Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 10 - Husband

Pukul 5 sore Vanya melatih pergerakan otot tubuhnya, tubuhnya yang ramping sangat terlihat seksi tapi begitu kuat, karna adanya otot di tubuhnya yang terlihat menonjol sedikit.

Sasa yang sebagai sahabatnya saja, begitu iri melihat body Vanya. Sasa yang menggigit jari mencubit otot perut Vanya. "Pantas saja kau jarang makan, tubuhmu yang langsing ini, menyimpan otot indah rupanya," Sasa tertawa.

Vanya hanya memutar matanya malas. Ia yang sudah dibanjiri keringat mulai berhenti menggerakkan tubuhnya, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Pukul 11 malam tiba, Vanya memakai celana lejing hitam dan kaos panjang hitam, rambutnya yang di ikat kuda tetap memakai topi di kepalanya.

Vanya yang memakai tas ransel berisi barang penting tiba- tiba Sasa memeluknya. "Vanya semoga kau tidak tertangkap. Aku berharap kau pulang dengan selamat seperti Ayahmu dan juga Kakak laki-lakimu Yang pulang dari medan pertempuran."

Vanya mengusap bahu Sasa. "Kau berdoa saja, aku lakukan ini semua untuk orang-orang ku. Kau tau mereka semua sangat berharga untukku, dan juga Raf-" kata-kata Vanya berhenti saat ingin menyebut nama Anaknya lagi.

Mobil Vanya melaju cepat. Ia sudah sampai memarkir mobilnya begitu jauh dari pelabuhan. Dan disinilah ia, angin laut menerpa tubuhnya yang sudah berdiri di atas peti kemas ekspedisi.

Sebuah tropong dari jarak jauh mulai memantau kapal besar nelayan, tapi bukan milik nelayan ikan, itu kapal yang didekorasi semirip kapal ikan. Vanya melihat wanita bercadar menggantung senjata laras panjang di leher mereka, dan para pria pun sama.

1 jam berlalu kumpulan mobil pun berdatangan, Vanya melihat bahwa itu adalah Samsim dan para pengawalnya yang sedang berusaha menaiki kapal bergoyang, akibat ombak yang begitu kencang menghamtam kapal yang bersandar di samping daratan.

Vanya yang sudah melihat keadaan sekitar sepi, terus berlari tapi pelang. Ia bersembunyi di setiap sudut saat menaiki kapal, dan ia mulai memantau arah sekitarnya. Vanya yang melihat wanita bercadar keluar membawa nampan, mulai memukul tengkuknya lehernya, lalu memberinya obat bius untuk pertahanan sampai pagi, setelah itu ia menyeretnya kedalam kamar para wanita.

Vanya memakai baju cadar milik perempuan yang pinsan itu, dan mulai melakukan penyamarannya, lalu mengambil kopi cangkir yang sudah siap di meja dapur, dan berjalan ke arah ruang rapat.

Semua Teroris yang berada di ruang rapat berbahasa Suriah, bahkan Samsim ikut berbahasa Suriah untuk memberikan penjelasan dan juga pendapatnya, ia lakukan semua itu untuk menjalankan aksi mereka esok siang.

Vanya yang begitu pintar sudah menguasai bahasa asing berbagai Negara, hanya berdiri di belakang mereka, ia hanya diam untuk mengamati dan mendengarkan mereka baik-baik sampai pukul 3 subuh selesai rapat, Vanya hanya tersenyum smirk dibalik cadarnya. Entah apa yang ia pikirkan sekarang.

Vanya yang sudah tiba pukul 6 pagi di kediamannya, hanya tertawa nyaring seperti orang gila memasuki rumahnya.

"Apa kau sudah berhenti tertawa?!"

Tubuh Vanya mematung, mendengar suara Pria yang sudah lama menghilang tanpa ada kabar.

Vano memeluk pinggang Vanya, mencium rambutnya lalu mengecup tengkuk lehernya. "Kenapa kau terdiam bagaikan batang pohon?"

Pikiran Vanya kembali, ia berbalik menghadap suaminya dan tersenyum hangat, sambil mengelus dada suaminya yang di balut jas hitam.

Vano mengelus puncak kepala istrinya dan berkata, "Kau dari mana saja semalam? Kenapa kau tega meninggalkan Sasa sendiri dirumah. Apa kau tidak tau rumah ini sangatlah menyeramkan."

"Kau sendiri tau dari mana aku tinggal di sini?!" cetus Vanya.

"Kau lupa aku ini siapa hmm? Sayang aku sangat mengkhawatirkan dirimu semalam," ungkap Vano.

Vanya melepaskan tangan Vano dari pingganganya, ia melipat kedua tangannya di dada bersamaan raut wajahnya yang sudah emosi. "Kau tiba-tiba bertanya padaku?! Aku yang sebagai Istrimu saja tidak perna bertanya padamu. 'Kemana kau selama ini? Kenapa kau tiba tiba putus kontak denganku..."'

Vano tertawa, "Seperti itulah jika menikah denganku, pernikahan ini tidak bisa dikatakan bahwa kita adalah sepasang Suami dan Istri. Hubungan kita hanya di atas kertas sajakan." Vano mengecup bibir Vanya dan melanjutkan bicaranya yang terhenti, "Apa yang kau inginkan dariku... sebelum menikah, kau sendiri yang bilang bahwa ini hanya status hubungan saja. Kau bahkan melarangku untuk meminta lebih darimu kan?"

Vanya diam, tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Vano yang merasa terabaikan, mendorong Vanya di kursi sofa menghimpit tubuhnya rapat hingga keduanya saling bertumpuh. Vano sudah berada di atas tubuh Vanya, bahkan kening mereka sudah saling bersentuhan. Vano memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Apa kau menyukai gaya seperti ini? Apa kau masih menganggapku sebagai suami mu? Jika ia, lepaskan semua bajumu, mari kita lakukan hubungan suami istri kita."

Vanya yang merasa dilecehkan, hatinya tiba-tiba begitu sakit. Vano tidak menganggap dirinya sebagai istri, melainkan wanita simpanannya.

"Apa kau sudah gila! Aku bukan wanita pelacur yang kau jadikan simpanan.. Yah jujur saja memang kita tidak layak di katakan suami istri,  kau sendiri tidak perna memberikan diriku uangkan. Dan silahkan kau pergi dari rumahku sekarang juga!" Vanya mengusir suaminya tanpa perasaan.

"Kenapa aku harus pergi dari sini?! Kau pikir aku tidak tau dari mana kau mendapatkan uang untuk membeli rumah dan juga fasilitas pribadimu. Aku tidak sabar bagaimana jika Ayah dan juga Kakakmu tau kelakuan kejahatan mu ini..." Vano yang emosi langsung mengigit leher Vanya sampai mengeluarkan darah. Tidak hanya itu saja, Vano bahkan mengisap darah di leher Vanya.

Vanya yang merasakan sensasi geli di campur sakit, ia hanya memukul bahu Vano untuk segera berhenti, namun Vano tidak perduli.

Nafsu Vano yang sudah berada di ujung puncaknya, kini mereba pussy Vanya di balik celana.

Vanya sudah berusaha memberontak, namun tidak membuat tubuh Vano menyingkir darinya, tenaga Vano sangat begitu kuat. Jika itu dibandingkan dengan Sandi dan juga Danya, tenaga mereka pasti kalah.

Vano merobek baju Vanya, ia langsung meraup payudaranya dengan melutnya seperti bayi yang sedang menyusui. Vanya yang sangat stres ingin mengcongkel mata Vano, tapi tangannya tertahan kuat di atas kepalanya sendiri.

Vanya depresi di campur dengan suara rintih kesakitan, tangisannya sudah pecah. Berteriak saja percuma. Ia menyesal membeli rumah dekat hutan, karna tidak akan ada yang datang menolongnya.

Saat Vano akan mengeluarkan penisnya.

"Vanya... kapan kau pulang?" Sasa berteriak saat melihat mobil Vanya terparkir di halaman depan. Sasa yang berada di tengah tangga masih belum sadar dengan keberadaan dua orang di atas sofa saling menindih.

"Sasa tolong aku..." Vanya teriak meminta tolong.

Sasa yang mendengar suara Vanya, pandangannya langsung beralih di atas sofa. Tubuh Sasa mematung, betapa terkejutnya ia melihat kedua orang di sana saling berlawanan, pakaian mereka sudah tidak terbentuk lagi.

Tidak hanya itu payudara Vanya bahkan terlihat jelas, lecet dan memerah. Bisa di kata bahwa Vano yang begitu ganas ingin memperkosa sahabatnya secara brutal.

Sasa menelan ludahnya, ia sangat bingung bagaimana menghentikan kedua orang disana, di satu sisi mereka sudah menjadi suami istri. Disisi lain Vanya meminta pertolongan darinya.

Sasa yang begitu sulit membuat pilihan. Membuat vano begitu geram dan hampir saja menembak kepalanya, jika ia tidak segera menunduk, bisa di pastikan hari ini dia akan mati.

"Pergi kau, jangan mengganggu kami!" Vano teriak nyaring, suaranya sampai menggema.

Sasa yang sudah ketakutan, berlari menaiki tangga untuk masuk kedalam kamarnya. 'Vanya maafkan aku, aku tidak bisa membantumu, dia wajar lakukan itu padamu. Kau adalah istirinya.' Sasa menjerit maaf di dalam hati.

Plak!

Vano yang marah tidak jelas menampar pipi Vanya sampai memerah. "Beraninya kau meminta tolong pada orang lain, seakan-akan aku seperti bajingan di matamu."

"Kau datang tidak di undang di rumahku, bahkan sampai membuat kekacauan di sini. Jika kau ingin menyentuhku, kau seharusnya tidak memperlakukan diriku kasar." Vanya tidak mau kalah.

"Aku punya hak sebagai suamimu, membunuhmu saja itu tidak masalah untukku, seharusnya kau sudah pikirkan ini sebelum menikahi penjahat sepertiku. Tidak akan ada yang melindungi mu lagi, bahkan jika Ayah dan juga Kakakmu tau, mereka akan memilih menutup mata dan telinga mereka saja. Kau tau apa alasan mereka tidak melindungi mu lagi?kkau membuat pilihan takdirmu sendiri. Menikahi penjahat terkejam di dunia, bahkan Ayahmu yang bersetatus Jendral saja takut padaku."

Vano mencium ganas mulut Vanya sampai di buat luka-luka, gigi mereka seperti bertarung dan sangat begitu ngilu di dengar, lidah Vano sudah menguasai isi mulut Vanya.

Nafas Vanya tercekak, ia merasakan perih dicampur lecet di lidahnya, Vano yang tidak berperasaan selalu mengigit lidahnya.

"Yang Mulia, waktu sudah habis," teriak pria paru baya berdiri di ambang pintu.

Vano yang sudah kembali kesadarannya, kini melepaskan Vanya. Ia lalu merapikan jas bajunya yang berantakan, dan juga mengancing res leting celananya yang terbuka.

Vanya melihat jelas gundukan besar dan panjang di balik celana Vano.

Vano yang sudah kembali rapi, mencium pipi Vanya lembut. "Sayang aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik, aku harap di saat aku menginginkan mu. kau sudah siap berhubungan Sex denganku." Vano memberi perintah, tapi seperti ancaman bagi Vanya.

Vanya menatap tajam Vano, walau ia tidak bisa melihat wajahnya yang di tutupi topeng. Ia masih melihat senyuman maut Vano padanya.

Vano sudah pergi, ia berjalan begitu sangat santai. Bahkan bunga-bunga mawar di halaman rumahnya, membuat Vano sempat mencium aroma wangi disana. Seakan-akan ia sangat menyukai aroma bunga mawar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel