Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 10

“Fina, boleh pinjam pengeras suara?” Aku menoleh pada Safina. Dia mengangguk. Beruntung dia memang cukup aktif dan dipandang juga dalam setiap perkumpulan ibu-ibu. Jadi tidak ada yang berani menentangnya juga. Bisa dikatakan Safina ini salah satu kader dari kampung kami.

“Bismillah …,” gumamku lirih ketika mengeluarkan gawai jadul dari saku gamisku.

Kutekan file rekaman yang tadi sudah kuperiksa. Meski tidak lantang, tapi cukup terdengar jelas percakapan yang terjadi sebelum kejadian menjijikan itu kualami.

Obrolan antara aku dan Mas Hasim mulai terdengar. Semua hadirin kini terdiam dan mendengarkan. Sementara Mbak Miranda memandangku penuh kebencian.

“Astagfirulloh! Istighfar, Mas! Aku ini adik iparmu!” terdengar suaraku mengawali rekaman ini.

“Sebentar doang, Mel! Lagipula kamu baru punya anak satu, pasti rasanya beda!” Kali ini ucapan Mas Hasim terdengar jelas.

“Mas, jangan macam-maca atau aku akan teriak?!” Nada suaraku penuh ancaman.

“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas bisa kasih kamu uang kalau kamu tutup mulut! Lagian ‘kan kamu pasti kesepian juga! Yasa bukannya sudah diusir bapak, ya?” ucapan Mas Hasim lagi.

Sontak wajah Mbak Miranda merah padam. Kali ini pandangan yang penuh kebencian dari para ibu itu juga sudah memudar.

Aku mengembalikan pengeras suara pada Safina sambil mengucapkan terima kasih.

Mbak Miranda berdiri dan menghampiriku. Mungkin dia mau minta maaf dan memelukku karena telah mendengar semua kebenarannya.

Namun tanpa kusangka, ponsel jadul yang masih kupegang direbutnya lalu dibanting dengan sekuat tenaga ke lantai.

Pyarrr!

Penutup belakang ponselku terlepas.

Aku menatap terkesiap. Dia masih belum puas rupanya. Diambilnya bagian yang masih menyatu itu dan dibawanya lari ke luar.

“Mbak! Jangan!”

Aku yang sudah mendapatkan kesadaranku kembali mengejarnya. Namun sial, ponselku dilemparkannya pada kolam ikan yang ada di samping bangunan ini.

“Ya Allah!” Aku menangis sambil terduduk di tepi kolam.

“Itu balasannya bagi orang yang mempermalukan saudaranya di muka umum! Kamu sadar nggak? Sekarang apa pandangan semua orang pada Mas Hasim dan Mbak, hah?!” pekiknya.

"Mbak yang memulai semuanya? Mbak yang menjelek-jelekkanku di muka umum! Aku datang hanya untuk klarifikasi! Kenapa Mbak menyalahkan aku sekarang?! " pekikku sambil menyeka air mata.

"Memang kamu selalu iri 'kan sama kehidupan Mbak sama Mas Hasim yang serba kecukupan? Kamu selalu nyari cara agar kami saling berpisah ‘kan? Kamu selalu ingin membuat nama kami jelek di mata umum 'kan? Dasar adik nggak punya moral!" teriak Mbak Miranda.

"Mbak! Sadar, Mbak! Nggak usah melebar ke mana-mana. Sekarang sudah jelas 'kan kalau aku tidak menggoda suami Mbak? Jadi tolong jangan hina aku dengan sebutan pelac*r itu lagi! Tolong jangan terus jelek-jelekkan namaku di depan semuanya! Yang salah bukan aku, tapi suami Mbak Mira yang menggodaku!" pekikku.

"Persetan dengan semua bualanmu! Aku benci kamu, Mel! Jauhi keluarga kami mulai sekarang!" ucapnya. Kemudian dia berlari meninggalkanku yang terisak sendirian.

“Mas, Yasa ….” Aku memejamkan mata. Mulai saat ini aku tidak lagi bisa berkomunikasi dengannya. Ponselku sudah tenggelam dan pastinya sudah rusak.

“Mel!” Kudengar lirih suara Safina dari belakangku.

“Ya, Fin!” Aku menoleh sambil menyeka air mata.

“Maaf, gara-gara aku memaksamu datang jadi kayak gini!” Dia tampak merasa bersalah.

“Nggak apa, Fin! Setidaknya namaku sudah bersih dari anggapan yang dituduhkan Mbak Mira padaku,” ucapku lagi.

“Ini tutup ponselmu, Mel!” Dia memberikan benda itu padaku.

“Makasih, Fin! Aku pulang! Assalamu’alaikum!” ucapku.

“Iya, Mel! Hati-hati! Wa’alaikumsalam!” Dia menjawab salamku.

Hati berguruh sesak. Meski ponsel itu tak mahal hanya ratusan ribu, tapi bagiku itu nominal yang besar.

Memang aku punya tabungan di Bank dari hasil Mas Yasa ngonten. Namun dulu memang Mas Yasa tidak membuatkan kartu ATM nya. Katanya agar lebih awet, jadi kalau ada keperluan maka Mas Yasa yang pergi ke Bank untuk mengambil uang bulanan.

Namun kini dia tak ada. Aku hanya memiliki buku tabungannya saja. Untuk mengambil itu repot juga aku lihat. Pastinya harus ada pemegang buku tabungan dan KTPnya juga.

Dulu aku menolak ketika Mas Yasa hendak membuatkanku rekening. Memang aku ini orang udik dan gaptek. Menyesal kini tak menuruti permintaan Mas Yasa yang hendak membuka rekening atas namaku dulu.

Aku menyusuri jalan yang agak sepi. Memang melewati area pemakaman untuk tiba di tempat yang tadi. Kupercepat jalanku agar segera tiba di area yang ada rumah penduduknya.

Namun dari depan tampak sebuah sepeda motor mengarah kepadaku. Lalu decitan rem terdengar nyaring saat sepeda motor itu berhenti.

“Mela! Kamu berani mencemarkan nama baikku, hah?” Lelaki yang tidak lain Mas Hasim itu turun dari sepeda motor dan memburuku.

“Mas H—Hasim?” Aku tergagap dan mundur beberapa langkah ke belakang.

Otakku memerintahkan untuk berlari, tapi ayunan kaki ini kalah cepat dengan gerakan tangan Mas Hasim yang menarik jilbabku.

“Mau lari ke mana kamu wanita sok suci?” pekiknya sambil menarik jilbabku sekuat tenaga.

“Tolong!” Aku berteriak. Namun dia kembali membekap mulutku.

Dia menyeretku ke rumpun yang ada di tepi jalan dengan muka menatap kesetanan.

“Sudah terlanjur nama baikku hancur di depan semua! Kamu tidak mendengarkan apa yang kukatakan! Aku bilang kau akan menyesal jika bercerita dengan orang, kamu tidak paham juga, hah?” ucapnya sambil sibuk membuka resleting gamisku.

“Ya Tuhaaan!” Aku memekik dalam hati. Hendak mengguling namun tenaganya jauh lebih besar daripadaku.

Dia menarik jilbabku hingga lepas. Seringaiannya tampak menyeramkan dibawah remang cahaya rembulan.

“Kita bersenang-senang di sini saja, adik iparku yang manis!” bisiknya di dekat telingaku. Disibaknya rambuku dengan kasar. Satu tangannya masih sibuk hendak melepaskan gamis yang kukenakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel