Bab 8 - Misi Penyelamat Ke Dimensi Lain
{Lanjutan POV Ina}
***
Mereka berlari meninggalkan ruang depan dan buru-buru masuk ke kamar tengah.
Rafli langsung menutup pintu kamar tengah dengan cepat, membuat Ina terkejut.
Napas mereka memburu, terengah-engah.
Keringat dingin mulai bercucuran, menghiasi wajah Rafli dan Shelly yang pucat.
"Kalian kenapa?" tanya Ina.
Rafli memberi isyarat, telapak tangan di angkat, layaknya tukang parkir yang sedang menyetop kendaraan.
Sedangkan, Shelly mencoba menjawab pertanyaan dengan napas memburu.
"Tadi, kita lihat hantu, Na.”
"Bukan main rumah ini! Kita diganggu terus, tidak ada matinya!" tandasku kesal.
"Mereka kan memang sudah mati, Na," sahut Shelly polos.
Sontak saja, mereka bertiga pun langsung tertawa mendengar lawakan Shelly.
"Ngelawak kamu, Shel?" tanya Rafli yang mencoba tertawa tetapi tetap ngos-ngosan karena napasnya belum teratur.
Memang, dengan adanya Shelly, suasana selalu bisa dibuat lucu.
Bahkan, saat sedang ketakutan seperti sekarang pun, dia masih saja melontarkan candaan yang membuat mereka sejenak lupa akan ketakutan yang dirasakan.
Malam itu, mereka akhirnya bisa beristirahat tanpa adanya gangguan dari para penghuni rumah.
***
Waktu telah menunjukkan tepat pukul sebelas malam. Di kamar belakang, papa Mirna masih belum tertidur. Dia beranjak, meninggalkan Andre sendirian di kamar itu.
Berjalan mengendap-endap agar suara langkahnya tak terdengar.
Beliau menuju pintu depan, membuka kunci, lalu keluar dari rumah.
Sepertinya, beliau memang berniat untuk meninggalkan rumah.
***
{POV Andre}
***
Dalam keadaan masih terbaring, aku mencoba membuka mata.
Melirik ke kanan dan kiri, berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi.
"Ternyata aku masih di kamar," gumamku dan mencoba bangkit dari tempat tidur, memosisikan tubuh dalam keadaan duduk.
Menenangkan diri.
Masih jelas dalam ingatan, saat kedua makhluk menyeramkan itu membuatku terdiam mematung di dapur.
Ada sedikit rasa sesal dalam hati, mengapa aku tak mampu melakukan perlawanan sedikit pun saat kedua makhluk itu mempermainkanku?
Aku merasa diri ini masih terlalu lemah.
Untuk menggerakkan tubuh saja, aku tak mampu.
Di tengah kacaunya pikiran, tiba tiba terdengar suara yang tak asing lagi. Ya, aku mengenali suara ini.
"Jangan terlalu memaksakan diri, Nak." Suara itu terdengar tepat di sebelah kanan tempatku duduk diam di kamar itu.
Aku langsung menoleh dan benar saja, itu suara Nenek.
"Saya belum mengucapkan terima kasih. Nenek datang di saat yang paling tepat, kalau bukan karena Nenek yang menolong, saya tidak tahu lagi harus bagaimana," ucapku panjang lebar. "Terima kasih ya, Nek," kataku sekali lagi.
Beliau hanya tersenyum.
Kemudian, beliau melanjutkan ucapannya,
"Kamu bisa mengucapkannya nanti. Kamu berhutang pada Nenek. Untuk saat ini, ada beberapa hal yang harus kamu lakukan, jadi simpan dulu ucapan terima kasihnya, Nak."
Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti maksud ucapan beliau. Namun, tak berani menyela.
Nenek lalu berdiri, memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Jadi, aku beranjak dari tempat tidur dan berdiri di sebelah Nenek, kemudian beliau melanjutkan ucapan.
"Kamu ikut Nenek sekarang ya, Nak. Ada sesuatu yang mau Nenek tunjukkan padamu, tapi sebelumnya, persiapkan diri terlebih dahulu karena perjalanan yang akan kita lewati, akan sangat berat," pinta Nenek.
Lagi-lagi, aku tak mengerti apa yang diucapkan Nenek, tetapi tak mau membantah.
Aku hanya perlu menyiapkan hati dan tekad lebih kuat karena permintaan yang diucapkan Nenek di akhir tadi, setidaknya bisa membuatku menerka.
Sepertinya, memang ini akan menjadi perjalanan yang sulit untukku.
Kami keluar dari kamar, lalu berjalan menghampiri meja makan.
Kulihat, syarat yang disusun di atas meja itu masih utuh, seperti tak ada yang berani menyentuh.
Aku pikir, syarat itu untuk dijadikan makanan bagi para makhluk yang mengganggu kami, ternyata semua dugaanku salah.
"Kamu tahu, mengapa Nenek memintamu untuk membuat ini, Nak?"
Aku hanya menggelengkan kepala.
"Ini sebenarnya untuk penanda. Nenek meminta untuk menaruh semua di atas meja, karena tepat di bawah meja, ada sebuah pusena," jelasnya.
Aku langsung terkejut dan mulai teringat kembali.
Dulu, saat masih remaja, aku pernah mendengar cerita soal pusena, saking seriusnya hingga timbul penasaran dalam hati.
Ingin rasanya aku melihat secara langsung bentuk dari pusena itu sendiri.
Yang aku tahu, hanya ada dua buah pusena di Indonesia. Satunya di masjid keraton kesultanan, bau-bau Kota Buton, tepatnya di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sedangkan satunya lagi, ada di Pesanggrahan Syekh Datul Kahfi di Cirebon, Provinsi Jawa Barat.
Namun, dari kedua pusena itu, belum ada satu pun yang pernah kudatangi.
Hanya sebatas keinginan untuk berziarah dan melihat langsung bentuk dari pusena itu sendiri.
"Betulan ada pusena di bawah sini, Nek?" tanyaku lagi untuk memastikan.
Beliau hanya mengangguk sambil tersenyum.
Baru saja mulai senang, saat aku akhirnya sampai di tempat yang selama ini kucari dari dulu. Si Nenek lalu kembali bertanya,
"Kamu tau pusena itu apa, Nak?"
"Iya, Nek. Saat beranjak remaja, aku mendengar hal ini dari orang tua. Beliau mengatakan bahwa pusena itu sama seperti pusat bumi, bentuknya seperti sumur tanpa dasar. Orang tuaku bilang, jika azan di Mekkah sedang berkumandang, suara azannya bisa terdengar dari lubang pusena itu. Jika kita mencoba melihat isi di dalam pusena, kita bisa melihat keluarga yang telah lebih dulu meninggal dunia. Namun, mereka menegaskan, jika kita sudah melihat hal itu, jangan sampai tergoda untuk masuk ke dalam pusena. Karena jika sampai masuk, kita tak akan bisa keluar lagi," jawabku panjang lebar.
Nenek kembali tersenyum mendengar penjelasanku, lalu beliau kembali melanjutkan ucapannya,
"Tidak heran jika kamu tahu hal ini, Nenek bisa tau saat pertama kali melihat tanda yang ada di telapak tanganmu itu."
Spontan aku mengangkat kedua tangan dan memperhatikan dengan saksama.
"Garis dalam telapak tanganmu itu yang menjadi tanda, kamu punya garis keturunan yang bagus. Sepertinya, kamu dan orang tuamu juga mengenal Bunda Kandita," ujarnya melanjutkan.
Seketika, aku langsung mengerutkan dahi. Tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
"Bunda Kandita?"
"Siapa itu, Nek?" tanyaku penasaran.
"Suatu saat, kamu akan tahu, guratan garis di telapak tanganmu itu sudah menjadi tanda bahwa kamu memiliki keluarga yang berbeda. Nanti, perjalanan hidupmu akan mengarah padanya, dan saat sampai di sana, temui Bunda Kandita lalu sampaikan salam Nenek padanya. Jika hal itu sudah kamu lakukan, maka hutangmu akan Nenek anggap lunas."
Aku semakin bingung dan tak mengerti apa yang diucapkan Nenek.
Suasana dapur saat itu sangat hening, tak sedikit pun kurasakan ada kehadiran makhluk lain seperti sebelumnya.
"Nak, sekarang kamu harus ikut Nenek, perjalanan sulit yang Nenek maksud tadi baru akan kita mulai sekarang," ujarnya.
Aku bersiap, bahkan lebih siap dari sebelumnya. Suasana di dapur saat ini benar-benar sangat mendukung!
Si Nenek lalu memegang tangan kananku, dalam satu kedipan mata, kami langsung di tempat yang berbeda.
***
