Bab 7 - Kekesalan Memuncak
POV INA
"Eh, Asih kok, lama sekali ya di belakang?" Aku melontarkan pertanyaan pada Shelly.
"Tau, nih. Paling juga dia lagi ke toilet, kan, ada Andre juga di dapur. Sepertinya, Asih minta Andre jaga di pintu kamar mandi. Tahu sendiri, Asih kan paling penakut. Mau kencing saja masih minta ditemani," sahut Shelly cuek sembari menyeruput kopi.
"Atau coba kita berdua menyusul ke dapur saja, Mbak Shel. Kita bantu mereka di dapur. Dari siang kita juga belum makan apa-apa. Jadi sekalian masak saja mumpung ada Mas Andre dan Asih di dapur," ajakku.
Aku pun akhirnya berdiri, disusul Shelly. Kami berjalan menuju dapur, meninggalkan Rafli dan papa Mirna yang masih asyik berbicara bisnis.
Saat sampai di depan kamar, aku merasa aneh melihat pintunya terbuka lebar. Lalu memilih berhenti sejenak dan berniat memeriksa. Sedangkan Shelly tetap cuek dan terus berjalan ke dapur.
Aku terkejut saat melihat di dalam kamar, ternyata ada Asih. Dia berbaring tak sadarkan diri dengan wajah basah. Sontak, aku menjerit.
"Lihat! Asih pingsan!" ujarku dengan nada tinggi setelah kedatangan suami, papa Mirna, dan disusul Sherly.
Papa Mirna dan Rafli langsung memeriksa Asih, lalu pap Mirna menggendong Asih ke atas ranjang. Aku duduk di samping Asih.
Sedangkan Shelly dan Rafli, hanya bisa memandangi gadis itu yg terbaring lemah,
Menatap Asih dengan rasa iba, kulihat Shelly berbicara pada Rafli.
"Fli, Andre juga tidak ada di dapur. Saya tidak tahu dia ke mana."
Rafli menatap Shelly dengan tajam. Mereka seakan memberi kode satu sama lain untuk keluar dan segera mencari Andre.
Keduanya kompak pergi.
"Pak, bagaimana ini? Apa Bapak tega membuat kami semua jadi tersiksa di rumah ini? Sudah jatuh korban juga," keluhku pada papa Mirna.
Dia menghela napas dalam-dalam.
Dilihat dari raut wajah, beliau juga seperti tidak tega. Namun, tetap seperti ada yang disembunyikan beliau.
"Bagaimana, ya? Saya juga kasihan lihat kalian, tapi uang yang sudah kalian berikan, sudah saya serahkan pada istri. Saya tidak berani memintanya kembali." Terlihat mimik papa Mirna seperti penuh penyesalan setelah melihat keadaan Asih yang masih terbaring lemah.
"Tapi saya juga tidak tahan ada di sini, Pak! Dari tadi siang, saya sudah banyak kena gangguan!" Aku mulai sedikit meninggikan suara.
Emosi?
Jelas sekali!
Aku tengah mengandung dan sudah memasuki delapan bulan. Memang, cepat sekali sensitif dan mudah emosi. Amarah cepat tersulut begitu ada sesuatu yang membuat jengkel.
Tak lama, Rafli dan Shelly kembali ke kamar tengah. Mereka memberi tahu papa Mirna bahwa kondisi yang dialami Andre pun tak berbeda dengan kondisi Asih saat ini.
Papa Mirna yang terkejut mendengar hal itu pun langsung buru-buru pergi. Mungkin, beliau langsung menuju kamar belakang.
Sedangkan aku masih menemani Asih di kamar ini. Memijat kepala Asih sambil sesekali memberi aroma minyak kayu putih di hidungnya. Berharap Asih segera sadar.
Tiba-tiba, seperti ada benda jatuh. Suaranya kencang terdengar. Aku semakin emosi dan melempar botol minyak kayu putih ke atap. Tempat suara benda jatuh tadi berasal.
BLETAK!
"BERANI GANGGU SEKARANG, SAYA LEMPAR LAGI KAMU!" ucapku lantang. Tak lama, kulihat Rafli datang.
"Fli, coba nanti, kalau Mas Andre dan Asih sudah siuman, kita bicarakan sama-sama dengan Mbak Shelly juga, pokoknya besok, kita harus berjualan sampai sore. Kalau barang yang kita bawa habis, ambil lagi dan lanjut jualan. Supaya barang cepat habis. Saya tidak tahan dan bisa cepat-cepat keluar dari rumah ini," pintaku pada suami.
Rafli hanya mengangguk disusul dengan gerakan jari telunjuk yang dia tempelkan di bibir.
Memberi isyarat agar pelan-pelan bicara dan tidak menyinggung perasaan papa Mirna di kamar sebelah.
Aku terdiam dan lanjut memijat Asih.
Kulihat, suami juga ikut memijat. Terlihat dengan jelas, ada warna biru keunguan tepat di pergelangan kaki Asih.
Kupinta suami untuk berhenti sejenak, lalu memperhatikan pergelangan kaki Asih dengan teliti.
"Ini bekas apa, Fli? Seperti bekas digenggam, sampai biru begitu warnanya." Aku mengerutkan dahi.
Suami pun ikut memperhatikan bekas luka yang membiru itu dengan saksama, lalu dia menghela napas panjang sambil menggeleng.
"Jangan dipijat dulu bagian itu. Kasihan Asih, takutnya malah tambah nyeri.”
"Terus, Mas Andre di belakang gimana?" sambungku lagi.
"Sama juga, dia tepar di kamar. Saya dengan Shelly sudah coba membangunkan, menampar pelan-pelan pipinya, tapi tidak sadar juga," jawab Rafli.
"Kalau begitu sepakat, ya? Besok kita berjualan sampai sore. Kalau ada yang habis duluan, balik dulu dan ambil barang lagi. Lalu lanjut berjualan lagi. Kalau bisa, besok kita habiskan semua barang dagangan, supaya cepat pulang juga," usulku sedikit berbisik.
Suami mengiyakan.
"Tunggu sebentar ya, Na. Saya mau coba bicara dengan papa Mirna dulu sebentar. Saya mau minta papa Mirna ikut menginap di sini, biar Andre ada yang jaga di kamar belakang," jelas Rafli.
Aku mengangguk.
Suami beranjak dari tempat duduknya, lalu bergegas menuju kamar belakang. Namun, tak lama aku memanggilnya sekali lagi.
"Fli ...." Suami kembali menengok ke belakang.
"Jangan lama-lama, ya," pintaku dengan nada manja. Suami hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya ke kamar belakang.
***
Sementara di kamar belakang, saat Rafli sampai di sana, dia langsung menghampiri papa Mirna.
Terlihat juga olehnya, Shelly duduk di tepian ranjang menemani Andre yang masih terbaring lemah.
"Pak, bisa tidak, malam ini Bapak menginap? Soalnya, Andre juga tidak ada yang menjaga. Sedangkan saya sudah pasti tidur di kamar tengah, tidak mungkin juga menyuruh istri menjaga Asih sendirian," ujar Rafli.
Shelly pun ikut menyahut, "Iya sih, Pak. Saya juga malam ini mau tidur di kamar tengah saja karena tidak ada teman. Asih kan sama Ina.”
"Ya sudah, ya sudah. Malam ini saya menginap dan menjaga Mas Andre. Kalian tidur di kamar tengah," ucap papa Mirna dengan nada terpaksa.
"Yeay!" seru Shelly gembira seraya mengangkat kedua tangannya ke atas. Ekspresinya seperti seorang pemenang lomba.
Shelly dan Rafli kemudian beranjak dari kamar belakang, meninggalkan papa Mirna dan Andre di kamar itu.
Mereka langsung menuju pintu depan, bermaksud mengunci pintu sebelum akhirnya beristirahat di kamar tengah.
Saat sampai di pintu depan, Rafli menguncinya, sedangkan Shelly malah memandangi kaca di sebelah pintu.
"Kacanya bersih, ya. Tapi sayang, kok tidak dikasih gorden, sih? Kan, jadinya tambah seram kalau melihat penampakan dari jendela ini." Shelly mengoceh sendiri.
Baru saja mengunci pintu dan hendak membalikkan badan, terlihat dengan jelas oleh mereka berdua, sesosok penampakan. Sontak saja mereka langsung berlarian ke dalam.
Kira-kira wujud apa lagi yang mereka lihat itu? Apakah mahkluk tersebut akan mengganggu mereka?
***
