11. Sosok Asli Rey(2)
Pagi hari, Rey bangun untuk makan pagi. Rey yang selalu terlihat wow di mata semua orang, ternyata mempunyai sikap malas mandi jika libur panjang seperti ini.
"Mandi dulu! Mama gak mau makan sama cowok ganteng tapi jarang mandi," ujar Anita.
"Ah males, Ma, nanti aja siang." Rey terkekeh pelan ketika mamanya memujinya lalu menjatuhkannya. Padahal, angannya sudah sampai kayangan ketika mamanya memujinya 'ganteng'.
"Gak ada nati-nanti! Papamu sudah menyiapkan kamar mandi di kamarmu, untuk apa kamar mandi itu dibuat jika jarang dipakai?" ujar Anita.
"Rey udah terlanjur di sini, Ma. Jadi habis makan aja ya," ucap Rey seraya tertawa pelan.
"Jorok banget kamu, persis seperti papamu dulu, hahaha." Anita terbahak ketika melihat raut wajah suaminya yang terlihat kesal dengan perkataannya.
Bahagia. Selalu itu yang menjadi motto hidup keluarga Sanjaya. Tak ada kata sedih yang mendalam bagi keluarga mereka. Karena, mereka selalu berusaha melengkapi satu sama lain dari kekurangan yang mereka punya. Sangat terbalik dengan Rere, bukan? Di mana mereka sangat sering berdebat, atau bahkan mengalami tekanan dan kesedihan yang tak bisa diucapkan oleh sekedar kata.
Meyli, adik Rey hanya bisa tersenyum tanpa ia bisa mengeluarkan suara dari mulutnya. Padahal, jika saja ada keajaiban, Meyli sangat ingin berbicara banyak dengan Rey. Namun, Meyli tak pernah mengeluh dengan kekurangannya, ia selalu curhat menggunakan goresan pena di secarik kertas yang diberikan kakaknya.
"De, nanti ikut kakak ya, ke suatu tempat," ucap Rey, Meyli mengangguk dengan isyarat mengiyakan ucapan Rey.
"Mau ke mana, Rey?" tanya Anita.
"Ada deh, rahasia pokoknya." Rey tertawa kecil.
"Mandi dulu urusin! Baru ngajak adikmu pergi," ujar Fery.
"Yee ... kayak Papa sering mandi aja dulu," ledek Rey.
"Gak mandi juga papa udah ada yang punya. Lah kamu? Gadis mana yang mau sama cowok jarang mandi seperti kamu?" Fery membalas ledekannya.
"Someone."
"Udah punya pacar rupanya, tadinya papa dan mama mau menjodohkan kamu dengan anak teman papa," ujar Fery, Rey sontak tersedak dengan perkataannya.
"Uhuk uhuk. Papa yang benar saja?! Dijodohin? Hah? Gak salah, papa ngejodohin anak papa yang ganteng ini?" bantah Rey tak terima.
"Ganteng buat apa kalau jarang mandi," ledek papanya.
"Jadi gini, Rey. Mama dan Papa punya sahabat baik, anaknya itu bandel banget, beda dari kakak dan adiknya yang pandai. Jadi, mama mau kamu menikah dengan dia dengan harapan kamu bisa merubah sikap nakal dan malas dia," ujar Anita.
"Tapi, Ma ...."
"Selama ini ‘kan kamu gak pernah menentang perintah mama dan papa, jadi mama harap kamu setuju," ucap Anita.
“Tapi—“
"Mama yakin dia orang baik, jadi dia gak mungkin buat kamu menyesal."
"Tapi—"
"Mama sama papa cuma mau kamu belajar dari pemimpin keluarga, bukan hanya sekadar pemimpin organisasi."
"Ta—"
"Udah, silakan ngomong!"
"Astagfirullah, dari tadi mau ngomong dipotong terus," batin Rey.
"Tapi bagaimana jadinya hubungan tanpa cinta, Ma? Rey takut dia malah membenci Rey nantinya," ucap Rey.
"Cinta itu bisa tumbuh seiring waktu, kamu harus bisa membuat dia jatuh cinta sama kamu walaupun kamu sendiri belum mencintainya," ujar Anita.
"Rey gak yakin, Ma."
"Dia itu sebenarnya pandai, Rey. Cuma sikap nakalnya yang membuat mamanya menjadi ambisius untuk bisa merubah dia."
"Rey coba, Ma. Mama ‘kan tahu sendiri Rey gak pernah cinta-cintaan," ujar Rey.
"Minggu depan mama akan bicara dengan orang tuanya," ucap Anita.
"Hah?! Secepat itu? Ma, Rey belum siap ...."
"Hmm. Gimana kalau bulan depan aja, Ma? Kita kasih waktu untuk Rey," saran Fery.
"Oke mama setuju, nanti mama kabarin orang tuanya.
"Oke, Rey setuju."
