Bab 1 Pandangan Pertama
Di sebuah gang yang tak jauh dari jalan raya, sekelompok anak muda berkumpul, antara tegang dan semangat.
"SERANG!" teriak salah satu pelajar dari kelompok yang menyerang, wajahnya terlihat memerah karena emosi. Dia mengangkat tongkat kayu di tangannya, lalu bergerak menyerbu dan menghantamkannya ke arah lawan.
*Bug!*
Suara pukulan kayu menghantam tubuh lawannya, membuatnya terhuyung mundur. Namun, orang itu tak tinggal diam. Dia bangkit dan menyerangnya.
"Kau pikir bisa menang?!" teriak pelajar lainnya sambil melayangkan pukulan keras ke arah perut lawan.
*Bug!*
Terdengar dentuman saat tinjunya mendarat, membuat lawannya meringis kesakitan.
"DASAR PENGECUT!" Seorang pelajar dari kelompok lain berteriak sambil mendorong tubuh lawannya ke arah tembok.
*Bug! Bug!*
Suara pukulan terus bergema, disusul oleh benturan sepatu menghantam aspal.
Perkelahian makin kacau. Ada yang terhuyung sambil memegangi bagian wajah yang terpukul, sementara beberapa lainnya terus saling menyerang tanpa ampun. Ada juga yang terlihat santai di ujung gang, masih duduk sambil menyuapkan borskai ke dalam mulutnya. Borskai adalah makanan favorit yang digemari oleh penduduk Soravelle, terbuat dari daging yang dibentuk bulat-bulat yang di dalamnya terdapat isian daging cincang dengan saus kuah yang gurih.
"Tawuran juga perlu makan, biar kenyang," gumamnya.
"Yang ada bikin kram perut," sahut temannya.
Ketika sedang asyik makan dan melihat lawannya berlarian, mereka berdua segera mengejarnya tanpa melihat berapa nominal uang yang diberikan untuk membayar borskai tersebut.
“Hei, jangan lupa! Bayar borskainya masih kurang 500 sorling!" seru pedagang sambil menunjuk.
"Ikhlasin aja! Cuman segitu doang," jawab salah satunya dengan suara keras sambil berlarian.
Pedangan borskai hanya bisa pasrah melihat mereka yang semakin menjauh. Dia segera mencatat utang mereka itu pada mading berukuran sedang yang sengaja dipasang di samping kiosnya. Bahkan, wajah dua remaja laki-laki yang dipanggil Jono dan Joni, meski itu bukan nama asli mereka, terpampang jelas di sana, seperti buronan. Nominal hutang 500 sorling mereka setiap kali makan borskai tercatat rapi, bergabung dengan daftar utang lainnya.
Mereka berdua terus berlari untuk mengejar lawannya, membantu para temannya.
"Jangan lari! Bukankah kalian yang memulai!" teriak salah satu pelajar yang sepertinya cukup hebat dibandingkan yang lain. Bahkan wajah tampannya itu belum terkena pukulan sama sekali.
Dia dan teman-temannya berlari mengejar lawannya yang mencoba melarikan diri dari gang sempit itu. Lawan mereka berlari menuju jalan raya, di mana banyak mobil sedang menunggu lampu merah.
Gaelyn Adrienne duduk di kursi penumpang, menyaksikan dari dalam mobil pemandangan itu dengan dingin. Namun, pandangannya tak lepas dari satu orang yang paling menonjol di antara para pelajar lain. Seorang lelaki dengan keringat di pelipisnya yang tampak masih terus menghajar lawannya.
Di balik setir, ayahnya terus berbicara, membuat suasana semakin panas.
"Kau tahu, Gael. Ibumu itu tak pernah benar-benar peduli padamu. Sejak kecil, semua perhatian yang dia berikan padamu hanyalah pura-pura. Dia lebih peduli pada karier dan uangnya daripada kau," kata sang ayah, suaranya terdengar getir.
Gaelyn hanya diam, menatap ke luar jendela dengan ekspresi dingin dan datar. Dia baru saja pulang dari luar negeri setelah tiga tahun tinggal di rumah neneknya.
Saat di luar negeri, ibunya menghubungi dan membicarakan tentang perpisahan dengan ayahnya. Gaelyn mengira kedua orang tuanya telah kembali bersatu meskipun mereka sering bertengkar, tapi pria yang telah menjadi ayahnya itu tidak akan mungkin berpisah dari ibunya karena dia sumber kekayaannya. Namun, kenyataan itu pahit, bukannya menyambutnya dengan kehangatan, dia malah mengajaknya untuk bertemu dengan istri barunya. Dan ayahnya tak pernah berhenti menjelekkan mantan istrinya di sepanjang jalan.
"Dia benar-benar wanita yang egois, Gael. Aku tak tahu bagaimana dia bisa menjadi ibumu. Selama bertahun-tahun, aku sudah melihatnya menunjukkan wajah aslinya, tapi tentu saja kau terlalu muda untuk melihat semua itu. Kau terlalu dibutakan oleh kasih sayangnya yang palsu!" lanjutnya semakin mempertegas rasa bencinya.
Gaelyn tetap tidak merespons, bahkan tidak mengalihkan pandangan dari jendela. Di matanya, segala omongan ayahnya tentang ibunya hanyalah omong kosong. Dia tahu persis siapa yang telah merawatnya selama ini—ibunya. Wanita itu yang membiayai sekolahnya dan memberikan segala yang dia butuhkan. Sementara ayahnya? Pria itu tidak pernah peduli padanya dan tidak pernah ingin bermain dengannya saat kecil. Dia hanya bayang-bayang yang datang dan pergi dalam hidupnya tanpa benar-benar memberi arti.
"Gael, kau dengar aku, kan?" desak ayahnya.
Gaelyn akhirnya menghela napas pelan. "Aku dengar."
Ayahnya melirik sekilas ke arahnya dengan mata menyipit. "Dan kau tak mau bilang apa-apa?"
"Apa yang harus aku katakan, Ayah? Semua yang kau katakan tentang Ibu sama sekali tidak ada hubungannya denganku," jawab Gaelyn tanpa emosi. Dia menyembunyikan semua kemarahannya dalam diam.
Gaelyn kembali menoleh ke arah luar jendela, dan dia terkejut dengan benturan keras pada jendela mobilnya. Seorang lelaki yang sebelumnya menarik perhatiannya dari kejauhan, kini begitu dekat dengannya. Gaelyn bisa dengan jelas melihat wajah tampannya. Ia tersenyum tipis melihat lelaki itu yang menekan lawannya ke arah jendela mobilnya, membuat orang yang ditekannya sedikit kesakitan.
Mata Gaelyn dan lelaki tampan itu saling pandang sejenak, sampai lawan yang ditekannya menyikut lelaki itu. Beruntung dia dengan gerakan cepat menghindar.
TID ... TID …
"Apa-apaan mereka? Dasar bocah nakal," gerutu David—ayah Gaelyn. Dia kembali membicarakan ibu kandung dan juga ibu sambungnya Gaelyn.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah rumah mewah. Mobil meluncur masuk ke halaman besar dengan pagar besi yang tinggi. Gaelyn memandang rumah itu dengan sinis dari balik jendela. Itu jelas bukan milik ayahnya. Ayahnya mungkin akan berpura-pura menjadi pria kaya, tapi Gaelyn tahu siapa sebenarnya yang membiayai semua itu. Fasilitas yang dia nikmati selama ini bukanlah hasil kerja keras ayahnya, itu semua berasal dari ibunya.
"Jadi, ini rumah istri barumu?" Gaelyn akhirnya berbicara, suaranya terdengar mengejek. "Aku kasihan padanya. Menikahi pria yang tidak punya apa-apa sepertimu."
David menegang mendengar kata-kata itu. Wajahnya memerah, dia menoleh menatap Gaelyn dengan kemarahan yang ditahan. "Jaga bicaramu, Gael! Kau tidak tahu apa-apa tentang apa yang sudah kulalui."
"Aku tahu cukup banyak," jawab Gaelyn cepat, "aku tahu Ibu yang selama ini mencukupi keinginanku, bukan kau! Kau hanya datang dan pergi, bicara tentang hal-hal yang tak pernah kau lakukan!"
"Aku membesarkanmu juga, Gael. Jangan lupakan itu!"
Gaelyn tertawa kecil, dingin. "Benarkah? Kau menganggap kunjungan singkat dan ocehan tidak penting sebagai 'membesarkan'?"
David membuka mulutnya untuk membalas, tapi sebelum ada kata-kata yang keluar, pintu rumah terbuka. Seorang wanita yang terlihat anggun muncul di ambang pintu.
"Gael, itu dia. Dia yang sekarang akan menjadi bagian dari keluarga kita," kata David, nada suaranya berubah sedikit lebih lembut, seolah mencoba mencairkan suasana dan memilih tidak menjawab ucapan Gaelyn sebelumnya.
Gaelyn menatap wanita itu sejenak, lalu kembali menatap ayahnya. "Semoga dia tidak sebodoh ibuku."
Tanpa menunggu jawaban, Gaelyn keluar dari mobil, mengabaikan tatapan bingung dari wanita di depan pintu. Di dalam hatinya dia merasa iba pada wanita itu. Iba karena wanita itu tidak tahu bahwa pria yang dia nikahi hanyalah seorang pria yang kosong dan miskin di mata Gaelyn.
