Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Melindunginya

Setelah melangkah masuk ke rumah mewah itu, Gaelyn merasa sedikit kagum. Dinding-dinding marmer putih berkilau, lampu gantung kristal menggantung megah di langit-langit, dan perabotan mahal memenuhi setiap sudut ruangan.

Sekilas rumah itu tampak lebih besar dan mewah daripada rumah ibunya. Pikiran Gaelyn berkelana. Dia tidak mengerti mengapa wanita sekaya itu menikahi pria seperti ayahnya. Meskipun harus Gaelyn akui, wajah ayahnya masih sangat tampan dan gagah, bahkan di usianya sekarang, tapi ketampanannya saja tidak cukup.

Di mata Gaelyn, ayahnya hanyalah pria malas yang tak pernah mau bekerja keras.

"Hai, kau pasti Gaelyn. Ayahmu sering bercerita tentangmu padaku bahwa kau sangat cantik. Dan ternyata itu memang benar." Sandriana dengan senyum hangat berbicara cukup panjang. Wanita itu menyambut Gaelyn dengan sebuah pelukan ringan, seolah ingin membangun hubungan yang baik. Gaelyn membiarkan pelukan itu meski tidak membalasnya. Hatinya dingin, tidak ada perasaan yang terhubung dengan wanita yang kini menjadi ibu tirinya.

"Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Mari, aku tunjukkan kamarmu. Kau pasti sangat lelah. Kami sudah menyiapkannya khusus untukmu," kata Sandriana sangat ramah. Dia mengajak Gaelyn berjalan bersama menaiki tangga besar menuju lantai dua.

Kamar yang disiapkan untuk Gaelyn bernuansa biru muda yang indah dengan tirai tipis berwarna putih yang melambai di jendela besar. Tempat tidur yang besar dan empuk begitu megah terletak di tengah, dengan lemari dan meja rias elegan di sisi-sisinya. Sejenak, Gaelyn terkagum dengan keindahan kamarnya.

Dia hanya mengangguk singkat dan berkata dingin. "Terima kasih."

Meskipun Gaelyn berterima kasih, tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa senang sedikitpun. Sandriana tersenyum tipis, mungkin sedikit kecewa dengan respon Gaelyn yang terlihat dingin, tetapi dia tetap berusaha ramah.

"Baiklah, setelah kau beristirahat, kita akan makan malam bersama," kata Sandriana sebelum meninggalkan Gaelyn sendiri di kamarnya.

Waktu berlalu, dan tak lama kemudian Gaelyn dipanggil untuk makan malam. Saat tiba di ruang makan, meja telah dihiasi dengan makanan mewah.

Sandriana dan David duduk di ujung meja, terlihat sedang menunggu.

Gaelyn baru akan duduk ketika suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Seorang lelaki dengan wajah datar masuk tanpa sepatah kata pun. Bahkan tidak memperhatikan siapa pun. Dia langsung duduk di samping Sandriana dan dengan cueknya mulai mengambil lauk pauk yang ada di meja, seolah-olah dia adalah satu-satunya orang di ruangan itu.

Sandriana ingin menghentikannya karena telah bertindak tidak sopan, tapi David menyentuh tangannya seakan memberitahu Sandriana untuk tidak melarangnya.

Gaelyn hanya melihat gerakan tangan lelaki itu sekilas sebelum Sandriana dengan lembut memecahkan keheningan.

"Gaelyn, ini Bryson. Dia anakku," kata Sandriana memperkenalkan lelaki yang duduk di sampingnya dan lanjut berkata, "Bryson, ini Gaelyn. Anak dari suami baruku. Mulai sekarang dia saudaramu."

Bryson hanya melirik Gaelyn sekilas tanpa ekspresi. Sama seperti Gaelyn, dia tidak tertarik untuk memulai percakapan.

Mereka berdua duduk dalam keheningan dengan ekspresi dingin dan wajah yang datar, sedangkan Sandriana dan David terus saja membicarakan tentang anak-anaknya.

Umur Bryson dan Gaelyn hanya berbeda satu tahun. Gaelyn lebih tua dari Bryson.

Setelah beberapa saat, Gaelyn tanpa mengucapkan sepatah kata pun berdiri dari kursinya dan meninggalkan meja makan. Bryson melakukan hal yang sama, meninggalkan kedua orang tua mereka begitu saja.

Gaelyn kembali ke kamarnya, merasa aneh berada di rumah yang baru beberapa jam di tempatinya.

Dia mengeluarkan sebuah jam tangan rusak yang telah lama disimpannya. Jam itu tak bisa diperbaiki, tapi bagi Gaelyn, benda itu adalah kenangan yang sangat berharga. Dia menatapnya untuk beberapa saat sebelum rasa jenuh menguasainya. Tanpa berpikir panjang dia memutuskan untuk keluar dari rumah itu, dan berjalan-jalan tanpa tujuan.

Udara malam begitu terasa sejuk, dan dia menikmati sedikit kebebasan setelah keluar dari rumah yang begitu mewah, tapi terasa asing baginya.

Saat Gaelyn berjalan di sebuah jalan yang sepi, tiba-tiba suara gaduh menarik perhatiannya. Gaelyn tersentak dari lamunan saat menyadari bahwa di depannya sedang ada perkelahian. Ada beberapa orang yang sedang berkelahi.

Gaelyn berhenti di tempat, terlalu terkejut untuk bergerak menjauh. Sebelum dia sempat menghindar, salah satu laki-laki yang terlibat dalam perkelahian melayangkan pukulan keras menggunakan kakinya ke arah lawannya, tetapi pukulan itu meleset dan justru mengarah pada Gaelyn yang berdiri terlalu dekat. Dalam sekejap sebuah tubuh melindungi Gaelyn, menariknya ke dalam pelukan.

*Whapp!*

Tendangan mendarat di punggung lelaki itu, bukan Gaelyn.

"Agh!" Wajahnya mengerut kesakitan.

Gaelyn terpana ketika dia menatap ke arahnya. Sebuah ingatan saat di lampu merah terbesit di benaknya. Dia adalah orang yang sama.

Lelaki itu tanpa ragu menoleh membuat tatapan mereka berdua terputus, dan kembali memberikan tendangan pada lawannya. Tanpa kata dia menghajar balik beberapa orang yang memulai perkelahian itu dengan beberapa pukulan.

Pertarungan itu terus berlangsung, dan dalam hitungan detik lelaki itu berhasil membuat semua lawannya jatuh tersungkur dan mencoba melarikan diri ke sebuah gang. Lelaki itu mencoba mengejarnya.

Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Gaelyn, lelaki itu menoleh ke arahnya. Mereka bertatapan sejenak.

Tatapan lelaki itu sangat tajam, sementara Gaelyn hanya menatapnya tanpa ekspresi apa pun.

Lelaki itu tersenyum tipis, tetapi tatapannya segera kembali dingin sebelum berbalik masuk lebih dalam ke gang dan menghilang dari pandangan Gaelyn.

Gaelyn masih terdiam di tempat, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Mungkin jika tidak ada yang menghalanginya, wajahnya akan terkena pukulan. Perasaan ingin tahu tentangnya dan terkejut bercampur menjadi satu. Namun, dia memilih untuk tidak terlalu memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya. Dia menarik napas panjang mencoba menenangkan perasaannya.

Tak lama kemudian, Gaelyn menemukan sebuah toko yang menarik perhatiannya. Di sana menjual berbagai macam makanan dan menyediakan tempat duduk nyaman dengan pemandangan luar yang menenangkan.

Dia memesan satu gelas minuman dan memilih duduk di sudut meja dekat jendela, menikmati pemandangan luar sambil mencoba melupakan kejadian barusan. Beruntung suasana di dalam toko cukup sepi, hanya ada beberapa pelanggan lain yang duduk dengan tenang.

Saat Gaelyn mulai meminumnya, tatapannya tiba-tiba tertuju ke arah luar.

Di luar ada salah satu laki-laki yang sedang duduk di kursi yang terpasang di pinggir trotoar. Dia duduk sendirian, memegang pipinya dengan penampilannya yang sedikit berantakan.

Gaelyn mencoba memperhatikannya, dan ternyata itu adalah lelaki yang telah menyelamatkannya dari pukulan yang hampir melayang ke arahnya.

Rasa penasaran mulai menyusup ke dalam diri Gaelyn. Dia belum sempat berterima kasih pada lelaki yang telah melindunginya dari pukulan.

Gaelyn berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Dia memasuki sebuah apotek kecil yang tak jauh dari toko sebelumnya dan membeli sebotol obat merah serta beberapa perban. Setelah itu dia menuju tempat di mana lelaki tersebut masih duduk sambil memainkan ponselnya. Dia terlihat ingin mengabari seseorang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel