Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Menepuk Punggungnya

Gaelyn hanya tersenyum tipis, tidak terpengaruh dengan perkataan mereka. Setelah mereka pergi. Gadis yang tadi ditindas menghela napas lega, tapi tetap terlihat gugup.

Gaelyn berbalik menatap gadis yang tadi mereka ganggu. "Kau baik-baik saja?"

Gadis itu mengangguk pelan meskipun masih terlihat gemetar. "Terima kasih."

Gaelyn tersenyum kecil, "Jangan biarkan mereka memperlakukanmu seperti itu lagi. Kalau mereka mengganggumu lagi, laporkan saja pada guru."

Gadis itu mengangguk lagi meskipun terlihat terpaksa. "Baik."

Gaelyn tersenyum tipis. Dia tahu gadis itu tidak akan berani melaporkan apa yang sedang terjadi padanya.

Gadis itu mengulurkan tangan. "Namaku Elara." Dia memperkenalkan diri dengan suara yang terdengar pelan. "Kau baru di sini? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

"Gaelyn." Gaelyn membalas uluran tangannya. "Ya, aku baru pindah ke sini hari ini."

Elara tersenyum meski samar. "Terima kasih sekali lagi. Mereka sering mengganggu siswa yang lebih lemah, terutama kalau nilai kami lebih baik dari mereka."

"Kalau begitu, jangan takut untuk melawan." Gaelyn melepaskan jabatannya. "Mereka hanya berani karena mereka tahu kau takut. Kalau kau tunjukkan pada mereka bahwa kau tak akan membiarkan mereka menginjakmu, mereka pasti akan mundur."

Elara hanya diam tanpa kata. Dia tidak cukup keberanian untuk melawan mereka.

Gaelyn merasa itu bukan urusannya lagi. Dia memilih untuk segera pergi. "Elara, sepertinya aku harus kembali ke kelas."

Elara mengangguk. Dia mengikuti Gaelyn pergi menuruni anak tangga.

Setelah Gaelyn dan Elara pergi meninggalkan rooftop, suasana kembali hening. Namun, tanpa mereka sadari ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan mereka dari atas rooftop bulkhead.

Frederick tersenyum tipis sambil menatap pemandangan di bawahnya. Dia telah menonton seluruh kejadian saat Gaelyn ikut campur urusan orang lain, dan itu mampu menarik perhatiannya sesaat.

Setelah bel sekolah berbunyi menandakan jam pelajaran telah selesai, Gaelyn melangkah keluar dari gerbang sekolah.

Hari itu ayahnya tidak bisa menjemputnya karena pekerjaan yang mendesak. Entah itu hanya sebuah alasan agar tidak menjemputnya.

[ Naik taksi saja ].

Begitu balasan pesan singkat dari ayahnya yang diterima Gaelyn. Dia mengabaikan pesan tersebut, memilih untuk berjalan kaki meninggalkan gerbang sekolah.

Baginya jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu jauh, jadi dia memutuskan untuk berjalan kaki.

Dengan semilir angin sore yang sejuk, rasanya lebih menyenangkan untuk berjalan santai menikmati keindahan kota.

Langkah kakinya bergerak pelan di atas trotoar jalan yang sepi. Gaelyn menikmati suasana sore, membiarkan pikirannya melayang jauh. Ada rasa rindu yang tak bisa diungkapkan dalam hatinya pada seseorang, sampai tiba-tiba keningnya mengkerut saat telinganya menangkap suara samar entah dari mana. Dia berdiri tepat di samping sebuah gang yang mungkin muat untuk masuk satu mobil saja.

Gaelyn mencoba menatap lurus ke depan, sebelum instingnya membuatnya menoleh. Matanya membelalak lebar saat dia melihat sekelompok siswa laki-laki berlari dengan cepat ke arahnya. Raut wajah mereka terlihat serius dan panik.

Sebelum Gaelyn sempat menghindar karena takut mereka menabraknya, sebuah tangan tiba-tiba menarik tangannya dengan kuat.

"Lari!" ucap lelaki yang menarik tangan Gaelyn. Tanpa waktu untuk berpikir, Gaelyn mengikutinya dan mulai berlari. Keduanya berlari dengan cepat, langkah kaki mereka sedikit terhuyung-huyung di atas jalan.

Gaelyn berusaha menoleh ke belakang. Dia ingin tahu apa yang terjadi. Namun, lelaki yang menariknya bergerak begitu cepat, membuatnya fokus pada langkahnya yang harus segera di selaraskan. Karena jika tidak, maka dia akan terjatuh.

Setelah berlari selama beberapa menit, mereka akhirnya tiba di depan sebuah bangunan yang terlihat familiar. Lelaki itu akhirnya melepaskan pegangan tangannya dari Gaelyn, sementara napas mereka sama-sama tersengal-sengal. Tubuh mereka dipenuhi keringat, sambil sedikit membungkuk, berusaha menenangkan diri setelah berlari cukup jauh.

Saat mereka sedang mengatur napas agar kembali normal, Gaelyn dibuat tertegun melihat Frederick berada di hadapannya, menatap ke arahnya dengan keringat yang membanjiri pelipis mereka.

Gaelyn baru tahu jika orang yang menariknya itu adalah Frederick. Akhirnya dia bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas. Namun, pikirannya dibuat bingung dengan pertanyaan yang ada dalam isi kepalanya, untuk apa lelaki itu menariknya?

Saat mereka masih saling bertatapan, James datang menggerutu. Dia sebelumnya berlari bersama mereka, tapi harus terpisah di perempatan jalan.

"Sialan kau, Frederick! Kami cari-cari ternyata kau sudah di sini," ucap James menepuk punggungnya sambil menahan berat tubuhnya yang terasa lemas pada pundak Frederick, diikuti Joseph yang baru saja tiba. Mereka berdua terlihat terkejut melihat keberadaan Gaelyn.

"Gaelyn? Kenapa kau ada di sini?" tanya James keheranan.

Gaelyn hanya menatapnya dengan tatapan bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Matanya tertuju pada Frederick. Namun, Frederick tetap memasang ekspresi datar, meskipun ada sedikit rasa malu di wajahnya. Dia tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba menarik tangan Gaelyn, tapi gengsinya terlalu besar untuk mengakui kesalahannya.

"Jika tidak menariknya, dia akan tergigit anjing," ucap Frederick datar.

"Anjing?" gumam kedua temannya yang terlihat bingung dengan perkataan Frederick.

Frederick mengangkat bahu. "Lebih baik kita masuk ke dalam.”

Frederick berjalan membuka pagar kayu yang terlihat sudah tua. James menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jelas-jelas mereka lari sampai berpencar karena takut ditangkap Patkot (Patroli Kota). Meski tujuan Patkot awalnya hanya menangkap pedagang liar di pinggir jalan, sampai pedagang borskai yang biasanya ada di ujung gang, ikut terseret karena adanya sekelompok remaja yang bersiap untuk tawuran sampai mereka berlarian dibubarkan.

Joseph sedikit kebingungan dengan perkataan Frederick, tapi dia memilih mengabaikannya dan mengajak Gaelyn untuk masuk.

"Gaelyn, ayo, masuk! Kita istirahat di dalam," ajaknya tanpa ragu.

Gaelyn terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Dia sedikit ragu-ragu karena tidak terlalu mengenal Frederick. Meski James dan Joseph baru dikenalnya, tetapi mereka berdua tidak sedingin Frederick.

Namun, rasa lelah membuat Gaelyn ikut masuk ke dalam rumah yang sebelumnya pernah dikunjungi saat dia sedang mencari toko buku. Menurutnya tempat itu lebih mirip dengan rumah baca, tidak terlihat seperti toko buku pada umumnya.

Mereka bertiga berjalan di belakang Frederick. Rumah itu tampak tenang, membuat Gaelyn merasa sedikit lebih nyaman. Gaelyn terus mengikuti langkah ketiga lelaki yang ada di depannya, sampai mereka duduk di sebuah kursi dengan meja melingkar di depannya.

"Duduklah!" James menyuruh Gaelyn untuk duduk.

Tanpa kata, Gaelyn segera duduk dengan James yang berada di samping kiri, dan Joseph berada di samping kanan, sedangkan Frederick saling berhadapan dengannya.

"Di mana yang lain?" tanya Joseph memulai pembicaraan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel