Bab 5 Tatapan Singkat
Ketika bel istirahat berbunyi, James segera berbalik dan melihat ke arah Gaelyn. Dia tersenyum begitu lebar.
"Hai, Gaelyn! Kau pasti terkejut mendengar nama asliku yang begitu bagus, kan?" katanya penuh percaya diri, "namaku James, tapi kau bisa tetap memanggilku Jono atau James."
Tidak ingin kalah dari James, teman sebangkunya ikut berbalik. "Dan aku Joseph, tapi semua orang lebih suka memanggilku Joni, tapi kau harus memanggilku Joseph biar sedikit berbeda dengan yang lain. Senang bertemu denganmu lagi, Gaelyn. Kini aku tahu namamu sangat bagus, seperti orangnya."
James menyenggol tangan Joseph. "Tidak usah genit, sangat tidak cocok dengan mukamu."
James terkekeh dengan perkataannya sendiri, lalu buru-buru mengatupkan mulut saat melihat sikap Gaelyn yang masih tetap acuh.
Gaelyn hanya menatap mereka dengan tatapan datar, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Kedua lelaki itu saling melirik, seakan mereka sudah tahu bahwa Gaelyn tidak tertarik dengan candaan mereka, tapi mereka tidak tersinggung sama sekali dengan sikap dinginnya. Mereka cukup tau dengan sikapnya sejak kemarin.
"Kau pasti bingung mengapa kami punya nama panggilan yang berbeda?" tanya Joseph, "kau tidak perlu memikirkannya, panggil kami dengan nama sebelumnya saja." James tertawa kecil, meskipun Gaelyn tidak menanggapinya.
Gaelyn hanya mengangguk pelan, tetap dengan sikap dinginnya. Namun, sebelum James bisa melanjutkan percakapannya, lelaki yang duduk di samping Gaelyn tiba-tiba berdiri. Dia menatap Joseph dan James dengan pandangan acuh, kemudian bertatapan singkat dengan Gaelyn sebelum memalingkan wajah dan berjalan keluar kelas tanpa sepatah kata. Gaelyn memandangnya dengan sedikit terkejut, tetapi segera kembali bersikap tak acuh.
Joseph memperhatikan tatapan Gaelyn. "Jangan dimasukkan ke hati kejadian tadi. Mungkin dia tidak sengaja menyenggolmu. Namanya Frederick Drake. Memang begitu orangnya, jarang bicara, dan tak terlalu peduli dengan sekelilingnya."
"Iya, Frederick seperti bayangan. Selalu ada, meski sering terlambat datang dan jarang bicara," James menimpali.
"Aku mau ke kantin," ucap Gaelyn singkat tanpa menunggu jawaban dari mereka. Bahkan dia mengabaikan perkataan mereka berdua yang menatap ke arahnya dengan tatapan bingung. Dia berjalan keluar kelas dengan langkah ringan meninggalkan tempat duduknya.
"Gadis itu sangat dingin, susah ditebak," ujar Joseph.
James mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya, tapi aku yakin dia akan terbiasa dengan kita. Di sini dia tidak mengenal siapa pun selain kita, jadi tinggal tunggu waktu saja."
****
Gaelyn berjalan menyusuri lorong sekolah dengan langkah tanpa tujuan yang jelas. Dia baru saja tiba di sekolah barunya beberapa jam yang lalu, dan semua masih terasa asing.
Saat Gaelyn sampai di kantin, dia berhenti sejenak. Pemandangan kerumunan siswa yang mengantri untuk makanan siang begitu berdesakan, sementara beberapa lainnya sudah duduk memenuhi meja-meja kantin, membuatnya enggan untuk bergabung. Kantin terasa terlalu sesak untuk selera Gaelyn yang akhir-akhir ini lebih menyukai ketenangan.
Gaelyn mendesah pelan dengan pikiran yang bertanya-tanya, apakah dia harus tetap tinggal dan berdesakan atau mencari tempat lain yang lebih tenang? Tanpa berpikir lama, dia memutuskan untuk berbalik dan mencari tempat yang lebih sepi. Pilihan terbaik yang terlintas di benaknya adalah rooftop sekolah. Udara segar dan suasana yang lebih terasa tenang pasti akan membuatnya merasa lebih nyaman di atas rooftop.
Ketika sedang berjalan, Gaelyn menghentikan langkahnya. Dia tidak tahu kemana arah jalan menuju rooftop. Sekolah ini terlalu besar, dan dia belum sempat melihat-lihat setiap sudutnya. Gaelyn kembali berjalan tanpa arah. Dia melihat seorang gadis yang terlihat culun berdiri sendirian di dekat tangga. Gadis itu memiliki rambut dikepang dua di kanan dan kiri dengan kacamata besar yang bertengger di wajahnya. Dia memeluk sebuah buku tebal.
Gaelyn berjalan mendekatinya untuk bertanya dengan suara dingin. "Hei, di mana jalan menuju rooftop sekolah?"
Gadis itu tampak terkejut dan ketakutan, mungkin karena Gaelyn tiba-tiba mendekat. Dia hanya mengangguk pelan.
"Naiklah ke atas sini," ucapnya dengan suara kecil. Dia memberi tahu Gaelyn tangga yang berada tak jauh darinya menuju rooftop.
Setelah mengucapkan terima kasih, Gaelyn segera pergi tanpa menunggu balasan dari gadis itu. Dia berlari kecil menaiki anak tangga, sampai akhirnya tiba di rooftop. Begitu dia membuka pintu dan melangkah keluar, dia merasa lega. Udara segar menyapu wajahnya. Tempat itu jauh lebih sepi dan nyaman daripada kantin yang penuh sesak.
Gaelyn berjalan mendekati pembatas, ujung tembok. Untuk melihat pemandangan dari atas gedung sekolah. Namun, baru saja dia melihat pemandangan itu sebentar, ketenangannya tidak berlangsung lama harus terusik. Dia mendengar suara gaduh seperti seseorang yang sedang marah-marah. Gaelyn melirik ke arah suara itu dan melihat tiga siswa sedang berdiri mengelilingi seorang gadis yang tampak ketakutan.
"Mengapa nilaimu bagus, sedangkan kami bertiga dapat nilai jelek? Apa kau sudah berani melawanku!"
"Ti–tidak, aku ... tidak tahu kenapa nilai kalian jelek. Apa kalian sudah menulisnya dengan benar?" ucap gadis berambut sebahu dengan terbata-bata.
"Tentu saja aku sudah menulisnya dengan benar. Kau pasti telah menipu kami!"
Gadis itu terus menundukkan kepala dengan tubuh sedikit gemetaran, sementara ketiga orang itu memarahi dan memakinya dengan keras.
"Kalau kau tidak mau mengakui kesalahanmu, jangan salahkan kami kalau nanti terjadi masalah besar," ucap salah satu dari mereka—seorang siswi berambut bob pendek dengan wajah garang. Dia mengancam sambil melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke gadis yang tampak semakin ketakutan.
Gaelyn mengerutkan kening. Telinganya mulai terasa tidak nyaman mendengar suara cempreng mereka. Dia tidak mengenal siapa pun dari mereka, tapi dia tidak bisa membiarkan itu terus berlanjut. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah mendekat dan tiba-tiba menarik tangan gadis yang sedang ditindas itu.
Gaelyn menarik napas dalam-dalam mencoba menahan diri agar tidak langsung ikut campur. Dia tahu ini bukan urusannya, tapi hatinya tidak bisa membiarkan hal seperti itu terjadi di depan matanya.
"Apa masalah kalian?" Gaelyn akhirnya berbicara. Dia terlihat tenang, tapi suaranya terdengar tegas, membuat ketiga orang yang kini di hadapannya menatap ke arahnya dengan tatapan sinis
"Ini bukan urusanmu!" ujar siswi berambut bob itu. Matanya menyipit, menilai Gaelyn dari atas ke bawah.
"Eh! Lebih baik kau pergi dari sini sebelum kau ikut terlibat!"
Ekspresi Gaelyn datar tanpa rasa takut. "Kau terlalu berisik! Aku tak sengaja mendengar suara cempreng kalian yang bikin telingaku berdengung. Bisa tidak kalian berhenti?"
Ketiga siswi itu terkejut dengan keberanian Gaelyn. Mereka menatapnya tajam terlihat marah. Salah satu dari mereka berkata dengan nada sinis. "Sekali lagi kami peringati, ini bukan urusanmu! Jangan ikut campur!"
Gaelyn mengangkat sebelah alis seraya menatap mereka dengan tajam, terlihat meremehkan. "Sudah aku katakan sebelumnya. Aku sama sekali tidak ingin ikut campur urusan kalian. Tapi suara cempreng kalian terlalu berisik, dan itu mengganggu ketenanganku!"
Mereka bertiga merasa tersinggung dengan perkataan Gaelyn. Salah satu di antara mereka hendak melayangkan tamparan padanya. Namun, sebelum bisa melakukannya, Gaelyn tiba-tiba bersuara.
"Oh! Iya ... aku sempat merekam suara cempreng kalian. Siapa tahu ini diperlukan untuk mengungkap orang-orang yang memiliki otak di dengkul dan hanya berani memeras teman untuk mengerjakan tugas kalian itu. Aku bisa saja mengirimnya langsung ke grup sekolah."
Ancaman Gaelyn membuat ketiga siswi itu merasa sedikit kaget. Salah satu dari mereka berbisik untuk mengajak temannya pergi, sementara yang lain mencoba menutupi rasa kesal dengan cemberut. Setelah beberapa detik terdiam, mereka berdecak mundur.
"Kita pergi!" ajak salah satunya.
Akan tetapi, sebelum mereka pergi, gadis berambut bob menoleh kembali ke arah Gaelyn. Dengan nada mengancam dia menunjuk ke arahnya. "Jika kau berani ikut campur urusan kami lagi, maka giliranmu nanti!"
