Bab 3 - PINTU YANG TAK BOLEH DIBUKA
Novel_Santo_dan_Santi
Penulis Cerita: Jakaria
Bab 3 - PINTU YANG TAK BOLEH DIBUKA
Hujan belum berhenti sejak senja berganti malam. Di dalam rumah panggung tua yang mereka tinggali, Santi masih memeluk dirinya sendiri. Sorot matanya kosong, tapi wajahnya tetap indah dalam duka yang pekat. Santo duduk di sudut ruangan, memandangi api kecil yang menyala di tungku, mencoba menghangatkan tubuh sekaligus pikirannya yang kini dipenuhi tanda tanya dan rasa takut.
Pak Suro belum kembali sejak pamit menjelang magrib untuk menenangkan ternak yang gelisah karena gemuruh aneh dari arah barat hutan. Gendis pun tak terlihat sejak sore. Dan Nyai Ranti… ia seperti tahu apa yang sedang terjadi, tapi memilih diam seribu bahasa.
Santo berdiri. Di balik pintu kayu itu, ia tahu ada sesuatu yang menunggu. Bukan manusia. Tapi sesuatu yang entah kenapa, terasa mengenal dirinya.
“Jangan keluar malam ini,” suara Nyai Ranti muncul tiba-tiba di belakangnya. Matanya tak berkedip, menatap jendela yang tirainya terus berkibar meski tak ada angin.
“Aku… cuma ingin memastikan Pak Suro baik-baik saja,” jawab Santo pelan.
“Jika kau keluar, kamu akan lihat bayangmu sendiri, tapi bukan kamu yang berjalan,” ucap Nyai Ranti lirih, nyaris seperti gumaman mantra.
Santi menghampiri mereka, matanya masih merah. “Tadi aku dengar suara perempuan dari hutan. Dia memanggil nama Santo.”
Santo membeku.
“Suara itu... bukan manusia,” tambah Santi, kini menggenggam lengan Santo erat. “Tapi dia menyebut-nyebut tentang perjanjian. Apa maksudnya, San?”
Nyai Ranti terdiam sejenak. Lalu ia berbisik:
> “Dulu, ada seorang pemuda dari kota yang tinggal di desa ini. Namanya juga Santo. Ia jatuh cinta pada gadis kampung yang keturunan dukun penyatu roh dan manusia. Gadis itu—bernama Santi.”
Darah Santo seperti berhenti mengalir. Ia memandang Santi, yang juga terlihat kebingungan.
“Itu hanya kebetulan, bukan?” gumam Santo.
“Tidak ada yang kebetulan, Nak,” Nyai Ranti menarik napas panjang. “Kalian adalah pengulangan. Dan malam ini, pohon-pohon itu sudah menunggu akhir yang sama.”
Tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu—pelan, tapi ritmis. Seperti ritual.
Santi menjerit kecil. Santo refleks melangkah mundur. Nyai Ranti melangkah maju, lalu membuka pintu perlahan.
Tak ada siapa pun.
Namun dari balik kabut pekat, mereka melihat sesuatu yang berdiri di batas hutan. Sesosok tubuh perempuan berbaju putih, wajahnya tertutup rambut basah, tangan kanannya menggenggam sesuatu—seperti boneka kayu.
Dan ketika perempuan itu memutar kepalanya perlahan, wajahnya muncul... persis seperti Santi.
---
Langkah Santi tertahan di depan pintu kayu tua yang mulai retak. Pintu itu menghadap ke sisi timur rumah, bagian yang menurut Pak Suro “tidak pernah ada siapa pun yang bersih cukup untuk membukanya.”
“Santo, kenapa pintu ini… rasanya dingin sekali…” bisik Santi sambil meraba daun pintu. Ujung jarinya membeku seolah menyentuh es, padahal cuaca tak begitu dingin.
Santo hanya mengangguk pelan. “Pintu ini, dari dulu selalu tertutup. Pak Suro pernah bilang, pintu itu hanya akan terbuka bila ada sesuatu yang ingin keluar.”
Ketukan keras tiba-tiba menggema. Bukan dari dalam rumah, tapi… dari balik pintu itu. Tiga ketukan lambat, seperti menunggu seseorang membalas.
Tok… tok… tok…
Santi menjerit tertahan. “Santo, kita harus pergi dari sini!”
Tapi Santo terpaku. Matanya terpaku pada gagang pintu yang perlahan bergerak sendiri. Bukan didorong oleh tangan manusia, tapi seperti ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam. Gagangnya berputar perlahan, berdecit seram.
Gendis muncul dari balik tangga, matanya membelalak. “Jangan dibuka! Itu bukan pintu biasa… itu jalan masuknya mereka!”
“Mereka?” tanya Santo dengan suara tercekat.
“Yang terperangkap. Arwah penasaran yang dulu pernah dikurung oleh Nyai Ranti,” ujar Gendis sambil menggenggam erat bonekanya yang kini tampak basah kuyup, entah kenapa.
Santi mundur. “Apa maksudmu? Kita harus pergi, sekarang!”
Namun sebelum mereka sempat berbalik, angin kencang menyapu seluruh ruang tamu. Suara-suara lirih seperti nyanyian anak-anak terdengar mengelilingi mereka, samar dan berulang:
"Buka pintu, biar kami lihat
Buka pintu, biar kami dekat
Buka pintu, darahmu hangat
Buka pintu, kami cepat…"
Pak Suro datang terburu-buru, memegang sebilah keris kecil di tangan kanannya. “Minggir!” teriaknya.
Dia menancapkan keris itu ke kusen pintu, dan seketika suara nyanyian itu berhenti. Hening mencekam kembali menyelimuti rumah.
“Sudah kubilang, jangan pernah mendekati pintu itu,” desis Pak Suro.
Santi gemetar, menggenggam tangan Santo erat-erat.
Pak Suro melirik mereka dengan tajam. “Kalian sudah membangunkan sesuatu yang tak seharusnya dibangunkan.”
Dari luar jendela, suara angin mulai berubah. Bukan lagi desir biasa. Tapi seperti bisikan ribuan mulut yang memanggil dari dimensi lain.
“Santi… Santi… Santi…”
Tiga kali, suara itu memanggil, dan semuanya menggunakan suara Santo.
(Bersambung ke bab 4)
Puisi
BAYANG YANG MEMANGGIL
(Jakaria)
Dalam gelap remang daun menari
Bayang menggeliat dalam sunyi
Dari batang tua suara berlari
Membawa nestapa tak bisa lari
Langkah menggema seperti nyeri
Pohon berbisik lirih sekali
Akar mencengkeram tanah berduri
Seperti tangan dari mimpi ngeri
Daun-daun gugur tanpa janji
Di antara ranting yang bersaksi
Malam menyimpan jeritan saksi
Darah yang pernah menjadi warisan sakti
Jika kau dengar nyanyi sepi
Jangan balas atau kau tergali
Lubang itu bukan sekadar misteri
Ia rumah bagi arwah tak suci
Bogor, 1 Mei 2025
Quote:
"Ketakutan bukan hanya milik mereka yang lemah, tetapi juga mereka yang pernah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika."
#CeritaHoror#MisteriRumahTua#PintuTerlarang#NyaiRanti#HororRomantis#HororRomansa#SantoDanSanti#KutukanHutan#CeritaHantu#KisahKelam
