BAB 9
Iseng kuklik gambar mic pada gawai jadulku yang sering error sendiri. Eh, tapi ini ada beberapa file rekaman? Apa tidak sengaja terekam waktu aku terjatuh akibat ulahnya? Coba nanti aku periksa usai salat Maghrib saja.
Bergegas kutunaikan tiga rakaat. Kulakukan dengan khidmat. Rasanya ada kedamaian menyusup pada relung kalbu setiap kali lantunan kalimat suci itu terucap perlahan dari bibirku.
“Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’afini wa’fu ‘annii.”
“Wahai Tuhanku! Ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah segala kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rezeki padaku, berilah aku petunjuk, berilah kesehatan padaku dan berilah ampunan kepadaku.”
Kuhayati setiap bacaan shalat yang kulantunkan dengan khidmat. Memohon pada sang pemilik kehidupan. Kadang ingin menyerah dan pasrah, tapi setiap kali menghayati setiap makna dari rangkaian kalimat yang setiap lima kali sehari aku lantunkan, hati ini segar kembali. Selalu ada pucuk harapan yang terbayang indah untuk masa depan.
Kulanjutkan dengan berdoa dan memohon solusi terbaik untuk setiap masalahku. Tuhan menciptakan di dunia ini serba berpasang-pasangan. Ada susah ada senang, ada miskin ada kaya, ada siang ada malam. Aku yakin seperti halnya Allah menciptakan air dengan dinginnya, menciptakan api dengan panasnya, menciptakan malam dengan gelapnya, maka Allah pun pasti menciptakan solusi untuk setiap masalah hamba-Nya.
Kuambil gawai jadul milikku. Kuperiksa file pada memori rekaman yang ada di sana. Tanggalnya sama dengan tanggal kejadian ketika aku di rumah Mbak Mira. Kutekan file itu dan kudengarkan dengan seksama.
“Alhamdulilah Ya Allah …,” lirihku.
Rupanya pas aku mau menelpon Mbak Miranda, saking sudah gugup aku malah menekan tombol rekam. Meskipun tidak seluruhnya percakapan itu kurekam, tapi sedikit kalimat ini bisa membantuku untuk membersihkan namaku di depan para ibu pengajian itu. Mungkin memori yang penuh hanya mampu menangkap sebagian.
Aku segera memakai gamis yang sudah lama tidak pernah kupakai. Gamis kesayangan, gamis yang dibelikan Mas Yasa waktu mau hari raya. Sejak aku memiliki Alika, baru beberapa kali aku ikut ke pengajian lagi. Dulu pernah ikut, jangankan bisa khusuk mendengarkan, malah ibu-ibu yang lain pun terganggu oleh ulah Alika ketika sudah bosan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi mengaji lagi setelah Alika agak besar.
“Bu, aku titip Alika, ya! Aku ada urusan sebentar!” ucapku sambil mencium punggung tangannya.
“Mau ke mana, Mel?” tanya Ibu menatap heran.
“Mau ke Safina, Bu!” jawabku singkat, biar ibu tidak banyak tanya lagi.
“Iya, hati-hati! Tumbenan kamu pergi malam-malam gini!” ucap Ibu sambil menatapku.
“Iya sebentar doang kok, Bu!” jawabku.
Bergegas kuayun langkah menuju majlis tempat ibu-ibu mengaji. Baru habis waktu maghrib, mungkin sekarang masih persiapan acara. Biasanya pembacaan yasin dan mengirim hadiah dulu sebelum Isya, baru setelahnya ceramah disampaikan oleh Ibu Ustadzah.
Majlis ini hanya berbentuk sebuah aula. Bekas rumah Bu Lurah yang sudah pindah. Dia hibahkan untuk acara umum di kampung ini. Jadi tidak lebih hanya bangunanan kotak segi empat dengan jendela yang banyak. Bukan seperti masjid di mana memang tempat untuk keagamaan saja. Di tempat ini perayaan hari kemerdekaan pun biasanya di adakan atau tempat untuk anak-anak TK mengadakan lomba.
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil berdiri di ambang pintu majlis.
“Wa’alaikumsalam!” jawab para ibu yang ada di dalam serempak.
“Tuh ‘kan, dia itu selain nggak punya akhlak juga nggak punya muka! Masih berani datang ke muka umum padahal sudah berbuat busuk juga!” Mbak Miranda yang sudah menyadari kedatanganku langsung ngegas.
Kebetulan Ibu Ustadzahnya belum datang. Jadi para ibu itu sebagian ada yang tadarrus tapi sebagian lagi ada yang masih berkerumun bersama Mbak Miranda. Matanya tampak sembab seperti habis menangis.
“Ibu-ibu, mohon perhatian! Saya yang mengundang Mela untuk datang ke sini! Saya bukan mau membuat keributan di acara kali ini!
Saya yakin Mela bisa mengklarifikasi semua yang dituduhkan oleh Mbak Miranda! Ada pun setelah ibu-ibu mendengar dari kedua belah pihak … maka ini akan lebih adil dari pada langsung menghakimi Mela dengan mengucilkannya seperti yang sudah saya dengar tadi!” ucap Safina langsung berdiri di tengah forum.
“Fina! Kamu tahu apa? Di sini yang korban itu saya! Kamu jangan sok ikut campur!” hardik Mbak Miranda. Namun Safina tetap tenang. Sambil tersenyum dia memanggilku untuk ke tengah.
“Mbak Mira, bisa tenang dulu! Sejak tadi saya mendengar Mbak Mira menyampaikan sebuah berita yang sangat menjatuhkan nama baik Mbak Mela!”
“Mbak Mira mengatakan jika Mbak Mela ini sebagai wanita penggoda yang demi uang recehan berani menggoda suami Mbak Mira ketika di rumah kosong! Sengaja datang dengan pakaian yang menggoda dan banyak lagi yang tadi saya dengar! Karena ini menyangkut nama baik seseorang! Baiknya kita dengarkan penjelasan dari kedua belah pihak. Kebetulan acara kita juga masih beberapa menit lagi dimulai! Silakan Mbak Mela!” ujar Safina panjang lebar.
“Assalamu’alaikum ibu-ibu! Saya sudah mendapatkan informasi tentang hal yang beredar di sini! Saya tidak akan menyalahkan siapapun, tetapi hanya ingin menyampaikan kebenaran yang sebenar-benarnya!” ucapku menjeda.
Kulihat beberapa orang sudah memandang tidak suka. Mungkin benar, mereka sudah percaya pada apa yang Mbak Miranda katakan.
“Fina, boleh pinjam pengeras suara?” Aku menoleh pada Safina. Dia mengangguk. Beruntung dia memang cukup aktif dan dipandang juga dalam setiap perkumpulan ibu-ibu. Jadi tidak ada yang berani menentangnya juga. Bisa dikatakan Safina ini salah satu kader dari kampung kami.
“Bismillah …,” gumamku lirih ketika mengeluarkan gawai jadul dari saku gamisku.
Kutekan file rekaman yang tadi sudah kuperiksa. Meski tidak lantang, tapi cukup terdengar jelas percakapan yang terjadi sebelum kejadian menjijikan itu kualami.
