BAB 8
“Mira, ibu kasih tahu! Mela di sini memang numpang tidur. Namun bukan numpang, tepatnya ini memang rumah Mela karena rumah ini dibangun dari hasil ibu menjual tanah … tapi asal kamu tahu, dia tak pernah merepotkan kami. Mela tidak menumpang makan seperti yang kamu tuduhkan! Justru semua nasi dan lauk pauk yang kami makan itu hasil dari jerih payah Mela berjualan! Bukan dia yang numpang tapi ibu dan bapak yang selama ini numpang makan rezekinya Mela!”
Aku menoleh. Ibu datang dan menjabarkan semua itu pada Mbak Miranda. Dulu dia tidak pernah berbicara seperti itu karena takut Mbak Miranda yang memang bukan anak kandungnya akan tersinggung.
Benar saja, Mbak Miranda meletakkan semua makanan itu kembali ke atas meja dengan setengah dibantingnya. Dia menoleh pada ibu.
“Jadi, ibu mau bilang kalau aku selama ini meski rumah terpisah tapi tetap numpang makan di sini? Jadi ibu kini mau banding-bandingkan Mela sama aku, kalau Mela itu lebih baik di mata Ibu?” ucapnya dengan napas naik turun seperti menahan kesal.
“Ternyata ibu pun sama perhitungannya, jadi selama ini Ibu juga nggak ikhlas kalau aku ikut makan rejeki kalian?”
“Hidup serba kekurangan saja sombong, pantas saja rezekinya seret! Ibu lupa kalau tiap bulan aku ngasih jatah uang buat Bapak?”
“Lalu kenapa di mata Ibu, Mela itu selalu lebih baik dari pada aku, bahkan setelah terbukti dia menggoda suamiku? Dia itu tidak lebih dari pada seorang pelac*r, Bu!” teriaknya sambil mendorongkan mangkuk plastik yang sudah diisinya makanan.
Alhasil, sayuran itu tumpah ke lantai. Mangkuknya menggelinding menjauh seolah takut akan perdebatan kami.
Ibu melangkah menghampiri Mbak Miranda.
Plak!
Aku terkesiap. Ibu menampar Mbak Miranda. Wanita lembutku kini berubah menjadi garang.
“Maafkan ibu yang sejak kecil terlalu memanjakanmu, Mira! Ibu selalu takut kalau kamu merasa kasih sayang ibu berbeda untukmu dan Mela, karena itu ibu selalu memberimu kebebasan. Ibu tak pernah melarang ini itu, ibu tak pernah melarang bapak untuk mengikuti semua keinginanmu, tetapi ternyata itu cara didikan yang salah sehingga kamu menjadi seperti ini sekarang!” ujar ibu sambil menggeleng kepala.
“Kenapa Ibu menampar aku? Apa salahku?!” Mbak Mira memekik. Dipeganginya pipinya bekas tamparan Ibu.
"Maafkan ibu Mira, jika ada orang yang mengatakan salah satu putriku itu pelac*r dan merendahkannya hingga serendah itu, ibu tidak akan tinggal diam! Ini bukan hanya untuk Mela, untuk kamu juga!”
“Ibu yakin dan hapal betul sifat Mela, dia tidak mungkin berbuat seperti itu! Kalau memang dia mau melakukannya, kenapa juga harus pulang dan berlari meninggalkan suamimu! Dia bisa saja diam-diam melayaninya!”
“Tapi Mela tidak melakukannya, dia mengerti adab dan punya iman! Ibu sarankan, kamu berhati-hati dengan suamimu, Mira! Kalau kali ini dia menggoda Mela, bukan tidak mungkin dia juga bisa menggoda wanita lain!” ujar Ibu panjang lebar.
Aku yang tertegun, menganga dibuatnya. Wanita yang kukenal lembut dan lebih banyak diam itu ternyata bisa marah sehebat itu.
“Akan kuadukan perbuatan kalian pada Bapak! Ibu dan anak miskin yang nggak tahu diri!” ucapnya pedas. Lalu dia melengos pergi.
Aku mengelus dada. Kutatap ibu dengan netra berkaca-kaca.
“Ibu!” Aku berhambur memeluknya dan menangis sekali lagi. Menumpahkan seluruh rasa yang bercampur baur tak karuan.
Setelah puas menangis, bergegas aku menjemput Alika yang sedang bermain di kamar ibu. Pantas saja dia tidak mencari keberadaan kami, ternyata gadis kecilku tengah tertidur di lantai sambil memeluk boneka panda miliknya. Boneka satu-satunya yang dibelikan ayahnya pada ulang tahun pertamanya.
Aku memangkunya. Segera kupindahkan ke kamar, sebentar lagi adzan maghrib menjelang. Aku kembali mengambil gawai dan menggulir layarnya dengan tombol. Berharap Mas Yasa akan menelponku lagi, tapi ternyata tidak ada. Malah ada pesan sms masuk.
[Mel, itu Mbak kamu kenapa sih? Tumben-tumbenan dia datang ke pengajian! Eh, sekarang nangis-nangis sambil koar-koar katanya kamu itu menggoda suaminya, ibu mendukung kamu karena anak kandungnya, dia terus menjelek-jelekkan kamu di sini, Mel!] tulisnya.
Aku tidak bisa membalas karena tidak punya pulsa. Ini baru mau maghrib, terdengar adzan baru saja dikumandangkan. Betapa malunya aku dengan perbuatan Mbak Miranda. Apakah dia tidak berpikir kalau semua orang hanya akan simpatik di depan dan bisa saja ada yang mencibir di belakang.
Tring!
Notifikasi pesan kembali masuk. Safina mengirimiku pulsa lima ribu rupiah.
[Fin, nanti kuganti! Makasih!] tulisku.
[Kamu nggak ke sini, Mel! Ibu-ibu masih pada mengerumuni kakakmu, semua tampak simpatik karena dia menangis tersedu-sedu! Lagian mereka pasti percaya karena dia bukan anak kandung ibumu! Nama baikmu tercoreng, Mel! Datang ke sini untuk klarifikasi!] tulis Safina lagi.
[Entahlah, Fin! Walaupun aku datang ke sana, dia pasti akan berkeras dengan pendiriannya. Lalu kami sama-sama bertahan dengan kebenaran yang kami pegang. Aku malu kalau harus berbuat ribut di majlis, Fin! Yang ada dia malah akan semakin menjadi kalau aku datang! Makasih infonya, ya! Aku nanti cari cara untuk membersihkan namaku di depan ibu-ibu yang terlanjur kena hasut dari Mbak Mira! Besok pas jualan sayur, nanti aku ceritakan kejadiannya seperti apa, jadi kamu bisa bantu klarifikasi pada ibu-ibu perlahan!] tulisku panjang lebar.
[Kamu datang sekarang saja, Mel! Parah banget umpatan-umpatan kakakmu itu! Aku geram mendengarnya! Datang dan ceritakan saja apa yang terjadi! Nanti para ibu itu bisa menimbang sendiri siapa benar dan siapa salah! Aku nggak rela nama kamu dijelek-jelekkan seperti itu!] tulisnya.
[Aku salat Maghrib dulu kalau gitu! Nanti aku coba datang dan jelaskan di depan semuanya!] tulisku, akhirnya setuju.
Sayang sekali, aku tidak punya bukti. Andai kejadian waktu itu kurekam. Pasti lebih mudah untuk membungkam omongan Mbak Miranda. Namun jangankan merekam, aku sudah panik setengah mati waktu itu!
Iseng kuklik gambar mic pada gawai jadulku yang sering error sendiri. Eh, tapi ini ada beberapa file rekaman? Apa tidak sengaja terekam waktu aku terjatuh akibat ulahnya? Coba nanti aku periksa usai salat Maghrib saja.
