Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Bertemu Kembali

Saat tiba di depannya, Gaelyn tanpa berkata apa-apa mengulurkan kantong plastik kecil berisi obat dan perban itu ke arah lelaki tersebut.

Lelaki itu terdiam sejenak menatap kantong plastik tersebut dengan bingung. Dia menoleh ke arah Gaelyn beberapa detik tanpa ada satu kata pun yang terucap di antara mereka, hanya tatapan yang saling bertautan.

Lelaki itu masih tetap diam sampai Gaelyn menyimpan kantong plastik tersebut ke atas pangkuannya. Dia segera berbalik dan pergi begitu saja. Lelaki itu hanya menatap kepergiannya tanpa berniat untuk mengejar.

???

Gaelyn duduk di kamar mewahnya yang terasa sunyi, menatap langit-langit dengan perasaan jenuh.

Sudah seharian berdiam di dalam kamarnya tanpa kegiatan apa pun. Ayahnya masih sibuk mengurus surat-surat perpindahan sekolah yang sama sekali tidak diinginkannya.

Dengan kesal Gaelyn meraih jam tangan di atas nakas, memakainya di pergelangan tangan yang ramping, lalu menatap cermin besar di hadapannya. Wajahnya yang cantik ditambah dengan rok pendek dan jaket crop yang pas di tubuhnya membuatnya tampak sempurna.

Gaelyn segera meraih tas kecilnya sebelum berjalan menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti saat melihat Bryson—adik tirinya. Yang baru saja pulang sekolah berjalan menaiki tangga.

Penampilannya terlihat berantakan. Seragam yang dipakainya terlihat kusut, keringat membasahi pelipis, dan ada memar di sudut bibirnya.

Gaelyn hanya melirik sekilas sebelum mengalihkan pandangan ke lantai, mengabaikan tatapan datar Bryson. Mereka berpapasan begitu saja tanpa sepatah kata.

Gaelyn keluar dari rumah dengan langkah cepat. Dia berjalan menyusuri trotoar, tenggelam dalam pikirannya sambil sesekali memainkan ponsel.

Setelah beberapa saat berjalan tanpa arah, dia memutuskan untuk menghentikan sebuah taksi yang melintas.

Di dalam taksi Gaelyn terlihat fokus pada ponselnya, mencari toko buku di aplikasi peta. Namun, toko yang ingin didatangi ternyata cukup jauh dari tempat tinggalnya. Gaelyn pun memutuskan untuk bertanya pada sopir taksi.

"Pak, tahu toko buku terdekat yang bisa buat baca-baca di tempat?"

Sopir taksi menoleh sebentar melalui kaca spion. "Ada satu, tidak terlalu jauh. Tapi tempatnya agak tersembunyi, dan sepertinya jarang ada pengunjung. Lokasinya bukan di jalan utama, jadi jarang orang tahu."

Gaelyn mengangguk setuju. "Ya sudah, ke sana saja."

Tak peduli tempatnya sepi, yang penting dia bisa membaca dan keluar dari rasa jenuh yang menghantuinya.

Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah, tidak terlihat seperti toko buku yang dimaksud. Dari luar tempat itu lebih terlihat seperti rumah tua dengan pagar kayu sederhana. Bunga anggrek yang tumbuh di pot-pot di depan rumah membuat tempat itu tampak terawat meski terlihat sepi. Gaelyn mencoba untuk masuk ke dalam dengan langkah hati-hati.

Di dalam, aroma buku-buku lama bercampur dengan debu tipis-tipis yang ada di rak-rak kayu. Buku-buku tertata rapi, sebagian masih terlihat baru, sementara yang lainnya jelas sudah berumur. Tempat itu terasa damai dan menyeramkan meski agak sunyi.

Saat Gaelyn mencoba meraih sebuah buku dari rak yang agak tinggi, tangannya kesulitan untuk menjangkau. Tepat pada saat itu sebuah tangan lain muncul dari belakang, membantu mengambil buku yang diinginkannya. Gaelyn terkejut dan segera berbalik. Dia mendapati dada bidang seseorang yang begitu dekat dengan hidungnya. Dia mendongak dan melihat lelaki yang terasa familiar. Ternyata Gaelyn lagi-lagi bertemu dengan orang yang telah beberapa kali dilihatnya.

*Glek!*

Gaelyn menelan ludah saat melihat jelas bagaimana rahang lelaki itu bergerak naik turun. Lelaki itu tiba-tiba menunduk. Mereka saling menatap untuk beberapa detik yang terasa lama, sampai dia sedikit menjauh dan menyerahkan buku yang diinginkan Gaelyn tanpa berkata apa-apa, lalu pergi begitu saja meninggalkannya. Sebelum Gaelyn sempat mengejarnya untuk berterima kasih, seorang lelaki lain muncul. Dengan gaya penuh percaya diri dia melangkah mendekati Gaelyn dengan setiap gerakannya yang terlihat di buat-buat agar terlihat keren.

"Kau sudah memegang bukunya dan tidak bisa mengembalikannya lagi," katanya sambil merapikan rambut dan beralih ke kerah bajunya. Lelaki itu memakai kemeja berwarna merah kotak-kotak.

Gaelyn menunduk ke arah buku yang sedikit berdebu itu tanpa bicara sepatah kata pun. Lelaki itu seakan mengerti. Dia segera mengambil buku tersebut, mengelapnya dengan ujung kemeja baju, lalu kembali memberikan pada Gaelyn dengan begitu cepat.

"Sekarang sudah bersih," lanjutnya, "ingin membaca buku ini? Kau harus membayarnya terlebih dahulu," tambahnya sambil mengeluarkan ponsel dan menunjukkan QR Code yang tertera di layar untuk melakukan pembayaran.

Akan tetapi, sebelum Gaelyn melakukan pembayaran, lelaki lainnya yang tampak lebih kalem datang menghampiri mereka.

"Kalau kau mau baca buku lebih tenang, ada tempat baca khusus di halaman belakang. Dijamin nyaman."

Gaelyn merasa ragu, mencoba melihat kesana-kemari mencari lelaki yang pertama dilihatnya. Dia mengabaikan dua laki-laki di depannya karena merasa takut dan ingin pergi. Namun, kedua laki-laki itu tampaknya tidak ingin kehilangan satu-satunya pengunjung yang datang.

"Ayo, ikut denganku," ajak lelaki yang lebih kalem.

"Panggil aku Joni, dan dia Jono." Menunjuk lelaki di sebelahnya.

Gaelyn tetap diam, tak mengucapkan sepatah kata pun.

"Apa kau takut pada kami? Mengapa celingukan? Tidak perlu takut, aku tidak akan menggigitmu, kecuali kamu bertemu dengan pemilik toko ini. Dia mungkin akan menggigit gadis cantik sepertimu."

*Plak!*

"Sial! Apa yang kau lakukan? Kenapa memukulku!" Jono mengaduh, memegangi tangan kanannya.

"Bicara yang sopan," ujar Joni terlihat canggung sambil tersenyum kecut ke arah Gaelyn yang masih memasang wajah datar tanpa ekspresi apa pun.

Jono menatap Gaelyn yang masih saja diam tanpa kata. Dia sedikit mendesak. "Kau mau terima tawaran kami atau tidak? Kalau tidak mau baca di sini, kau bisa bawa pulang buku itu setelah membayarnya. Buku itu cuma dijual 300 milmark saja!"

"What?!" Gaelyn terkejut mendengar harga buku itu, matanya membesar seakan tidak percaya.

Jono tertawa kecil. "What, what! Ini buku, bukan Bi Wawat," ujarnya sambil memperlihatkan deretan giginya dan menunjuk buku yang ada di tangan Gaelyn. Gaelyn memandang mereka merasa bingung dengan perkataan Jono.

"Bi Wawat?" bisiknya pelan, lebih ke diri sendiri.

Jono kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. Dia merasa gadis di depannya terlihat sedikit lucu. "Ya, Bi Wawat. Itu nama tetangga kami, tukang warung paling top di depan sekolah kami."

"Bila buku ini memang mahal buatmu, kita bisa kasih diskon, kok!"

Joni hanya bisa menggelengkan kepala sambil memandang Jono. "Maafkan dia. Dia memang suka asal bicara. Kau tidak perlu dengar semua kata-katanya."

Dia berkata sambil menepuk bahu Jono. "Jangan menakut-nakuti pembeli kita. Tidak semua orang menyukai perkataan recehmu itu."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel