5
Suasana hening sesaat, saat itu aura di meja makan yang besar terasa menjadi suatu kehororan tersendiri bagi Rossie, hawa dingin seolah menyelimuti dirinya.
Bagaimana Rossie tidak bergidik ngeri, sekarang ini dia duduk bertiga bersama istri pertama suaminya. Suami ...yang dengan terpaksa dia nikahi berdasarkan kontrak perjanjian.
Dengan hati berat Rossie mengangkat wajahnya dan menoleh jengah pada Shania.
" Iya terima kasih nyonya Shania." jawabnya singkat.
Rossie lalu memaksakan diri mengambil santapan di piring yang disiapkan oleh wanita berparas manis itu.
Ketika Rossie menelan makanan itu, bagaikan sedang mengunyah batu berat yang menimpa perutnya. Rasanya situasi sangat mencekam baginya saat itu.
Shania tersenyum miring melihat Rossie menyantap menu hidangan yang diberikan olehnya, sebenarnya dia telah menaruh serbuk obat yang akan membuat pencernaan Rossie terganggu semalaman.
Shania memang sengaja melakukannya, dengan tujuan untuk menggagalkan keinginan malam pertama Evan.
Sejurus kemudian Eva n menyudahi aktivitas makan malamnya, dia berdiri dari duduknya, penuh ketenangan dan wibawa.
Pria itu melangkah pelan menghampiri Rossie pria dengan tinggi badan 190 cm itu lantas sedikit merunduk. Suaranya berbisik pelan dengan nada dingin di telinga istri keduanya.
" Malam ini kutunggu dikamar, aku menginginkanmu."
" Hmm.. ta-tapi tuan," Rossie menyela tergagap.
Rasanya dia ingin melarikan diri saja dari mansion mewah milik suaminya.
" Tapi apa!"
" Apa kamu sudah lupa dengan apa yang sudah kamu tanda tangani di kertas perjanjian saat di penjara?!"
" A-aku tidak lupa, aku ingat semuanya...tapi_"
" Tidak ada tapi. Kau sudah paham bukan, jadi jangan coba membantahku" sentak Evan ketus sembari berjalan meninggalkan kedua perempuan itu.
Sepeninggal Evan hanya tinggal Shania dan Rossie yang masih tersisa di ruangan.
" Well...mari kita lihat trik apa yang akan kamu coba mainkan pada suamiku, hei kamu perempuan miskin?!"
" Aku yakin kamu ada maksud terselubung dibalik upaya pernikahanmu dengan Evan." Hmm... kamu sedang mengincar hartanya bukan?! Dasar gold digger!"
Rossie menoleh tajam, nafasnya terengah mendengar ucapan Shania. Walau harga diri nya seolah dijatuhkan ke dasar jurang yang terdalam. Penghinaan Shania serasa menamparnya keras.
Tapi kemudian, Rossie berpikir tak ingin mendebat dan memperpanjang urusan, dia malas meladeni wanita itu. Yang menjadi fokus utama gadis itu hanya Henry, ayahnya.
" Saya bukan gold digger, tak pernah terpikirkan sampai kesitu!"
" Terserah apa yang akan nyonya katakan padaku."
" Tapi, maaf nyonya, saya tak mengerti maksud pertanyaan anda. Hanya satu yang pasti, tolong anda ingat, saya tak pernah ingin menikah dengan tuan Evan situasi yang terpaksa menjebak saya dalam kondisi perkawinan yang rumit seperti ini."
" Andai kata tuan Evan bersedia melepas aku dan ayahku, detik ini juga aku lebih memilih pulang kembali ke rumah kami."
Rossie menjeda sejenak, nafas nya memburu. Hatinya terasa diremas kencang.
" Tapi bila aku secara egois pergi begitu saja, ayahku akan celaka. Jadi tujuan utama aku menikah dengan tuan Evan... adalah untuk melindungi serta menyelamatkan ayahku!"
" Dan sekarang, maaf saya permisi... tuan Evan tadi bilang akan menunggu saya di kamar."
Setelah memberi satu anggukan, Rossie berdiri dan dengan cepat mengayun langkah kakinya.
" Cih...dasar miskin masih berlagak pula, dia pikir akan menjadi nyonya besar Miller di rumah ini."
" Eh kamu, berkaca lah dan sadar diri, ingat darimana kamu berasal dan status sosial yang dimiliki!"
Shanis mendengus dan menimpali dengan ucapan yang lantang menggema ke seluruh dinding ruangan, hingga kalimat demi kalimat yang menusuk itu terdengar oleh Rossie, yang sedang berjalan menjauh.
Rossie mengepalkan erat kedua telapak tangannya, dadanya sesak oleh emosi yang siap meledak. Ingin hati rasanya mendebat dan melawan perkataan Shania tapi dia memilih diam.
Gadis berambut cokelat itu melangkah sangat pelan dengan kecepatan yang terukur, selaras dan seirama dengan degup jantungnya yang berdetak kencang, dalam kesunyian yang membeku.
Dan kemudian langkah gadis itu berakhir di depan pintu kayu yang berukir indah.
Rossie saat ini berada didepan pintu kamar dan hatinya dihinggapi keengganan saat hendak masuk. Gadis itu merasa gugup karena dia sangat tahu persis siapa yang sudah berada di dalam kamar, menantinya.
Benaknya seolah berpikir berlarian bahwa di dalam sana ada seorang predator yang akan menerkam mangsanya dengan buas.
" Hmm..ayo Rossie, kamu sangat bisa dan mampu untuk menolong ayahmu, kuatkan hatimu," engah gadis bermata hazel indah itu.
"Inilah saat dimana aku akan kehilangan harga diriku."
Menghela dan menghembus nafas panjang dengan berat, lalu gadis cantik ini membuka pintu kayu yang kokoh dan berukir emas.
KRETT..
Rossie berjalan memasuki ruangan, tapi baru juga dua langkah mendadak perutnya terasa melilit dan sangat tidak nyaman.
" Kenapa perutku tetiba ingin muntah rasanya sangat kembung, mungkinkah karena efek ketegangan yang berlebihan. Hingga kini lambung ku bermasalah?" gumamnya di dalam hati.
Rossie menyapu pandang ke sekeliling kamar, dia dapat melihat Evan sedang duduk disofa besar sambil memandanginya lekat.
" Hmm.. akhirnya kau datang juga scelta , kenapa lama sekali? Aku sudah dari tadi hampir mati kebosanan karena lelah menunggumu?" ujar Evan sarkasme ,sembari mendengus kesal.
" Maaf tuan Evan," jawab Rossie singkat.
Evan mendengus dan mengangkat sebelah alisnya. Suara berat pria itu kembali menggema.
"Sekarang, cepat buka bajumu dan lalu gantilah dengan baju sexy yang ada diatas kasur itu. Aku sudah sengaja menyiapkannya untukmu!" timpal Evan dingin.
Pandangannya mengarah pada secarik kain di atas ranjang besar nan mewah.
Masih dalam kondisi perut yang mual. Rossie mengayun langkah ke arah kasur lalu mengambil pakaian yang diperintahkan suaminya.
Pada saat melihat kain tipis yang tampak kurang bahan itu nafas Rossie tercekat.
" Tapi tuan ...baju apa ini kenapa modelnya seperti ini?" Rossir mengernyit seraya memandangi lingerie seksi berwarna merah dengan renda tipis di ujung bawahnya.
" Cih..kau banyak tanya, cepat pakai itu atau aku sendiri yang sekarang akan memakaikannya padamu!"sentak Evan menyeringai dingin.
" Ja-jangan, biar aku saja yang lakukan."
Rossir lekas menuju kamar mandi, dengan diiringi langkah gontai. Tapi setelah berada di dalam kamar mandi, Rossie merasa perutnya kembali tidak nyaman dan rasa mual menderanya, hingga rasanya tak tertahankan ingin segera muntah.
" Hoekk...hoekk
" Hoekk..
Istri kedua Evan itu memuntahkan isi perutnya beberapa kali, wajahnya pucat dan perutnya terasa seperti diremas.
" Aakkh... kenapa perutku jadi mual begini?!" Rossie bersandar lemas pada dinding kamar mandi.
Sedetik berikutnya gadis itu kembali muntah-muntah.
" Hoekk.. hoekk
Rossie mengangkat wajah lalu mencuci mukanya juga membersihkan mulutnya.
Terdengar pintu kamar mandi terbuka, Evan masuk ke dalam karena mendengar suara berisik sang istri dari dalam.
" Ada apa denganmu? kenapa lama sekali apa kamu sengaja membuatku menunggu..hah?!" Evan mengamati Rossie yang tengah memegang erat pinggiran keramik wastafel.
Wajah cantik itu tampak pucat dan letih, mendung bergelayut di matanya.
" Kau masih juga belum berganti baju?"
" Ma-maaf tapi mendadak perutku tidak nyaman serta merasa mual" lirih Rossie dengan wajah yang semakin pucat.
" Apa?! Yang benar saja."
" Huh..dasar banyak alasan, kau tahu kan aku bukan orang yang bisa bersabar."
Evan berjalan mendekat, dan saat tepat berada dihadapan Rossie, lengan kekarnya memegang pundak Rossie. Dia sendiri yang berniat hendak melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuh sintal.
Namun apa daya, Rossie yang merasa lemas saat itulah merasakan kesadarannya mulai hilang lalu dia jatuh pingsan begitu saja tepat di badan suaminya. Tapi sebelum itu terjadi, gadis itu kembali muntah.
" Heii.. Rossie..!"
"What the F**k!"
Evan menghela gusar, wajahnya menggelap.
" Kenapa sih dia ini, menyusahkan saja jadi orang, mana bajuku kotor," kernyit Evan sambil menutup hidungnya.
Evan menggerutu tetapi tak urung pria itu menahan tubuh sang istri dengan kedua lengan kekarnya.
" Sial ada-ada saja, kenapa juga harus pingsan di saat malam pertama."
" Mana hasrat ku sudah tak tertahan," gerutu Evan geram sekaligus merasa dirinya konyol seolah menjadi lelucon yang tak lucu sama sekali.
Mau tak mau pria tampan bermata kelabu itu lantas membopong raga istrinya kemudian perlahan membaringkannya di tempat tidur king size.
Setelah itu dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang yang dia kenal.
" Hallo dokter Rico, datanglah ke mansion saya sekarang, tolong kamu periksa seorang wanita yang tiba-tiba saja pingsan.''
Evan mengamati Rossir yang terbaring lemah di ranjang, dia merasa tak percaya dengan apa yang sedang dihadapinya kali ini.
" Apa mungkin kamu sengaja melakukan hal ini untuk menunda waktu, damn?!" ucapnya kesal.
" Ti-tidak tuan.." lirih Rossie menjawab. Gadis itu pun sama sekali tak mengerti apa-apa.
Evan keluar dari kamar dengan wajah muram, di lorong ruangan yang besar, dia berpapasan dengan Shania
" Evan, kenapa malam pertama malah jalan-jalan disini, bukannya mendekap dan berc**ta hingga pagi dengan tubuh istrimu yang masih muda itu?" tanya Shania menyeringai sinis.
" Tutup mulutmu!" Evan mengangkat sebelah tangan nya.
" Kalau tidak_"
" Kalau tidak diam_ apa? Kau mau apa?"bentak Shania.
" Akan menamparku, silahkan tuan Evander," gelak Shania seraya menyodorkan sisi kiri pipi mulus nya yang lembut.
Evan mendelik sewot dan meraih kasar dagu Shania, pria itu menyambar c**man dari bibir merah merona.
" Stop.. lepaskan, sialan kau. Aku sudah bilang untuk tidak menyentuhku lagi, kita sudah bercerai."
"Apa kamu lupa Evan, itu adalah syarat aku mengijinkan mu menikah dengan pel***r kecil yang ada di kamarmu, that shit!"
" Kamu _dasar sial!"
Evan melepaskan genggaman di wajah Shania lalu melengos, memutuskan bergegas turun kebawah dia hendak ke dapur untuk mengambil air dingin.
Sesampainya di ruang makan Evan meneguk habis bir dingin yang diambilnya dari kulkas.
" Shania...hmm sialan wanita itu, selalu mengikatku dengan ucapan racunnya, aku pastikan akan segera menghamili Rossie secepatnya, agar aku bisa terbebas dari wanita ular itu," ujar Evan gelisah dan termangu.
Lamunan Evan buyar saat ada pembantu yang datang menghampirinya.
" Tuan, ada dokter Rico sudah datang dan menunggu anda di depan."
" Oke, aku kesana."
Evan mendapati seorang pria paruh baya yang mengenakan jas dokter tersenyum lebar.
" Tuan Evan, saya segera kesini, sesuai instruksi. Dimanakah wanita yang harus saya periksa, apa dia teman tidur anda?"
Evan menatap tajam pada Rico penuh intimidasi, enggan menjawab apalagi menjelaskan siapa Rossie.
" Ikuti saja aku ke kamar , dan kamu jangan banyak bertanya!"
" Oh iya baik tuan Evan, maafkan saya."
Evan membuka pintu kamarnya dan melihat Rossie masih terbaring lemas dan wajahnya pucat.
" Itu dia orangnya, cepat periksa apa penyebab perempuan itu sampai sakit dan pastikan dia harus segera pulih kembali!"
" Aku akan lihat disini, sampai kamu selesai periksa."
Evan menyugar rambut halusnya dan menghela berat.
" Baik tuan Evan, saya lakukan sekarang juga."
Setengah jam berlalu, dan dokter Rico sudah berbuat sebaik mungkin, melakukan tugasnya sebagai dokter. Dia mengecek kondisi Rossie dan bertanya apa yang dia makan hari ini.
Lantas dokter keluarga Miller itu menghembus panjang, dia menoleh pada Evan.
" Tuan Evan, bisa saya pastikan bahwa yang menyebabkan nona ini tadi muntah-muntah adalah karena keracunan makanan. Sepertinya ada obat tertentu di makanannya yang membuat pencernaan nona Rossie terganggu."
" Apa!"
" Obat tertentu.. katamu?!"
" Iya, saya yakin sekali apa yang nona Rossie terakhir makan, maka itulah yang mengganggu organ pencernaan nya," tandas dokter Rico begitu yakin .
