Bab 9 - Asih ditemukan!
Aku melihat sekeliling, tempat ini sangat asing. Nyaris seperti hutan belantara.
Nenek berjalan duluan, aku mengikutinya dari belakang.
Di perjalanan ini, tak henti-hentinya aku memperhatikan wilayah sekitar.
"Kita ada di mana sekarang, Nek?" tanyaku sambil tetap terus melangkah.
"Nanti juga kamu akan tahu," jawab Nenek.
Cukup lama kami menyusuri hutan ini.
Meskipun aku merasa jarak yang kami tempuh sudah lumayan jauh, tetapi tak merasa letih sama sekali.
Sangat aneh, memang.
Sampai akhirnya, kami tiba di penghujung hutan. Aku melihat dengan jelas di depan sana ada lautan.
Tepian pantai dan suara gemuruh ombak mulai terdengar jelas di, hingga saat sampai di bibir pantai, Nenek menghentikan langkah.
Aku pun juga ikut berhenti dan berdiri di sebelahnya.
"Saat kamu kembali nanti, kamu harus ingat, Nak. Perjalanan hidupmu nanti akan mengarah ke lautan. Di wilayah dekat tempatmu tinggal, ada lautan seperti ini juga, tapi yang membedakan adalah di tepian lautnya terdapat sebuah gua besar. Gua itu biasa disebut Gua Pengantin. Saat waktunya telah tiba, temui Bunda Kandita di sana karena dari situlah, gerbang antar dimensi bisa terbuka dan tabir yang menutupi lautan akan terlihat," jelas Nenek panjang lebar.
Aku mulai mengerti saat beliau menjelaskan dari sini.
Sepertinya, tujuan hidupku selanjutnya adalah bertemu Sang Ratu Penguasa lautan.
"Baik, Nek, akan saya sampaikan salam Nenek untuk beliau saat tiba waktunya nanti," jawabku sambil mengangguk.
"Ayo, Nak, kita kembali," sahutnya.
Lalu, kami berdua meninggalkan pantai itu dan memasuki hutan kembali.
Di tengah perjalanan, aku merasa ada yang aneh.
Hutan yang semula kami lewati terasa sangat berbeda, tak lagi hutan belantara, justru dipenuhi semak belukar.
Aku sedikit kesulitan saat perjalanan pulang, tak jarang menginjak ranting tajam dan duri yang tersebar, hingga menyadari bahwa aku tak menggunakan alas kaki.
Kulihat, Nenek tak ada hambatan, beliau seperti berjalan di jalan mulus.
Sesekali, aku mengeluh karena merasa sakit saat menginjak duri yang ada. Namun, aku tetap berusaha selalu berjalan tepat di belakang beliau, tak mau ketinggalan jarak terlalu jauh karena tempat ini benar-benar sangat asing.
Tak lama, kami tiba di suatu tempat. Tak jauh, di depan sana ada sebuah rumah besar, Nenek pun menghentikan langkah.
Lalu, beliau memberi isyarat agar aku memperhatikan dengan saksama rumah itu.
Saat fokus memperhatikan rumah tersebut, tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita.
Jeritan pilu dan sangat menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya.
Suara siapa itu?
***
Tubuhku seakan bergerak untuk segera menuju rumah yang ada di hadapan kami, aku berniat ingin segera menolong wanita itu jika masih ada kesempatan.
Namun, tiba-tiba Nenek menghentikan pergerakanku.
"Kamu tidak usah ke mana-mana, Nak, cukup perhatikan saja dari sini," pinta Nenek.
Aku merasa tidak setuju dengan perintahnya, dan tetap ingin bergegas pergi untuk menyelamatkan wanita itu selagi bisa.
Akan tetapi, lagi-lagi Nenek memaksaku untuk tetap diam di tempat dan memperhatikan.
Tak lama, pintu rumah terbuka. Seorang wanita berseragam, keluar dari rumah itu.
Dia tampak tergesa-gesa bahkan seperti berlari. Seragam hitam dengan kerah berwarna putih dan rok sebatas lutut yang dia kenakan, terlihat sangat kuno.
Wanita itu berlari ke arah kami, aku memanggilnya agar wanita itu bisa segera menghampiri kami.
Namun, sekeras apa pun aku berteriak, sepertinya wanita itu tak mendengar.
"Kamu tak perlu bersusah payah untuk menolongnya, Nak. Ini hanya bayangan dari kejadian masa lalu," ucap Nenek.
Sontak, aku terkejut saat mendengar ucapan Nenek dan berpikir keras.
Kami berdua ada di tahun berapa?
Wanita itu terus berlari ke arah kami, disusul dengan kemunculan seorang laki-laki bertubuh tinggi dan kekar, keluar dari pintu rumah tadi.
Laki-laki itu berwajah putih, berseragam lengkap layaknya seorang prajurit, dan tak lupa juga, membawa sebilah pedang di tangan kanannya.
Dia mengejar wanita tersebut, hingga tak lama, mendapatkannya.
Terlihat dengan jelas di mataku, sang laki-laki menebas leher wanita itu hingga terputus.
Wajahnya tersenyum puas saat selesai membunuh wanita itu. Lalu, meludahi mayatnya.
Pemandangan itu benar-benar tak sanggup untuk kulihat. Namun, setelah pemandangan mengerikan itu berakhir, dalam satu kedipan mata, aku dan Nenek sudah berada di tempat yang berbeda lagi.
Di tempat ini, aku kembali disuguhkan dengan pemandangan yang tak kalah mengerikan.
Di hadapan kami, terlihat seorang laki-laki berseragam sedang disiksa oleh atasannya.
Leher dan pergelangan tangan laki-laki itu dipasung, sedangkan kakinya diborgol.
Sekilas, wajah laki-laki yang sedang disiksa itu, ternyata orang yang membunuh wanita di depan rumah tadi.
Aku bergidik ngeri.
Raut wajah seakan menciut dan kedua mata pun juga semakin sipit saat melihat laki-laki itu disiksa atasannya.
Kedua mata laki-laki itu dicongkel paksa keluar sampai daging yang menempel di matanya pun ikut tertarik keluar.
Darah segar segera membanjiri kedua kelopak matanya, dibarengi dengan jeritan pilu.
"Laki-laki ini dihukum oleh atasan karena dia hendak memperkosa wanita yang kita lihat tadi di depan rumah. Kamu masih ingat kan saat wanita itu terpotong lehernya?" tanya Nenek menjelaskan apa yang terjadi di hadapan kami.
Aku tak menjawab apa pun.
Di pikiranku hanya ingin segera meninggalkan tempat ini karena pemandangan yang disuguhkan membuatku bergidik ngeri.
Kemudian, Nenek melanjutkan perkataannya.
"Bahkan dalam kematiannya, laki-laki itu masih saja mengincar wanita yang masih hidup. Wanita mana pun yang dia sukai, akan langsung didatangi, lalu mengambil jiwanya. Menahan jiwa wanita itu sampai hasratnya bisa terpuaskan. Saat ini, ada salah satu temanmu yang telah diambil olehnya.” jelas si Nenek.
Perkataan Nenek barusan, langsung membuatku terperanjat dan mulai bertanya-tanya, siapa yang Nenek maksud?
"Siapa orangnya, Nek? Apa salah satu temanku sudah diambil jiwanya? Lalu, di mana aku bisa menemukan temanku, Nek?"
Aku langsung menghujani banyak pertanyaan pada Nenek saking paniknya.
Tak mau temanku mengalami nasib serupa dengan wanita yang dibunuh laki-laki itu tadi.
"Ayo, ikut bersama Nenek sekarang," ajak Nenek.
Aku pun langsung bergegas mengikutinya. Batinku berkecamuk, kekhawatiran mulai menyeruak menguasai pikiran.
Tak lama, kami sampai di tempat seperti gua tempat persembunyian, gua itu sangat gelap dan lembap, meskipun samar-samar masih bisa kulihat karena pencahayaannya temaram.
"Ini tempatnya, Nak. Tapi dari batas ini, Nenek tak bisa lagi mengantarmu sampai ke ujung sana, Nenek akan menunggu di sini. Jikalau kamu sudah berhasil menyelamatkan temanmu. Gunakan kemampuan yang kamu miliki saat ini, agar bisa menyelamatkan temanmu. Nenek yakin, dengan kemampuan saat ini, kamu pasti mudah untuk menyelamatkannya,” jelas Nenek.
Aku mengangguk dan meminta izin segera masuk ke dalam gua itu.
Saat menuju tempat yang ada di penghujung gua ini, banyak sekali mayat bergeletakan.
Bahkan, ada beberapa mayat yang tubuhnya sudah tidak utuh.
Potongan tubuh yang terpisah di sana-sini serta bau bangkai yang sangat menyengat, membuat mempercepat langkah.
Saat nyaris sampai di penghujung gua ini, samar-samar, kulihat ada seorang wanita di ujung sana.
Dia terduduk sendirian, posisi kakinya setengah menekuk dan wajah dibenamkan di antara kedua lutut.
Pergelangan kakinya dipasung.
Dengan jarak ini, aku bisa mendengar dengan sangat jelas bahwa dia sedang menangis.
Saat mendekat, aku langsung mengenalinya. Asih?
"Asih!" seruku dengan nada tinggi.
Dia langsung melihatku, meminta tolong agar bisa segera melepaskan pasung yang ada di pergelangan kakinya.
"Mas Andreee! Tolong saya!" serunya sambil menangis.
Aku langsung mencoba melepaskan pasung itu, dan benar ucapan Nenek, pasung itu bisa dengan mudah kulepaskan.
Aku membantunya berdiri, memapahnya. Saat berjalan, sekilas kulihat pergelangan kakinya membiru.
Sepertinya, pasung tadi benar-benar membuat kakinya terjepit parah hingga meninggalkan bekas.
"Kamu masih bisa jalan kan, Sih? Saya tetap akan bantu kamu supaya bisa cepat-cepat keluar dari sini," ucapku menenangkannya.
Terlihat dari rautnya, Asih berusaha sekuat tenaga untuk berjalan sambil menahan sakit di pergelangan kaki.
Dia masih tak berhenti menangis.
Saat kami berdua telah sampai di tempat mayat yang berserakan tadi, tiba-tiba salah satu dari mayat tersebut, bangkit.
Mayat itu berdiri, menghadang jalannya kami.
Kulihat, mayat itu sangat mirip dengan laki-laki yang disiksa oleh atasannya. Dia tak memiliki mata, pipinya dibanjiri darah yang menghitam. Namun, postur tubuhnya lebih tinggi dari kami berdua.
"Wanita itu milikku! Aku sudah mengambilnya dari dunia kalian! Mengapa kau datang ke sini untuk merenggutnya kembali?" ucap sosok itu dengan suara yang lantang.
Sosok itu terus menghalangi jalan kami.
Asih menjatuhkan diri, terduduk di sebelah kaki sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Sedangkan sosok yang ada di hadapan kami saat ini, menggerakkan tangannya, seakan-akan memberi isyarat.
Tak lama, mayat yang ada di sekeliling kami, akhirnya bangkit dan mencoba mengerumuni kami.
Asih menangis sejadi-jadinya.
Dia memeluk kaki kiri dan berharap mendapat perlindungan dariku. Sedangkan di sisi lain, aku tak tahu harus berbuat apa.
(Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan?)
