Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Wajah Evan menggelap seketika, tangannya terkepal erat dan rahangnya mengeras, mendengar penjelasan pria itu. Dia sudah bisa menduga apa yang terjadi.

" Baik dokter Rico, apa kamu sudah siapkan obatnya, berikan saja vitamin dan pengobatan yang terbaik agar dia cepat sehat kembali," tandas Evan dingin.

" Dan yang terutama, beri dia vitamin kesuburan supaya cepat hamil!"

Rossie mendongak pelan menatap geram pada Evan, dia bergidik saat mendengar ucapan terakhir suaminya itu. Wajah cantiknya langsung berubah rumit dan jengah.

"Setelah itu kamu bisa keluar dari ruangan ini dan segera pulang."

Dokter Rico memberi anggukan kecil pertanda siap sedia dan melakukan semua kewajibannya.

Dia memberikan suntikan obat yang manjur agar Rossie tak mual lagi. Dokter itu berupaya mengerahkan seluruh kemampuan medis nya.

Dia punya dugaan kuat kalau gadis cantik yang sedang diobatinya adalah wanita yang berharga bagi tuan muda Evander.

Setelah pria paruh baya itu keluar dari kamar, Evan menatap wajah istrinya yang masih sedikit pucat, sekarang tapi lebih segar di bandingkan dengan sebelumnya.

TOK TOK

" Masuklah," jawab Evan datar.

Seorang pelayan wanita muda masuk membawa nampan berisi semangkuk bubur panas dan teh herbal camomile.

" Tuan Evan, saya bawakan sajian ini, sesuai pesanan anda."

" Iya simpan saja didekatnya," jawab Evan menunjuk Rossie yang sedang tergolek lemas di pembaringan.

" Baik tuan."

" Tunggu.."

" Apa tadi nyonya Shania tahu, kalau kamu kesini membawa bubur itu?"

" Tidak tuan, saya tidak berpapasan dengan nyonya Shania dimanapun," jawab Eva sang pelayan menggeleng tegas.

" Good, kerja yang bagus."

" Kamu tetap disini dan temani istriku makan. Kamu harus pastikan dia menghabiskan seluruh sajian itu tanpa sisa."

" Dan berikut itu obat-obatan dan vitamin yang tadi dokter siapkan harus dikonsumsi!"

" Baik tuan, saya lakukan," sahut Eva tersenyum.

Evan lantas keluar dari kamar dan membiarkan Rossie beserta pelayannya berdua.

Evan cepat mengayun langkah menuju rooftop, lantai paling atas di rumahnya.

Sementara di kamar yang besar dan megah tadi,  Rossie bercakap santai dengan Eva.

" Nona, silahkan dimakan dulu buburnya, nanti keburu dingin jadi tidak enak," ujar Eva seraya menyodorkan semangkuk bubur hangat pada istri kedua majikannya itu.

" Ehhmm.. tapi aku lagi nggak ingin makan...dan jangan panggil aku ' non' panggil Rossie saja," timpal Rossie.

Terlihat genangan butiran air bening di pelupuk mata Rossie, pertanda gadis itu sedang menahan tangis yang hampir keluar.

" Tapi non...ehmm kalau anda menolak nanti saya yang akan dimarahi tuan Evan tolong bantu pekerjaan saya supaya cepat selesai," pinta Eva memelas.

" Perutku beneran nggak nyaman, aku cuma ingin istirahat dan segera tidur," tolak Rossie menggeleng jengah.

" Iya setelah bubur ini habis, dan semua obatnya diminum, baru nona bisa tidur nyenyak," desak Eva menghela panjang.

Rossie melihat kesungguhan hati Eva dan dia merasa bersalah karena tak mau makan. Rossie khawatir bila Eva nanti dapat teguran keras dari Evan, tahu sendiri sifat suaminya seperti apa.

" Ya sudah, aku makan sekarang...kamu bisa keluar nggak perlu nungguin aku disini," cetus Rossie pelan.

" Aku nggak bakalan ninggalin nona sebelum memastikan kalau tugasku selesai dengan sempurna sesuai instruksi tuan Evan," kekeh Eva tersenyum lebar.

Walaupun pada awalnya Rossie tak berselera menyantap sajian yang dibawa Eva, tapi ternyata setelah beberapa kali suapan, gadis itu merasa bahwa memang perutnya terasa sangat lapar. Alhasil, semangkuk bubur itupun tandas dilahap olehnya.

" Nah...begitu bagus sekali non, hidangan nya sudah habis dan aku akan kembali ke dapur, permisi," tutur Eva mengangguk hormat.

"Iya Eva, terimakasih sudah sangat perhatian padaku," angguk Rossie tersenyum kecut.

Setelah memastikan Eva keluar dari kamar besar itu ,maka Rossie menarik dan menghembus nafas panjang sambil memegangi perutnya yang masih terasa nyeri.

" Huffhh...ah malam ini sepertinya aku selamat dari 'serangan' Evan entah kalau malam-malam berikutnya."

Rossie memperhatikan ke sekeliling kamar luas, yang sekarang ini dia tempati. Sebab sewaktu masuk tadi tak sempat diperhatikan oleh gadis itu.

Rossie juga pandangi interior kamar tidur yang mewah, bahkan dia tak pernah bermimpi untuk bisa berada dikamar seperti ini.

" Rupanya begini ya keadaan rumah orang kaya, tuan Evan memang memiliki uang banyak, tapi kenapa dia begitu arogan, hingga memaksaku menjadi istrinya... padahal dia sudah menikah dengan nyonya Shania."

" Pria macam apa yang menjadi suamiku ini," angan Rossie menerawang jauh memikirkan ayahnya yang baru pulih. Dia sangat khawatir.

" Bagaimana keadaan ayah sekarang ya, aku rindu...aku akan minta pada tuan Evan supaya ayah jangan bekerja lagi jadi pengurus kuda, biar aku saja yang menggantikannya."

Sementara di rooftop, terlihat Evan sedang berdiri tegap, tubuh kekarnya nya yang tinggi menjulang sedang melihat ke langit yang bertabur bintang. Langit cerah disinari cahaya bulan, diiringi hembusan angin dingin yang menerpa kulit wajah tampannya.

Sebatang r*k*k terselip di bibir tebalnya, asap putih mengepul ke udara dari hembusan mulutnya.

" Hmmm...apa yang Shania coba lakukan? Apa sebenarnya dia sedang bermain tarik ulur denganku, kenapa dia menaruh obat di makanan Rossie?"

Evan bicara sendiri dalam keresahan, dan saat sigaret yang dia h* s*p telah habis, pria itu memutuskan untuk kembali ke kamar.

CEKLEK

Pintu

" Hmm..gadis itu sudah tertidur,  apa dia sekarang sudah membaik?"

" Coba aku raba keningnya, sebab tadi rasanya dia agak demam," desis Evan seraya mengayun langkah menuju pembaringan.

" Suhu badannya sudah normal, well... kuharap dokter Rico sudah melakukan tugasnya dengan baik."

Evan lalu masuk ke kamar mandi, dia bermaksud membersihkan diri, sekaligus berganti pakaian.

Sementara Rossie membuka kelopak matanya, lalu bibir merah  berdesis lirih.

" Buat apa sih datang kemari lagi, apa yang akan dia lakukan?"

CEKLEK

Evan keluar dari kamar mandi, berjalan tenang dan terus berjalan membawa langkah kakinya hingga naik ke tempat tidur, merebahkan raga gagahnya diatas ranjang, kebiasaannya saat akan tidur yang hanya mengenakan celana boxer pendek.

Rossie yang mengetahui kalau Evan sudah berada di sampingnya membuat dia menjadi gelisah.

Jantungnya berdebar kencang, apalagi tadi dia sempat memicingkan mata dan sekilas melihat otot-otot kekar di perut sang suami.

" Aduh... bagaimana ini, aku masih tidak terbiasa berbagi ranjang dengan seorang pria, walaupun dia itu berstatus sebagai suamiku," monolog Rossie dengan nafas yang tak beraturan.

Dalam keheningan malam yang sunyi di kamar itu, beberapa detik berlalu hingga... terdengar suara berat bariton dengan nada dingin memecahkan situasi yang kaku.

" Aku tahu kamu belum tidur, jadi lebih baik buka saja matamu, ada yang ingin ku bicarakan," cetus Evan datar.

Evan adalah seorang yang sensitif, dia bisa mengetahui sekecil apapun pergerakan dari wanita yang sedang tidur di sampingnya.

DEGG

Rossie tersentak mendengar teguran sang suami, dia menghela berat tapi masih tetap tidak ingin membalikkan badannya dan pura-pura terpejam.

" Eh dasar pria aneh, kok dia bisa tahu kalau aku tidur bohongan," gerutu Rossie dalam hati.

SRETT

Karena kesal omongan nya tak digubris oleh Rossie, lalu Evan menyibak selimut yang menutupi tubuh sang istri sebatas bahunya.

Dari samping dipandangi raga molek nan sintal, walaupun hanya memakai gaun tidur selutut dilapis dengan jubah tipis berbahan satin tapi tetap saja lekuk tubuh Rossie terlihat jelas, apalagi keharuman floral segar menyeruak tercium oleh hidung mancungnya. Sungguh menggoda.

" Lihat aku Ros, aku tahu kamu hanya berpura-pura sudah tidur, sekarang berbaliklah atau aku akan melucuti semua kain yang melekat di tubuhmu ini," ujar Evan kembali mendesak dengan tegas.

DEGG

" Ah sial, aku ketahuan...mau apa sih tuan Evan ini, apa dia tetap ingin melakukan nya sekarang, badan ku rasanya masih lemas," lirih Evan membatin di hati.

Dengan penuh keengganan, gadis itu membalikkan tubuhnya perlahan, hingga dia mendapati sorot netra kelabu milik Evan menyorot tajam ke arahnya.

Mendapati sorotan netra kelabu milik Evan yang menyorot tajam ke arahnya, sontak membuat Rossie menelan salivanya kasar. Kini kegugupan melanda gadis itu, belum lagi melihat sang suami yang hanya memakai boxer pendek, membuatnya jantungnya seakan melompat dari tempatnya.

" Apa mau kamu tuan?"

" Aku masih merasa belum fit dan perutku tidak nyaman," cerocos Rossie sebelum Evan sempat bicara.

" Cerewet."

" Aku hanya ingin memastikan kamu sudah sehat kembali," hela Evan menyapu wajahnya kasar, hatinya bergetar bagaimana tidak..

Paras cantik jelita, dengan mata sayu warna hazel, bibir ranum merah muda alami begitu...menggiurkan..kulit putih mulus, pipi merona kemerahan, Rossie tampak sangat menggoda seorang Evander.

" Ehmm...aku sudah mendingan, obat dari dokter tadi, rupanya lumayan manjur," bisik Rossie pelan lalu tertunduk, gadis itu berpikir sesuatu hal.

" Hmm..jangan bilang kalau tuan bertanya seperti itu antara dua hal, yang pertama ingin segera berbuat 'sesuatu' atau yang kedua yaitu memang perhatian padaku?"

Rossie berucap dan bertanya dengan nada sarkasme secara bersamaan.

Evan terkekeh pelan, merasa geli dengan pertanyaan konyol itu. Pria itu bergeser mendekati sang istri yang baru saja dinikahinya beberapa jam yang lalu, hingga mengikis jarak diantara mereka berdua.

" Kalau aku bilang perhatian, lantas kamu mau apa?"dengus Evan sinis, aroma mint dan maskulin dari pria itu terhirup oleh Rossie karena saking dekatnya mereka di ranjang.

" Eh.. a-aku, bisakah kamu menjauh... maksud aku, kalau memang perhatian, kenapa kamu menyandera ayahku dengan dalih penyakitnya, aku harus berhutang padamu karena hal itu," dengus Rossie juga sama tak kalah sinisnya.

Evan menjadi geram dengan sifat keras kepala istri barunya, bukan hanya gusar, tapi gemas secara bersamaan. Sifat perempuan itu sukses membangkitkan gairahnya, yang sudah lama terpendam karena Shania l selalu menolak berhubungan dengannya.

Evan berdehem pelan, mengangkat lima jemarinya yang kekar untuk menyentuh pipi yang seputih susu.

" Kamu mau apa?!"

" Diamlah, apa kamu sudah lupa dengan perjanjian yang kita buat..heumm?"

Evan menyeringai tipis, tapi tak mengindahkan peringatan Rossie untuk menjauh, malah wajahnya semakin mendekati Rossie.

" Tentu saja aku perhatian padamu, karena aku nggak mau barang milikku rusak pada saat aku memerlukannya," desis Evan dingin.

" Kamu itu hanya sekedar barang untukku, yang aku ingin menanam benihku di rahim mu, seharusnya malam ini, aku sudah memakai mu...tapi karena insiden tadi, aku juga harus berhati-hati."

" Aku bukan barang tuan Evan yang bisa kamu pakai seenaknya!"

" Diamlah, aku harus pastikan kamu dalam kondisi sangat sehat saat menerima 'benihku'," kekeh Evan menyeringai tipis.

" Jadi akan kutunda hingga beberapa hari ke depan, tapi....hmm, kamu juga harus mulai membiasakan diri untuk menerima setiap sentuhan dariku mulai malam ini juga, tak ada bantahan," tandas Eva, seraya terus mengusap pipi Bunga yang memerah.

" Eh .. ta-tapi, aku belum si__"

Belum selesai Bunga bicara Ray sudah menyentuhkan bibirnya diatas b*b*r Bunga, lalu memberikan kecupan kecil disertai g*g*Tan lembut, di area lipatan daging berwarna merah muda.

Netra hazel Bunga sontak terbelalak, gadis itu tak pernah dekat dengan lelaki manapun apalagi berpacaran. Perlakuan intens Ray membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Tubuhnya membeku, terpaku di tempatnya seolah tak mampu digerakkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel