Bab 6 - Hantu Kompeni Belanda Tanpa Mata
Kubawa nampan berisi lima gelas, masing- masing gelas terdiri dari empat gelas kopi dan satu gelas teh.
Sesampainya di ruang depan, kuhidangkan minuman itu di tengah-tengah kami yang hadir di situ. Lalu, bergabung dengan mereka.
"Wiiihhh ... mantap! Saya baru datang langsung disuguhi kopi. Asih ini memang calon istri yang pengertian!" gombal papa Mirna.
Aku cuma memanyunkan bibir, tak mau menjawab apa pun.
"Jadi, bagaimana tadi, Pak?"
"Biasa, orang-orang di sini kalau panen cengkeh dan pala, dijualnya ke mana?" Rafli terlihat sangat serius, jika sedang berbicara soal bisnis.
"Nah, itu yang mau saya bilang tadi. Kami semua biasa panen dari mulai bulan Oktober sampai bulan Desember. Biasanya, tiga bulan itu, buah pala dengan cengkeh banyak sekali dipanen. Bahkan, anak-anak kecil saja cuma memulung cengkeh di hutan, lalu mereka bawa ke rumah untuk dijemur. Sekalinya dijual, mereka bisa dapat sampai lima ratus ribu!" seru papa Mirna sangat bersemangat.
"Biasa itu Mas, ada beberapa orang penampung yang datang ke sini untuk membeli langsung. Jadi, kami tak perlu repot-repot untuk pergi ke pulau Bacan atau Ternate lagi," sambung papa Mirna.
Aku yang paling sering menyimak daripada berbicara, hanya bisa mendengarkan obrolan mereka, sampai akhirnya Ina bertanya padaku.
"Asih, Mas Andre ke mana? Kenapa tidak gabung ke sini?"
"Eh, itu ... Mas Andre bilang, katanya masih mau buat singkong rebus," jawabku singkat.
"Singkong rebus? Buat siapa?" Ina mengerutkan dahi.
Terlihat Rafli dan papa Mirna yang sedari tadi asyik mengobrol pun langsung menghentikan obrolan mereka dan menatapku.
Aku semakin gugup dan salah tingkah!
Aku memang tak biasa jika menjadi pusat perhatian karena aslinya aku sangat pemalu.
Itu sebabnya, aku tak tahu harus menjawab apa pada mereka.
Hingga akhirnya, aku pun hanya bisa menundukkan kepala karena menahan rasa malu yang teramat sangat.
"Coba kamu panggil lagi Mas Andre ke sini. Suruh dia duduk sama-sama di sini," pinta Ina padaku.
Aku pun beranjak dari tempat duduk dan bergegas berjalan menuju ke arah dapur kembali.
Namun, aku langsung menghentikan langkah saat melewati ruang tengah, kulihat pintu kamar Rafli dan Ina terbuka.
Sekilas, ada bayangan di dalam situ. Aku hanya berani menebak, pasti Mas Andre ada di dalam kamar tersebut.
(Akan tetapi, mengapa Mas Andre masuk ke kamar orang lain tanpa izin? Ah ... daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik aku memanggilnya.)
"Mas Andre... Mas Andre..." Panggilku padanya.
Sayangnya, tak ada jawaban dari Mas Andre.
Aku yang saat itu penasaran, langsung melangkah masuk ke dalam kamar tersebut karena berpikir tak perlu lagi meminta izin pada Ina maupun Rafli.
Toh, pintu kamar mereka sudah terbuka. Lagipula karena Mas Andre pun juga sudah ada di dalam sana.
Aku melihat Mas Andre fokus sedang mencari sesuatu di pojokan ranjang.
Dia sedang berjongkok seperti hendak mengambil sesuatu yang sepertinya sangat sulit ia jangkau.
Kuhampiri dan berdiri dengan sedikit membungkuk untuk melihat apa yang sebenarnya dia cari.
"Mas Andre cari apa?" tanyaku.
Namun lagi-lagi dia tetap diam dan sibuk sendiri.
Kemudian, aku ikut berjongkok di sebelahnya, memperhatikan apa yang dilakukan.
Sesaat kemudian tiba-tiba hawa dalam kamar itu terasa sangat berbeda.
Bulu kuduk tiba-tiba merinding.
Aku melihat keadaan sekitar dan memastikan, menolehkan pandanganku ke arah belakang demi memastikan apakah ada hantu di sekitar kami.
Namun, sepertinya tak ada hal apa pun yang mencurigakan.
Setidaknya aku bisa sedikit tenang karena ada Mas Andre juga di sampingku, meskipun dia tak menjawab pertanyaan yang kulontarkan tadi.
Setidaknya, aku tetap merasa terlindungi karena kami sedang berdua di dalam kamar ini.
Pikirku, berdua lebih baik daripada terjebak sendirian di rumah ini.
"Mas Andre cari apa sebenarnya? Bukannya tadi bilang, mau rebus singkong di dapur? Terus kenapa di sini?"
Aku menghujani banyak pertanyaan sekaligus. Daripada diam, saat ketakutan, lebih baik berbicara. Lumayan bisa meredakan, meski sedikit.
"Saya lagi cari sesuatu. Tadi pas bersih-bersih kamar, saya lihat ada benda antik di sini. Makanya, mau coba ambil, mumpung Rafli dan Ina masih di luar kamar," jelasnya seraya terus berusaha mencari sesuatu di pojokan ranjang.
"Benda antik?Apa itu Mas Andre?"
Tak lama kemudian, sepertinya dia mendapatkan sesuatu yang dicari sedari tadi.
"Nah ini, Sih, yang saya cari dari tadi," katanya seraya menyodorkan dua buah bola mata, lengkap dengan daging yang masih menempel di bagian ujung belakangnya. Keduanya masih penuh darah!
Aku terperanjat. Setengah melompat ke belakang dan akhirnya terduduk lemas.
Kulihat juga wajah Mas Andre dibanjiri darah dan tak ada satu pun bola mata di sana.
Mulai sadar, orang yang semula kukira Mas Andre, ternyata dia pula yang jadi penyebab aku merinding dan merasa ketakutan sedari tadi.
Sosok itu kemudian melemparkan bola mata yang dia genggam padaku. Kemudian jatuh, tepat di perutku.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Berharap teman-temanku di depan sana mendengar.
Aku mencoba bangkit, tubuh ini terasa sangat berat.
Berusaha sekuat tenaga merangkak ke pintu kamar, tetapi kedua kakiku dipegangi oleh sosok menyeramkan tanpa mata itu.
"Aaa! Mbak Shelly, Inaaa, tolong akuuu!” Aku meronta-ronta dan tetap berusaha melepaskan cengkeraman sosok tanpa mata.
Namun, dia memegang kedua kakiku semakin kuat, hingga aku meringis kesakitan di pergelangan kaki.
Aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, meskipun tubuh masih terasa sangat berat.
Pergelangan kaki juga mulai terasa ngilu akibat cengkeraman dari sosok tanpa mata itu.
Di tengah rasa takut yang kuat dan keinginan melepaskan diri, sejenak aku merasa heran kemudian bergumam dalam hati.
(Mengapa tak ada yang menolongku? Bahkan, menghampiri kamar ini saja tidak!
Aku jadi putus asa, merasa tak ada yang peduli)
Di tengah-tengah rasa putus asa, ada bayangan muncul seperti seseorang yang akan menghampiri kamar ini. Siapa pun itu, tolong aku!
"Tolooong ... tolooong sayaaaa!" rengekku sembari tetap berusaha melepaskan diri.
Saat bayangan itu semakin mendekat, kupikir aku akan segera diselamatkan, ternyata dugaanku salah besar!
Sosok yang muncul dan berdiri tepat di pintu kamar bukanlah temanku.
Meski pandangan terhalang air mata yang mulai tergenang hampir di seluruh pelupuk mata lalu air mata tersebut hendak jatuh, aku tetap berusaha melihat.
Sosok itu adalah seorang wanita bertubuh sedang, memakai seragam hitam yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Sepertinya seragam yang dia kenakan terlihat kuno sekali.
Namun, yang membuatku makin tambah takut adalah ... wanita itu membawa kepalanya sendiri. Lehernya putus dan kepala dipeluk di depan perut.
Aku tak tahan dengan pemandangan itu, hingga akhirnya tak sadarkan diri.
