Bab 4 Sekolah Baru
Gaelyn akhirnya membuka mulutnya. Kali ini dengan wajah datar tanpa ekspresi, tapi wajahnya tetap terlihat cantik.
"Jadi berapa nominal yang harus aku bayar kalau aku mau baca buku di sini?"
Joni yang sejak tadi menunggu kepastian Gaelyn segera menjawab sebelum Jono berkomentar lagi. "Kau bisa membayarnya nanti, setelah selesai membaca. Yang penting kau nyaman di sini."
Joni menambahkan beberapa kata, terdengar seperti membujuk dengan nada ramah, senyuman tipis tersungging di wajahnya. Gaelyn mengangguk perlahan. Namun, Jono tidak bisa diam begitu saja.
"Apa yang dia katakan itu benar. Pokoknya nyaman dulu saja di sini. Kalau bos pemilik toko ini datang, aku akan kasih tahu dia biar tidak gigit," katanya sambil kembali kedip mata genit membuat suasana menjadi aneh lagi.
Joni menampar pelan punggung Jono dengan telapak tangannya. "Eh! Serius sedikit, jangan bikin dia kabur. Kita butuh pelanggan, bukan pengungsi."
Gaelyn sedikit penasaran dengan pemilik toko yang Jono maksud.
'Apa dia seseram itu sampai harus menggigit orang?' Sekilas pertanyaan itu muncul di benak Gaelyn tanpa dia ucapkan.
"Apa kalian akan menunjukkan tempat baca bukunya," ucap Gaelyn mengabaikan perkataan Jono sebelumnya.
"Oh, di sana." Joni dengan reflek menggerakkan tangannya untuk menunjukkan arah ke ruang baca. "Di belakang sana. Aku akan mengantarmu, ikuti langkahku."
Joni melangkah melewati Gaelyn yang kini mengikutinya dari belakang. Dengan langkah pelan dan rasa ingin tahu, dia terus melihat apa yang ingin dilihat dengan kedua matanya sambil memegang erat buku di tangannya.
Di saat Gaelyn sedang melihat-lihat, Jono kembali mengajak Gaelyn bicara dan berjalan beriringan mengikuti langkahnya. "Hei, kalau kau butuh kopi atau teh, panggil aku saja. Kami juga punya roti kering dan borskai kuntilanak ... eh, maksudku beranak.”
Gaelyn merasa lelucon Jono aneh, tapi entah kenapa sedikit menghibur meski dia hanya memasang wajah datar. "Aku harap rotinya tidak menggigit juga."
Joni tersenyum melihat Gaelyn terlihat lebih santai. Gaelyn mengikuti mereka menuju ruang baca yang ada di halaman belakang.
Saat mereka tiba di sana, Jono membungkuk mempersilakan. "Selamat datang di taman mini kami! Buku-buku di sini bisa dibaca sepuasnya. Kau bisa mengambilnya lagi di dalam. Di sini hanya tempat duduk untuk baca, tapi kalau bukunya di bawa pulang ... yah, kau tahu sendiri harga lebih mahal dari menyewa tempat duduk ini."
Gaelyn cukup takjub dengan keindahan yang ada di depannya. Suasananya cukup nyaman dengan kursi empuk dan meja kayu yang berjejer rapi di tengah-tengah taman yang cukup luas dengan bunga warna-warni yang bermekaran. Gaelyn mengira pemilik toko tersebut adalah perempuan yang sangat menyukai bunga.
"Jadi baca buku di sini gratis?" tanya Gaelyn tiba-tiba.
Membuat Jono menggaruk-garuk tengkuk lehernya. Dia terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaan Gaelyn.
Joni menoleh ke arah Jono sekilas, dia pun segera menjelaskan. "Ya, sebenarnya baca buku di sini sepuasnya gratis, tapi kau harus bayar untuk biaya duduk saja. Kecuali kalau bukunya kau bawa pulang, kau harus membayar harga buku itu."
Gaelyn terdiam sejenak. "Kalau begitu aku duduk di rumput saja."
Jono dan Joni dibuat tertegun sejenak dengan perkataan Gaelyn.
"Eh ..." Jono menyenggol tangan Joni dan memberikan kode melalui gerakan matanya yang tak dapat dimengerti Joni.
"Aku hanya bercanda," ucap Gaelyn sambil berjalan menuju kursi yang cukup dekat dengan bunga anggrek yang menarik perhatiannya dibandingkan bunga-bunga lain.
Gaelyn begitu fokus pada bacaan di depannya hingga dia tidak menyadari seseorang yang terus memperhatikannya dari balik jendela kamarnya yang menghadap ke halaman belakang.
Waktu berlalu, suara getaran ponsel membuatnya harus merogoh tas untuk mengambil ponsel dan melihat notifikasi pesan dari ayahnya. Dia segera mematikan ponselnya kembali, setelah selesai membaca tanpa membalas pesan tersebut. Ketenangan yang sempat dirasakan mulai memudar.
Setelah beberapa lama, Gaelyn memutuskan untuk pulang meski enggan untuk pulang.
???
Keesokan harinya, Gaelyn memasuki gerbang sekolah barunya dengan wajah datar dan sorot mata malas. Dia menatap bangunan sekolah yang menjulang di depannya tanpa rasa antusias sedikitpun. Tak ada kebahagiaan yang terlihat dari wajah cantiknya, seakan semua itu adalah rutinitas yang terpaksa dijalani, tidak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti aturan yang diperintahkan ayahnya.
Murid-murid yang sedang berjalan di luar gerbang beberapa kali memperhatikannya dari jauh. Kecantikan alami gadis itu menarik perhatian mereka meski dia jarang sekali terlihat tersenyum yang menghiasi bibirnya.
Setelah melangkah perlahan, Gaelyn menuju kantor untuk pendaftaran ulang siswa baru.
Bel pun berbunyi, menandakan bahwa pelajaran segera dimulai. Semua murid telah masuk ke dalam kelas masing-masing. Gaelyn berjalan mengikuti seorang guru yang akan mengajarnya di kelas barunya itu.
"Selamat Pagi, Anak-Anak," ucap Pak Guru setelah meletakkan buku tebal di meja depannya.
"Hari ini kita kedatangan teman baru. Silakan perkenalkan dirimu." Pak guru menoleh pada Gaelyn untuk memperkenalkan diri sebelum dia mengajar.
Semua mata tertuju pada Gaelyn. Mereka penasaran dengan gadis baru yang sedang berdiri di depan tanpa rasa gugup sedikitpun. Wajahnya begitu dingin.
Gaelyn dengan ekspresi yang tidak berubah segera memperkenalkan dirinya. "Gaelyn Adrienne."
"Kalian bisa memanggilku Gaelyn," lanjutnya singkat.
Suasana kelas hening sesaat setelah perkenalan Gaelyn.
"Oke, Gaelyn. Kau bisa mencari tempat duduk!" Pak Guru mempersilakan.
Gaelyn memandang sekeliling kelas, mencari tempat kosong. Matanya tiba-tiba tertuju pada dua laki-laki yang duduk bersebelahan—Jono dan Joni. Dia tiba-tiba teringat pertemuannya dengan mereka di toko buku sebelumnya. Meski begitu, wajahnya tetap datar seakan tidak mengenal mereka.
Di belakang Jono dan Joni ada dua kursi kosong. Gaelyn berjalan pelan menuju kursi, tetapi ketika hampir sampai mendekati kursi tersebut, seseorang tanpa sengaja menyenggol lengannya. Orang itu melewatinya begitu saja tanpa menoleh atau meminta maaf, dia langsung duduk di kursi kosong di belakang Joni.
Gaelyn tetap diam tanpa berbicara apa pun, wajahnya tidak memperlihatkan marah atau kesal sedikitpun. Dia hanya menarik kursi di samping lelaki yang baru saja menyenggolnya dan duduk di sampingnya.
Lelaki itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Dia malah meletakkan kedua tangannya di atas tas hitam yang ada di meja, dan segera menidurkan kepalanya di atas tangan, membelakangi Gaelyn.
Gaelyn mengabaikannya. Dia bahkan belum sempat melihat dengan jelas wajah lelaki itu. Gaelyn memilih fokus ke depan, di mana Pak Guru sedang mengabsen nama-nama para siswa di kelas, satu per satu dipanggil untuk mengacungkan tangan mereka ke atas sambil menyebutkan kata, 'hadir'.
Sampai akhirnya, Pak Guru menyebut nama, 'James dan Joseph'. Nama mereka begitu berdekatan. Dua lelaki yang duduk di depan Gaelyn mengacungkan tangan mereka hampir bersamaan. Gaelyn mengernyitkan alis melihat ke arah mereka. Merasa aneh mendengar nama yang disebutkan oleh Pak Guru di depan.
James? Joseph? Bukankah kemarin mereka memperkenalkan diri sebagai Jono dan Joni? Itulah kata-kata yang terbesit di dalam benak Gaelyn sekilas, lalu mengabaikannya begitu saja.
Nama Jono dan Joni hanyalah panggilan asal yang berawal dari pedagang borskai yang tidak tahu nama asli mereka. Karena keduanya sering menjadi 'pelanggan nunggak kelas kakap’ jarang membayar utang borskai yang sering mereka makan. Teman-teman satu tongkrongan pun mulai memanggil mereka dengan sebutan itu sehari-hari. Bagi sebagian orang, mungkin itulah nama mereka. Namun kenyataannya, nama asli Jono adalah James Benjamin, sedangkan Joni sebenarnya bernama Joseph Henry.
