yang lembab. Tangan-tangannya merah, kasar, dan basah oleh sabun cucian sejak pagi.

Dari dalam rumah terdengar suara panci jatuh, diikuti suara nyaring yang langsung menembus dinding tipis itu.

“Hei! Kamu belum nyapu halaman?! Jangan cuma mandangin langit kayak orang bego!”

Gadis itu mengangkat kepalanya. Napasnya berat. Tapi dia tetap menjawab, “Iya, Bu.”

“BU?! Aku ini siapa, hah? Gak usah sok akrab, dasar numpang!”

Dia menggigit bibirnya, menahan reaksi. Ia tahu, membantah hanya akan membuat piring melayang atau seember air sabun tumpah ke kepalanya. Sudah biasa. Ia terlalu biasa dengan semua ini.

Rasanya seperti hidup dalam medan perang. Tapi bukan perang dengan senjata—melainkan dengan kata-kata tajam, sorot mata sinis, dan keheningan yang menusuk.

Ia tahu, bahkan diam pun bisa jadi alasan untuk dibenci di rumah ini.

Pernah sekali ia menangis di kamar. Tapi esoknya, ia dihukum tidak diberi makan. Sejak itu, air matanya mengering. Ia belajar untuk tidak menunjukkan luka, karena di tempat ini, luka dianggap alasan untuk menyalahkan.

Langkahnya perlahan masuk ke rumah. Dapur sempit dengan lantai lengket, suara TV yang keras dari ruang tengah, dan dua sepupu yang tertawa-tawa sambil bermain game di kasur empuk—semua terasa asing. Seolah ia hidup di dunia yang sama sekali bukan miliknya.

“Amara!”

Dia menoleh cepat. “Ya?”

Bibinya menunjuk lantai kotor. “Itu sapu! Nunggu aku sapuin semua ya?”

Amara mengangguk lemah, mengambil sapu, dan mulai menyapu halaman yang penuh daun kering dan puntung rokok. Matahari sudah hampir tenggelam saat ia menyelesaikan semuanya. Tangannya kaku, punggungnya pegal, dan sandal jepitnya sobek sebelah. Tapi ia tetap diam.

Sore berganti malam, dan dapur mulai riuh. Tapi bukan untuknya. Makan malam selalu tersedia untuk empat orang—bibinya, pamannya, dan anak-anak mereka. Dia? Kadang diberi sisa. Kadang cuma nasi dingin. Kadang tidak sama sekali.

“Mar, kamu belum makan?” tanya paman setengah mabuk saat melihatnya melintas.

Amara menggeleng, berusaha tersenyum. “Nanti aja, Paman. Masih kenyang.”

Padahal perutnya kosong sejak pagi.

Ia kembali ke kamar kecil di pojok belakang—bukan kamar, lebih seperti gudang yang diberi tikar. Bau apek dan debu menyambutnya setiap kali pintu kayu reyot itu dibuka. Ia duduk, memeluk lutut. Lelah. Tapi matanya belum ingin terpejam.

Di meja kayu usang, ada foto kecil orang tuanya. Senyum mereka yang membeku dalam bingkai plastik murahan adalah satu-satunya kekuatan tersisa.

"Ma... Pa... kalau kalian masih ada, aku gak akan hidup kayak gini..."

Suara itu hampir tak terdengar. Tapi isinya penuh luka.

Dulu, saat orang tuanya masih hidup, ia merasa dunia penuh warna. Tapi semuanya hilang dalam semalam. Kecelakaan itu merenggut segalanya. Ia dilempar ke rumah ini. Dan sejak itu, waktu hanya berjalan untuk menyiksanya.

Satu-satunya tempatnya bernafas adalah tempat kerja—sebuah laundry kecil di pinggir jalan. Di sana, meski tangannya lecet oleh detergen dan tubuhnya pegal karena setrika panas, Amara merasa sedikit dihargai. Ibu pemilik laundry memang cerewet, tapi ia tak pernah membentak. Bahkan kadang memberinya teh hangat di pagi hari.

Kadang-kadang, pelanggan tetap tersenyum padanya dan berkata, “Terima kasih ya, dek.” Dua kata sederhana itu bisa membuatnya bertahan hidup sehari lagi.

Satu lagi tempat untuknya merasa hidup, Renwald.

Lelaki itu muncul di hidupnya waktu SMA. Manis, perhatian, dan katanya mencintainya. Mereka sering berbagi mimpi di bawah langit malam, duduk di pinggir danau atau taman kota.

“Aku bakal selametin kamu dari semua ini, Mar,” ucapnya waktu itu. “Kita bakal hidup bareng, kerja keras, bangun rumah kecil. Gak mewah, tapi cukup buat bahagia.”

Amara percaya. Ia menggenggam janji itu seerat hatinya menggenggam harapan.

****

Dan sore ini, saat ia pulang lebih cepat karena bosnya sedang ke luar kota, Ia membawa sebungkus roti sobek, niatnya sederhana—makan berdua sambil ngobrol, seperti dulu. Amara bahkan sudah merencanakan percakapan dalam kepala, membayangkan bagaimana Renwald akan tersenyum saat melihatnya datang tiba-tiba.

"Aku ingin percaya... bahwa hidup tak hanya tentang bertahan, tapi juga menemukan alasan untuk bahagia. Dan sore ini, alasanku adalah Renwald."

Ia mengenakan baju terbaik yang ia punya—kaos biru polos yang sudah sedikit memudar tapi bersih dan rapi. Hatinya dipenuhi harap kecil... sebelum dihancurkan.

Langkahnya berhenti. Di balik kaca depan sebuah mobil, Renwald tertawa. Bersama perempuan lain. Berambut panjang, berpakaian trendi. Dan yang paling menyakitkan: mereka berciuman. Di tempat umum. Di mobil yang dulu jadi tempat mereka memimpikan masa depan.

Amara membeku. Matanya panas. Kakinya gemetar. Hatinya jatuh dalam keheningan yang menyiksa. Pandangannya kabur. Ia mundur, pelan, hingga tubuhnya menabrak tiang. Seseorang bertanya apakah ia baik-baik saja, tapi ia tak menjawab.

Ia pulang seperti mayat berjalan. Dunia terasa asing. Udara jadi tipis. Di pikirannya, hanya ada satu kata: bohong.

“Jantungku berdetak terlalu cepat... bukan karena cinta, tapi karena patahnya mimpi yang sudah kugenggam bertahun-tahun.” Batinnya menahan tangis. “Satu-satunya orang yang memanggilku dengan suara hangat, kini tak lagi menginginkanku.”

****

Setibanya di rumah, ia duduk diam di depan pintu kamar. Wajahnya pucat, matanya merah. Tapi belum sempat menarik napas panjang, pamannya menghampiri dengan langkah tergesa.

“Mar, kamu bisa bantu paman, kan?”

“Ada apa?”

“Paman minjem duit. Cuma buat puter modal. Tapi sekarang orangnya nagih. Banyak banget. Tiga puluh juta.”

Amara terbelalak. “Aku gak punya uang, Paman. Aku kerja di laundry, gaji harian, bahkan buat makan aja kadang gak cukup...”

“Ya cari pinjaman dong! Kamu bisa, kan?! Masa kamu tega liat paman dipukulin? Gak tahu diri kamu!”

Tantenya keluar dari dapur, menambahkan, “Dia gak bakal ngerti. Dasar anak piatu gak tahu balas budi. Numpang makan, numpang tidur, masih banyak alasan!”

BRAK!

Suara ketukan keras menggema dari pintu utama rumah. Disusul suara motor berhenti di depan. Paman Amara langsung panik. Ia melongok ke arah jendela depan dengan napas memburu.

“K-kayaknya itu mereka…” gumamnya dengan wajah pucat.

Ketukan makin keras.

TOK! TOK! TOK!

“Pak Arif! Keluar! Kami dari pihak penagih. Waktunya udah lewat, dan bunga nambah terus!”

Amara tertegun di ambang pintu dapur, bisa mendengar suara itu jelas. Langkah kaki paman tergesa menuju pintu depan. Tapi bukannya membuka, ia malah menoleh ke arah Amara, penuh tekanan.

“Kamu aja yang keluar. Bilang kamu siap bantu. CEPET!”

“APA?!”

“Kamu bisa, kan? Gadaikan barang, pinjam dari teman, apapun! Yang penting lunas malam ini!”

Amara menggeleng. “Aku kerja. Tiap hari. Semua kerjaan rumah aku kerjain. Tapi kalian anggap aku beban. Kalian… kalian gak pernah sayang sama aku…”

“Kurang ajar kamu!”

CRASH!

Sebuah piring dilempar—nyaris mengenai wajahnya. Refleks Amara menunduk, dadanya berdegup cepat. Tapi kali ini, dia tidak diam.

Amara berbalik. Dengan napas terengah dan dada sesak, ia membuka pintu depan rumah—tidak untuk menuruti mereka, tapi untuk pergi.

Begitu pintu terbuka, udara dingin malam menyambutnya. Dan di depan pagar rumah yang setengah terbuka itu…

Dua pria bertubuh besar berdiri. Salah satunya—si botak bermata tajam—menatap Amara dari ujung kepala hingga kaki. Yang satu lagi menyeringai sinis sambil merokok.

“Ini anaknya?” tanya si botak.

Amara menelan ludah. Tak menjawab.

“Anak manis. Bisa dijual buat bayar bunga,” ejek pria satu lagi sambil tertawa pendek.

Dan saat itu…

“Lari.”

Suara di kepalanya membisik keras.

Dan Amara langsung menuruti. Ia berbalik, berlari keluar dari rumah. Terdengar suara paman memanggil panik, tantenya berteriak, dan langkah berat para debt collector memburu dari belakang.

Ia menyeberang jalan, berbelok ke gang sempit, menabrak tumpukan kardus, nyaris jatuh, tapi terus lari. Kakinya terluka oleh kerikil yang berserakan. Tapi ia terus berlari. Sampai akhirnya suara motor menjauh, dan ia bisa bersembunyi di balik kios tutup.

Ia gemetar. Keringat dingin membasahi lehernya. Hatinya sesak. Dunia rasanya menelannya hidup-hidup. Setelah ia rasa aman, Amara keluar dari tempat persembunyiannya. Berjalan tak memiliki arah.

Ponselnya berdering.

Renwald – Nama yang muncul di layar.

Dengan tangan gemetar, ia angkat.

“Halo...”

“Mar... tadi kamu ke kampus ya?”

Ia diam.

“Dengerin ya. Aku... aku gak bisa lagi sama kamu. Aku... ada jalan hidup sendiri. Kamu kuat, kamu pasti bisa sendiri. Maaf…”

Klik.

Panggilan berakhir.

Amara menggenggam ponselnya erat-erat. Tangannya gemetar. Lalu memeluk lututnya dan menangis. Ia terduduk di trotoar yang dingin. Tamat sudah segalanya. Tiada arti lagi hidupnya. Satu-satunya harapan, satu-satunya cahaya dalam hidupnya, kini telah hilang.

Ia menggigit bibirnya, menahan isak yang pecah jadi erangan. Seolah takdir sengaja meniup cahaya itu sekencang mungkin, hingga padam sepenuhnya.

Amara kembali bangkit, berjalan gontai tetap tak memiliki arah. Rumah? Baginya itu hanya makna kiasan dari neraka. Ia terus berjalan seolah nyawa sudah tak berada pada raganya. Tak peduli orang-orang yang melintas. Tak peduli lampu jalanan yang berkedip. Tak peduli dunia.

Saat itu, semuanya runtuh bersamaan.

Rumah bukan rumah.

Keluarga bukan keluarga.

Cinta pun ternyata palsu.

Ia berdiri. Melangkah. Tak tahu ke mana. Yang ia tahu hanya satu: tidak ada tempat yang benar-benar menerima dirinya.

Hujan turun pelan. Tapi dia terus berjalan. Menyusuri jalan raya, menyeberangi zebra cross yang mulai lengang.

Jika ini adalah hidup, maka hidup telah memutuskan untuk menyingkirkannya. Dan ia? Tak lagi punya alasan untuk tetap ada.

“Andai saja aku bisa pergi... ke tempat yang tak ada satu pun dari mereka. Dunia lain mungkin...”

Suara klakson mengagetkannya. Lampu truk besar menyilaukan matanya.

Amara menoleh.

Langkahnya terhenti.

Dan saat suara klakson itu menjerit, dunia menjadi putih.

Seputih langit yang dulu mereka tatap bersama.

Seputih harapan yang kini tinggal kenangan.

Dunia perlahan kehilangan suara.

Yang tersisa hanyalah…

gelap.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel